Narasi

Islam Kaffah, Khilafah dan Akhlakul Karimah

Terminologi Islam Kaffah sudah tidak asing lagi di telinga segenap Muslim dunia, khususnya Indonesia. Terlebih dalam beberapa dekade belakangan ini, banyak kalangan atau kelompok yang gencar mengkampanyekan istilah Islam Kaffah dengan merujuk penerapan khilafah. Khilafah yang dimaksud oleh kelompok ini merujuk pada penerapan syariat Islam secara menyuluruh dalam menjalankan roda pemerintahan suatu negara.

Hemat kata, kelompok ini memproduksi narasi bahwa implementasi nilai-nilai dan ajaran Islam secara kaffah (sempurna/total) dalam seluruh aspek kehidupan hanya bisa terwujud manakala khilafah ditegakkan.

 Logika yang hendak dibangun oleh kelompok pendukung dan pemuja khilafah adalah, bahwa demokrasi dan lainnya—pokoknya ideologi dan sistem negara selain khilafah—adalah produk Barat dan diciptakan untuk merusak serta menjajah Islam.

Memang benar dan takkan terbantahkan bahwa menerapkan nilai dan ajaran Islam secara kaffah adalah perintah Allah dalam Alquran (Al-Baqarah: 208). Namun, tak berarti yang tak menerapkan sistem khilafah tak bisa menerapkan hukum, ajaran dan nilai-nilai Islam secara kaffah, dan menjadi Muslin kaffah tak harus menegakkan khilafah.

Meminjam bahasa Mohammad Nasih (2018) dalam artikelnya Miskonsepsi Khilafah, bahwa khilafah sesungguhnya adalah sistem politik apa pun yang memungkinkan untuk diterapkan hukum-hukum Allah, sehingga rakyat di dalamnya bisa beribadah dengan baik dan juga bisa membangun hubungan di antara sesama mereka secara harmonis. Jadi, secara subtansial, demokrasi sesungguhnya bisa disebut sebagai sistem khilafah, selama nilai-nilai dan hukum Allah bisa diterapkan.

Tafsir Term ‘Kaffah

Kelompok pemuja khilafah selalu mendasarkan pendangannya bahwa Islam Kaffah adalah penerapan syariah melalui sistem khilafah pada beberapa ayat Alquran, diantaranya surat Albaqarah ayat 208 : “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian.”

Baca Juga : Instropeksi Diri, Bukankah Nabi diutus untuk Menyempurnakan Akhlak?

Kitab-kitab tafsir yang muktabar (populer) seperti Tafsir At-Thabari, Ibnu Katsir, dan Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) surat Albaqarah ayat 208 ini berkenaan dengan peristiwa Abdullah bin Salam dan para sahabatnya yang semula dari Yahudi Bani Nadhir di Madinah, kemudian masuk Islam. Meskipun sudah memilih Islam sebagai agamanya, namun mereka masih terpengaruh oleh norma-norma dan ritual agama Yahudi, seperti keharaman memakan daging unta dan penghormatan terhadap hari Sabtu. Enggan melepas tradisi lama, padahal sudah masuk Islam. Lalu turun ayat ini.

Menurut kelompok pendukung penegakan Khilafah Islamiah, kata kaffah diartikan sebagai Islam yang syamil (meliputi segala sesuatu) dan kamil (sempurna). Dari sini belum menuai persoalan yang berarti karena pemaknaan yang demikian ini juga disampaikan oleh jumhur ulama tafsir. Namun, menjadi polemik ketika kata kaffah ini kemudian diartikan sebagai, “tak sepatutnya kaum Muslim mempraktekkan aturan-aturan lain yang bersumber dari Barat…” (Lihat Buletin Dakwah Kaffah terbitan 11 Agustus 2017).

Konsekeunsi dari pemahaman sebagaimana dijelaskan dalam buletin di atas adalah, bahwa sistem demokrasi itu ‘haram’, dan menegakkan khilafah adalah sebuah kewajiban. Pandangan ini merupakan pandangan yang kaku. Bagaimana tidak. Sampai saat ini, belum ada kesepakatan tunggal bahwa mengadakan dan menegakkan khilafah islamilah adalah sebuah kewajiban bagi seorang muslim. Tak ada kesepakatan tunggal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya tidak ada bunyi teks, baik Alquran dan hadis yang menyatakan bahwa menegakkan khilafah itu wajib.

Alasan kedua adalah, bahwa Islam sebagai agama yang komprehensif (din kamil wa syamil) tidak mungkin menegasikan ihwal kenegaraan. Kendati demikian, Islam tidak membahas secara rinci (tak ada konsep utuh dan baku) bagaimana bentuk atau sistem kenegaraan dalam Islam. Yang tertuang dalam ajaran Islam tentang sistem negara adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar bernegara.

Akhlak Karimah Sebagai Solusi

Tidak cukup dalam ranah teologis yang mereka garap, dengan cara mencari dalil tentang kewajiban mengadakan dan menegakkan khilafah Islamiah dalam Alquran, hadis dan pendapat ulama, mereka juga menggarap bidang lain, seperti sosial, ekonomi, dan aspek hidup lainnya.

Dalam bidang sosial, ekonomi, kebudayaan, politik dan aspek kehidupan lainnya, mereka memproduksi beberapa narasi, seperti mengkampanyekan bahwa krisis kebangsaan dan keumatan saat ini terjadi lantaran sistem dan dasar negara yang salah.

Setelah wacana ini digulirkan ke masyarakat secara tersetruktur, massif, dan sistematis, lalu mereka menawarkan pendekatan kekuasaan (khilafah) sebagai solusi atas krisis yang melanda bangsa ini. Khilafah adalah solusi atas krisis yang melanda Indonesia dewasa ini. Kadang-kadang, pada titik ini, banyak masyarakat yang terpengaruh oleh mereka.

Padahal, jika disikapi secara bijak, krisis kebangsaan dan keumatan saat ini lebih bijaknya tak diselaikan dengan pendekataan kekuasaan—mengganti demorasi dan pancasila dengan khilafah—melainkan dengan pendekatan yang dimulai dari perbaikan akhlak sebagai dasar umat untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik, tanpa harus menegakkan khilafah.

Terlebih ketika melihat sepak terjang Nabi Muhammad ketika berdakwah di Madinah. Awal-awal penyebaran Islam, Nabi Muhammad tidak langsung berbicara tentang bagaimana menerapkan ajaran Islam secara kaffah dengan cara menegakkan khilafah (formalisasi syariat Islam dalam negara).

Yang dilakukan Nabi Muhammad adalah memperbaiki dan menyempurnakan akhlak orang-orang Arab pada saat itu. Cara-cara yang karimah (mulia) dan elegan menjadi kunci melakukan perubahan dan mewujudkan Islam yang kaffah.

Penulis yakin bahwa jika krisis yang melanda bangsa Indonesia saat ini bukan karena khilafah belum diterapkan. Sekali lagi tidak! Sekalipun khilafah diterapkan, tak ada yang bisa menjamin bahwa krisis saat ini akan teratasi. Maka, dalam konteks menyudahi krisis bangsa ini, yang bisa dilakukan oleh umat saat ini adalah meletakkan akhlak sebagai ruh dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Akhlak menuntun seseorang untuk melakukan perubahan secara total yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku dan diajarkan oleh agama. Pendekatan akhlak inilah solusi umat saat ini.

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

5 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

6 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

6 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

6 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago