Narasi

Pasca Terbunuhnya Al-Bagdadi

Abu Bakar Al-Bagdadi selaku  Pemimpin  Islamic State of Iraq and Syuria (ISIS) sudah dipastikan tewas. Al-Baghdadi tewas dengan cara meledakkan dirinya setelah terpojok dari serangan pasukan militer Amerika Serikat.

Kematian Baghdadi menjadi kabar gembira bagi sebagian pihak. Presiden AS, Donald Trump, sebagaimana  dilansir CNBC, menyatakan, “Semalam Amerika Serikat menegakkan keadilan pada pemimpin teroris nomor satu dunia…Dia tewas seperti anjing. Dia tewas seperti pengecut. Dunia sekarang menjadi tempat yang jauh lebih aman.”

Terlepas dengan beragam teori yang menyertai munculnya ISIS, kematian Baghdadi perlu mendapat perhatian serius. Sebab, sebagai pimpinan puncak dalam organisasi teroris paling ditakuti saat ini, gerak-gerik Baghdadi bagaikan magnet bagi para pengikutnya.

Akan tetapi, apakah matinya Al-Baghdadi sama dengan matinya ISIS atau aksi terorisme secara umum? Jawabannya tentu tidak. Radikalisme dan terorisme tidak mati hanya karena pemimpinnya mati. Malah justru sebaliknya, para pengikutnya akan semakin menjadi-jadi, lebih bersemangat dalam upaya balas dendam.

Terorisme bukanlah seperti pasukan perang dalam cerita film-film, yang jika pemimpinnya mati, maka otomatis kalah dan langsung menyerah. Organisasi teroris mempunyai loyalitas, militansi, dan semangat juang yang sulit ditandingi.

Baca Juga : Pemuda, Radikalisme, dan Bahasa Pancasila

Kematian Al-Baghdadi justru dikhawatirkan oleh beberapa pihak bangkitnya sel-sel teroris yang selama ini tidur. Kebangkitan sel-sel teroris ini adalah malapetaka dalam mewujudkan perdamaian global.

Direktur Deradikalisasi Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, mengatakan, “Intinya dengan meninggalnya al-Baghdadi, dengan media mempromosikan, justru kita lebih meningkatkan kewaspadaan.” Lebih lanjut, “(Mereka) bisa lebih bersemangat karena memiliki rasa tanggung jawab melanjutkan… merasa lebih militan melanjutkan perjuangan gurunya,” ungkapnya.

Idelogi Khilafah

Kewaspadaan harus tetap ditingkatkan. Mengingat organisasi teroris mempunyai ideologi dan nalar yang sulit dibunuh. Pemimpin, guru, imam, atau entah apa namanya, boleh saja mati dan terbunuh, tetapi ideologi dan nalar teroris itu sangat sulit dibunuh.

Salah satu ideologi ISIS yang paling penting itu adalah cita-cita menegakkan khilafah. Khilafah ISIS tentu berbeda dengan konsep khilafah semisal Hizbut Tahrir (HT) atau Ahmadiyah umpamanya. Perbedaan ini terletak pada konsepnya.

Sesuai dengan penjelasan Ulil Abshar Abdallah, terdapat dua konsepsi khilafah. Pertama, khilafah politik, yang mengandaikan adanya suatu teritori, wilayah yang jelas, yang dijaga dengan pasukan bersenjata (ribat). Inilah yang diusung oleh Hizbut Tahrir.

Kedua, khilafah spiritual, yakni khilafah non-politik yang membolehkan para pengikutnya tinggal di mana saja, asal hati, jiwa, dan rohaninya tetap tunduk dan tersambung dengan otoritas spritual, yakni sang khalifah. Inilah konsepsi khilafah Ahmadiyah Qadian.

Konsepsi khilafah ISIS justru menggabungkan kedua konsep itu. Artinya baik khilafah politik maupun khilafah spiritual, bagi ISIS adalah  wajib dijalankan. Sang khalifah –dalam hal ini Al-Baghdadi –adalah khalifah secara politis juga secara spiritual.

Konsepsi inilah yang membuat para pengikutnya sangat loyal, militan, dan taat membabi-buta. Demi terwujudnya khilafah, cara apapun, membunuh, membom, menumpahkan darah, menyebarkan teror, bisa dilakukan oleh para pengikutnya. Khilafah ala ISIS adalah khilafah yang melegalkan kekerasan.

Khilafah sebagai idologi yang tertanam dalam jiwa para pengikutnya tentu sangat sulit ditangkal. Mereka akan sekuat tenaga mewujudkan itu meski tanpa Al-Baghdadi sekalipun. Ideologi khilafah inilah yang perlu diwaspadai dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Pemuda Sebagai Sasaran

Yang paling rentan terhadap jebakan ideologi khilafah itu adalah para pemuda. Dengan memanfaatkan semangat yang masih energik dalam jiwa pemuda, kaum radikalis lebih mudah mendoktrin dan menyeret para remaja ke dalam lingkaran setan radikalisme.

Animo pemuda bergabung dengan organisasi teroris bukan hanya isapan jempol belaka. Banyak penelitian menunjukkan, bahwa pemuda termasuk spektrum yang renta masuk dalam lingkaran aksi terorisme. Perekrutan para anggota teroris itu, menurut salah satu penelitian, delapan puluh persen (80%) dilakukan lewat media sosial.

Anak muda sebagai pengguna media sosial adalah objek sasaran paling empuk. Hanya bermodalkan video pendek berkualitas rendah, ceramah provokatif, meme, gambar, para teroris itu sudah bisa mendoktrin dan menyeret sasaran mereka masuk ke dalam anggota teroris.

Dalam konteks ini, pemerintah, ormas, dan masyarakat secara umum perlu ikut aktif dalam kerja-kerja menangkal radikalisme. Dalam mengidentifikasi siapa itu kaum radikal , klasifikasi yang dibuat oleh Nadirsyah Husen (Geotimes, 2019) untuk sementara waktu bisa dijadikan sebagai rujukan.

Yakni, radikal dalam: (1) keyakinan, (2) tindakan, dan (3) politik. Kategori yang pertama adalah mereka yang bermazhab takfiri, beda dikit kafir, salah sikit kafir. Ketegori kedua, mereka yang dalam tindakan mengusung konsep jihadis, yang mau membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan baik oleh agama maupun negara. Kategori ketiga, mereka yang mau mengganti sistem politik, tata-kelola negara, menjadi sistem khilafah.

Ketiga ketegori ini bisa dijadikan sebagai tameng dalam mengantisipasi gerak arus deras penetrasi radikalisme, terutama kepada para pemuda. Dengan kerja kolektif, setidaknya ada upaya perlawanan dalam meminimalisir  serangan virus radikalisme.

Ahmad Kamil

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

8 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

8 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

8 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

1 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

1 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

1 hari ago