Happy New Year 2020. Memasuki tahun baru ini, kita perlu mereflesikan tahun-tahun sebelumnya yang sudah kita lalui bersama. Akankah perilaku kita sudah sesuai dengan spirit kemanusiaan yang sudah digalakkan oleh para guru bangsa?. Apakah radikalisme yang menyebabkan banyak persoalan di tahun-tahun sebelumnya sudah sepenuhnya teratasi? Mari sejenak refleksikan bersama momentum menjalani tahun baru ini dengan membangun spirit kolektif untuk membangun moderasi demi keberlangsungan kemanusiaan.
Memasuki era disrupsi ini, kita tidak bisa menghindari gempuran gelombang tsunami informasi dari berbagai sudut di media. Kita memasuki budaya konsumerisme khususnya informasi, saat ini media sosial (facebook, instagram, twitter dlll) menjadi asupan nutrisi informasi pertama masyarakat Indonesia mulai bangun tidur di pagi hari hingga sebelum tidur di malam hari. Selain itu, ribuan platform media online menjadi asupan informasi terpercaya masyarakat Indonesia, tanpa ada proses check and recheck validitasnya. Narasi agama juga banyak dipolitisir oleh berbagai media untuk menuangkan kepentingannya. Prinsip-prinsip jurnalisme yang sejatinya mengedepankan kebenaran sudah banyak diabaikan, dan justru lebih mementingkan komoditas komersial.
Akibat konsumsi media yang begitu massif tanpa proses klarifikasi dan pembacaan yang kritis, kita hanya menerima asupan sampah informasi yang justru membuat kita semakin ekslusif. Hal ini diperparah dengan kondisi bangsa saat ini yang masyarakatnya begitu mudah termakan hoax, sekitar 62-65% masyarakat sukar membedakan berita hoax. Padahal, narasi hoax bisa mengkonstruksi sikap-sikap radikal karena konsumsi informasi yang tidak benar. Untuk itu, diperlukan upaya counter narasi terhadap narasi hoax yang massif dengan narasi moderasi.
Selain itu, hilangnya dalam pendidikan keagamaan kita tentang cara menghormati harkat dan martabat kemanusiaan, padahal hal ini merupakan inti dari filosofi pendidikan. Kita belajar agama, tetapi tidak banyak yang belajar ‘tentang’ agama. Banyak yang belajar agama, tetapi tidak belajar ‘ber-agama’. Agama sejatinya menjunjung tinggi visi kemanusiaan. Kitab Al-Qur’an itu diakhiri dengan surat An-Naas, bukan Surat Al-Mukminun, yang menunjukkan bahwa kita harus memanusiakan manusia bukan justru mereduksi kemanusiaan.
Baca Juga : Resolusi 2020: Menjadi Manusia Berkemajuan Bebas dari Intoleransi
Munculnya kelompok radikal disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Dicky Sofjan, Dosen ICRS UGM, munculnya orang-orang radikal di Indonesia disebabkan oleh kemampuan critical thinking yang rendah, kurangnya memahami ‘realitas’ dan tidak terima terhadap kondisi riil dunia saat ini, kemudian adanya Infleksibilitas dalam berpikir (cognitive inflexibility).
Hal ini menandakan bahwa kemampuan bacaan yang luas, kritis dan mendalam diperlukan untuk mengurangi sikap radikal di masyarakat. Sikap radikal ini juga banyak muncul disebabkan minimnya interaksi dengan golongan yang berbeda, dan kurangnya piknik dengan memahami multikulturalisme yang ada di muka bumi. Di manapun radikalisme secara naluriah tertolak, karena radikalisme bertantangan dengan naluri kemanusiaan dan mampu mendestruksi kemanusiaan itu sendiri.
Dewasa ini radikalisme harus direduksi, salah satunya dengan jalan moderasi. Meminjam bahasa Haedar Nashir (2019) bahwa salah satu upaya yang paling solutif untuk mereduksi radikalisme adalah dengan jalan moderasi. Jika radikalisme bagian dari keniscayaan manusia, maka mereduksinya bukan dengan jalan deradikalisme. Tetapi,diupayakan dengan jalan moderasi. Karena, radikalisme menjadi persoalan yang harus terus dilawan dengan narasi moderasi, bukan justru menghilangkan radikalisme itu sendiri.
Dengan momentum tahun baru ini, sudah bukan zamannya membicarakan mayoritas dan minoritas yang seringkali memunculkan sikap radikal, karena ingatan pahit tentang konflik mayoritas-minoritas di masa lalu menjadikan kita sebagai bangsa yang terpecah-pecah, bukan bangsa yang bersatu dalam tarikan nafas perbedaan. Kita perlu banyak ‘merasa’ menjadi bagian dari dari bagian yang lain, melebur dan mengintegrasikan diri dengan yang lain sebagai bentuk dari aktualisasi Bhinneka Tunggal Ika.
Akhirnya, tahun baru 2020 ini kita jadikan refleksi sekaligus spirit untuk bersama-sama membangun kekuatan kolektif horizontal agar mampu menguatkan basis kemanusiaan di masyarakat. Sehingga, dapat menimbulkan kemaslahatan bersama sebagai inti dari ajaran agama. Semoga.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…