Narasi

Jalan Panjang Moderatisme

Kalau cinta sudah dibuang

Jangan harap keadilan akan datang

Kesedihan hanya tontonan

Bagi mereka yang diperbudak jabatan

—Iwan Fals

Pada tahun 2017 saya melihat bahwa radikalisasi keagamaan di Indonesia terjadi pada dua tataran: tataran birokratik dan tataran kerakyatan. Yang pertama berupaya melakukan formalisasi Islam—tanpa hirau pada aspek substansialnya yang mampu menjadi titik-singgung dalam keberagaman—pada kalangan menengah ke atas dengan memanfaatkan otoritas dan fasilitas negara. Sementara yang kedua teradikalisasi karena faktor kekurangan mereka yang umumnya berada di kalangan masyarakat kelas bawah yang notabene cenderung populistik dalam orientasi politiknya (Hikayat Kebohongan, Heru Harjo Hutomo, https://islami.co).

Ketika HTI resmi dibubarkan pemerintah dan menjadi organisasi terlarang pada tahun 2017 tak serta merta organisasi transnasional yang dibesut Taqiyuddin an-Nabhani itu lenyap untuk selamanya (Perda Intoleransi, Perda Radikalisme, dan Nasib RUU Antiterorisme, Heru Harjo Hutomo, https://www.gusdurian.net). Di hari ini mereka telah bertransformasi sedemikian rupa. Setelah kalangan kelas menengah terkuasai pada tataran mindset dan habitusnya, HTI kini lebih menyasar kalangan bawah yang kehidupannya serba berkekurangan. Mereka bersembunyi di balik isu-isu populistik—dan menungganginya untuk agenda yang jauh lebih besar—yang dalam hal pembawaan dan pendekatan seolah jauh dari kesan keagamaan (Kanan Terantuk, Kiri Terketuk, dan Paradigma Kehidupan Baru, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Secara sekilas para pengikut eks-HTI memang cukup cerdik dalam membaca dan memanfaatkan trend spiritualitas yang maunya serba instan laiknya mie kemasan yang tinggal seduh dan sajikan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa orang-orang yang notabene jauh dari kesan agama berbondong-bondong ingin tampak beragama. Salah satunya karena dipicu oleh isu komunisme yang tengah merebak. Kenangan penyembelihan orang di era ’65 pada kalangan masyarakat bawah yang serba berkekurangan dan mencoba kritis terhadap keadaannya terbukti cukup ampuh untuk mengislamkan mereka dengan Islam “putih” atau puritan ala Taqiyuddin.

Baca Juga : Generasi Millenial, Paham Radikal dan Duta Moderasi

Kalangan masyarakat bawah umumnya awam terhadap spiritualitas Islam sebagaimana sufisme atau tasawuf. Dalam Nizhamul Islam, yang barangkali oleh para pengikut Taqiyuddin digembar-gemborkan sebagai semacam kitab tasawuf untuk menggaet simpati orang-orang awam, “cinta dan ridha Tuhan” juga menjadi kredo bagi kehidupannya (Radikalisme dan Terorisme Sebagai Fenomena Ideologis, Bukan Agamis, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Di sinilah saya kira para pengikut eks-HTI ikut bermain dengan menyebarkan virus “cinta” dan “ridha” ke khalayak awam yang jauh dari pemahaman agama yang komprehensif dan kalangan muda yang memang sedang menjelang fase cintabutanya.

Pada kalangan muda dan kalangan bawah yang serba berkekurangan dan jauh dari wawasan keagamaan yang memadai, ketika mindset dan habitus mereka sudah tergarap, output yang muncul adalah karakter “masturbasif” yang oleh Serat Wedhatama digambarkan sebagai “Si pengung nora nglegewa/ Sangsayarda denira cacariwis/ Ngandhar-andhar angendhukur/ Kandhane nora kaprah”(Islam Radikal dalam Filsafat Perwayangan dan Serat Wedhatama, Heru Harjo Hutomo, https://etnis.id). Dengan demikian, saya kira, apa yang saya catat hari ini, adalah sekali lagi sebuah pembuktian dalil bahwa ekstrimisitas atau radikalitas akan selalu melahirkan ekstrimisitas atau radikalitas lainnya. Mereka selalu satu dan sama dalam hal episteme, hanya berbeda pada nasib dan gemerlap pakaiannya. Sebagaimana terorisme berkedok agama, untuk tujuan yang secara moral terkesan mulia, apapun boleh ditempuh, termasuk pada hal-hal yang secara moral terkesan busuk.

This post was last modified on 1 Juli 2020 1:45 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Kesiapsiagaan Merupakan Daya Tangkal dalam Pencegahan Terorisme

Ancaman terorisme yang terus berkembang bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan pendekatan konvensional atau sekadar…

5 hari ago

Zero Attack; Benarkah Terorisme Telah Berakhir?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia tampak lebih tenang dari bayang-bayang terorisme yang pernah begitu dominan…

5 hari ago

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

6 hari ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

6 hari ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

6 hari ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

7 hari ago