Anak muda identik dengan gejolak psikologis dan gairah yang menggebu-gebu. Tidak terkecuali dalam hal urusan keagamaan. Maka tidak mengherankan jika kaum muda selalu tertarik pada dakwah bermuatan perjuangan menegakkan kejayaan Islam. Dakwah keislaman yang menyajikan narasi konspiratif tentang kemunduran Islam dan perjuangan meraih kejayaan dengan jalan khilafah cenderung laku di kalangan anak muda.
Rasa ingin tahu yang tinggi ditambah semangat yang berkobar adalah perpaduan menarik dari sisi keagamaan kaum muda. Di satu sisi, hal itu tentu bernada positif jika diarahkan ke hal-hal yang baik. Misalnya, kegairahan anak muda pada agama itu disalurkan pada bidang pendidikan atau pengetahuan. Di sisi lain, gairah keagamaan itu bisa berbahaya, apalagi jika bertemu dengan ideologi radikal. Fenomena inilah yang belakangan mewarnai lanskap sosial-keagamaan di Indonesia.
Maraknya radikalisme di kalangan anak muda adalah sebuah ironi. Di satu sisi, anak muda adalah generasi penerus bangsa. Pada merekalah masa depan bangsa ini akan ditentukan. Lantas, bagaimana jadinya jika mereka justru kehilangan spirit nasionalisme lantaran terjebak pada gerakan radikalisme keagamaan? Menjadi anak muda memang tidak mudah. Tekanan psikologis sekaligus sosiologis kerap membuat kaum muda mencari bentuk eskapisme sebagai penegasan identitas.
Gaya hidup hedonisme kerap kali menjadi pelarian bagi mereka yang berhaluan sekuler. Sebaliknya, radikalisme agama kerap menjadi persinggahan bagi anak muda yang relijius. Kedua-duanya tentu bukan pilihan. Hedonisme dan radikalisme meski berada di dua kutub berbeda sama-sama membawa efek kehancuran alias destruksi yang nisbi sama.
Baca Juga : Generasi Millenial, Paham Radikal dan Duta Moderasi
Dalam konteks Islam Indonesia, radikalisme di kalangan kaum muda bisa jadi merupakan akumulasi dari beragam persoalan. Mulai dari problem ketimpangan sosial-ekonomi, dimana sebagian anak muda tidak dapat mengakses hasil pembangunan yang diselenggarakan pemerintah. Kondisi ini lantas memicu kecemburuan pada kelas sosial lain, bahkan acapkali menumbuhkan kebencian pada negara. Sikap curiga kepada kelompok lain dan kebencian pada negara ialah lahan subur bagi tumbuhnya paham radikalisme keagamaan.
Selain problem ekonomi, fenomena radikalisme agama juga dilatari oleh politik praktis yang diwarnai oleh sentimen identitas dan ujaran kebencian. Praktik politik yang mengeksploitasi sentimen identitas agama disinyalir telah menyuburkan radikalisme agama di tengah masyarakat. Bangkitnya populisme Islam yang disokong oleh kelompok konservatif kanan telah menjadi semacam bukti tak terbantahkan bagaimana kepentingan politik temporer berpengaruh pada radikalisme agama. Para elite politik bermental pragmatis kerap dengan sadar memberikan ruang gerak pada gerakan radikalisme agama demi mewujudkan kepentingan elektoralnya. Simbiosis mutualisme antara politisi dan eksponen radikalisme ini jelas membahayakan keutuhan bangsa dan negara.
Faktor lain yang juga turut andil menyuburkan radikalisme agama di kalangan kaum muda ialah kondisi ketimpangan global dimana negara-negara muslim kerap menjadi korban hegemoni Barat (AS dan Eropa). Selain isu ketimpangan ekonomi dalam negeri, isu ketimpangan global juga kerap dimainkan oleh kelompok radikal untuk merekrut anggota di kalangan generasi muda milenial. Para eksponen gerakan radikal pun mengklaim bahwa perjuangannya merupakan jihad fi sabilillah. Istilah jihad selama ini telah menjadi semacam daya tarik tersendiri bagi anak muda untuk bergabung dalam gerakan radikal. Bagi sebagian generasi muda, bergabung di ormas-ormas Islam berhaluan radikal atau pengusung khilafah ialah misi jihad suci membela agama Allah.
Pandangan yang demikian ini jelas salah dan tidak tepat. Untuk itulah, diperlukan moderasi makna jihad agar kontekstual dengan tantangan zaman kekinian. Kaum muda muslim harus paham bahwa makna dan esensi jihad dalam Islam tidaklah sama dengan berperang apalagi melakukan tindak kekerasan dan pemaksaan terhadap kelompok lain. Jihad dalam Islam ialah berupaya sungguh-sungguh dalam melakukan hal baik. Secara garis besar, segala aktivitas yang bertujuan maslahat jika dilakukan secara sungguh-sungguh, maka bisa dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah.
Kaum muda muslim juga harus diberikan pencerahan bahwa kekerasan apalagi terorisme atas nama Islam tidaklah merupakan representasi dari jihad, melainkan bentuk kejahatan kemanusiaan yang justru bertentangan dengan nilai Islam. Terorisme ialah kejahatan keji yang dikutuk oleh Islam. Sebagaimana makna dasarnya, Islam ialah agama kasih sayang dan keselamatan. Islam anti pada kekerasan sebagaimana agama-agama lain juga mengutuknya. Jihad memang bisa dimaknai sebagai peperangan. Namun demikian, di dalam Islam peperangan ialah mekanisme penyelesaikan konflik paling akhir jika seluruh mekanisme perdamaian dan negosiasi gagal dilakukan. Selain itu, peperangan dalam Islam juga tidak bisa dilakukan secara sembarangan, alih-alih harus mematuhi aturan tertentu.
Moderasi makna jihad ini diperlukan agar kaum muda tidak mudah terbujuk oleh hasutan kaum radikal. Anak muda muslim harus paham bahwa di era kontemporer, terlebih di masa pandemi Covid-19, makna jihad tidaklah sesempit memperjuangkan ideologi agama. Di masa pandemi Covid-19 ini, jihad idealnya ditafsirkan sebagai gerakan sosial berbasis solidaritas kemanusiaan. Dalam tafsiran yang demikian ini, maka tenaga kesehatan yang berjuang di garis depan melawan pandemi pada dasarnya tengah ber-jihad. Begitu pula seluruh elemen masyarakat yang saling meringankan beban satu sama lain pada dasarnya juga tengah melaksanakan jihad kemanusiaan.
Moderasi makna jihad ini penting untuk membentengi kaum muda dari anasir radikalisme. Seperti disebut di muka selama ini terminologi jihad telah menjadi komoditas andalan kaum radikal untuk meraih simpati kaum muda. Jihad yang dimaknai sebagai kekerasan dan perang dicitrakan sedemikian rupa sehingga tampak heroik dan suci. Alhasil, banyak anak muda tertarik pada gerakan radikal dan merasa keterlibatannya sebagai bagian dari jihad. Adalah tugas masyarakat dan pemerintah untuk mengarahkan gairah dan semangat kaum muda pada agama agar berorientasi pada hal positif. Tidak kalah penting dari itu semua, para orang tua, keluarga, lingkungan, lembaga pendidikan dan tentunya para tokoh agama dan organisasi keislaman perlu bersinergi untuk memberikan pemahaman keagamaan yang komprehensif, mendalam dan utuh pada kaum muda.
Lebih spesifik, pemerintah Indonesia dalam lingkup kecil dan dunia Islam dalam konteks yang lebih luas perlu mengupayakan terciptanya kejayaan dan kesejahteraan Islam melalui jalan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Revolusi Islam apalagi yang mengagendakan pendirian pemerintahan Islam alias khilafah tidak menjamin sepenuhnya kejayaan Islam. Transformasi di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan lah yang akan menuntun umat Islam menuju puncak kejayaan. Terakhir, umat Islam di seluruh dunia juga perlu mengembangkan sistem demokrasi yang sehat dan steril dari unsur politik identitas apalagi ujaran kebencian. Demokrasi di dunia Islam idealnya tidak hanya menjadi mekanisme suksesi kekuasaan. Lebih dari itu, demorkasi idealnya juga mampu memberikan pencerahan pada publik, khususnya generasi muda akan pentingnya hidup harmonis dalam bingkai perbedaan.
This post was last modified on 1 Juli 2020 1:32 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…