Narasi

Jihad Fi Sabilillah Melawan Penjajah

Tak terasa, bulan Agustus tahun ini, kita memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-72. Meski sudah terhitung lama, kita mesti terus mengingat semangat kebersamaan para pejuang kemerdekaan tempo dulu. Tahun lalu, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa ada empat tanggal besar yang saling berkorelasi sebagai tonggak lahirnya kekuatan NKRI. Pertama, tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Kedua, 5 Oktober 1945 hari lahirnya TNI (dulu bernama Tentara Keamanan Rakyat/TKR). Ketiga, 22 Oktober 1945 sebagai Hari Resolusi Jihad. Keempat, 10 November 1945 sebagai hari Pahlawan Nasional.

Dari keempat tonggak sejarah ini, kaum nasional dan agamis selalu bergandeng tangan dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kita tak akan pernah kehabisan referensi betapa kelompok nasionalis memiliki peran besar dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan, sejak sekolah dasar, kita sudah mendapatkan sejarah tersebut. Sementara, meski telah lama terkubur, peran kelompok agamis semakin terbaca. Saat ini banyak catatan yang mengisahkan betapa kelompok agamis memiliki peran sentral dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan, perjuangan kelompok nasionalis diperkirakan tidak akan mendapatkan hasil maksimal tanpa adanya sumbangsih besar dari kelompok agamis.

Sebelum bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1944, Panglima Besar Jenderal Sudirman dididik oleh Kiai Haji Busyro Syuhada, seorang ulama yang memiliki pesantren di desa Binorong, Banjarnegara. Di pesantren inilah, Jendral Sudirman tidak saja digembleng dengan ilmu bela diri namun juga mendapat penanaman semangat memperjuangkan negara. Maka tak mengherankan, meskipun sedang menderita sakit paru-paru dan harus ditandu, semangat perjuangannya tetap tinggi.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, pasukan sekutu datang kembali dengan dalih mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Padahal, mereka datang sebagai bentuk pengingkaran terhadap kemerdekaan Indonesia. Presiden Soekarno pun segera menemui Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Soekarno memilih Mbah Hasyim (sapaan KH Hasyim Asy’ari) karena dirinya merupakana sosok yang paling dihormati oleh para kiai se-Nusantara. Soekarno menanyakan sikap umat Islam terhadap adanya “ancaman” dari Sekutu.

Mendapat pertanyaan dari Soekarno, Mbah Hasyim menjawab bahwa umat Islam jihad fi sabilillah untuk NKRI. Selanjutnya, pada tanggal 22 Oktober 1945, Mbah Hasyim mengeluarkan resolusi jihad (perintah perang suci). Puluhan ribuan kiai dan santri pun berbondong ke Surabaya. Puncaknya, tanggal 10 November 1945, atas izin Mbah Hasyim, Bung Tomo mampu menggelorakan semangat jihad arek-arek Surabaya dalam rangka melawan sekutu. Sejarah mencatat bahwa 10 November 1945 merupakan perang terbesar. Selain itu, tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby di Subaraya juga menjadi peristiwa yang luar biasa. Mallaby merupakan satu-satunya Jenderal Sekutu yang tewas dalam Perang Dunia Kedua.

Selain itu, bambu runcing tak saja melambangkan keberanian dan pengorbanan dalam meraih kemerdekaan yang membabi-buta. Keberanian dan pengorbanan ini tumbuh karena dorongan semangat jihad fi sabilillah melawan penjajah. Di samping itu, bambu runcing yang digunakan sebagai senjata tak sekadar bambu biasa namun telah diisi dengan mantra-mantra sehingga tidak kalah kuat dengan senjata musuh yang secara kasap mata terlihat lebih modern dan ampuh. Di balik keberadaan barisan bambu runcing terdapat seorang kiai besar dari Parakan Temanggung bernama KH Subkhi.

Sungguh, para kiai dan santri yang mempertaruhkan nyawa demi memeperjuangkan kemerdekaan tak sekadar ingin dicatat dalam sejarah sebagai orang yang berjasa. Mereka juga tidak bermimpi untuk dipahlawannasionalkan. Semua dilakukan atas dasar semangat jihad fi sabilillah. Sementara, semangat patriotisme kelompok nasionalis yang berjuang bersama kaum santri juga tidak memiliki pamrih apa-apa, kecuali memperjuangkan kemerdekaan negara. Harapannya, anak turun dapat hidup bebas sehingga dapat berkarya demi kemanfaatan diri dan bersama. Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

18 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

18 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

18 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago