Narasi

Jihad Politik di Masjid untuk “Ummat”?

Suatu ketika pemuda itu dengan semangat berapi-api menegaskan akan membangun perjuangan dari masjid sebagaimana Rasulullah SAW melakukan setelah hijrah. Ia akan menjadikan masjid sebagai ruang jihad politik. Bukan merinding mendengarnya, tetapi menggelikan.

Masjid, menurutnya, bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga jadi pusat tempat akupansi ide dan juga etalase gagasan. Di masjid itulah, ruang pertemuan pikiran untuk menyusun rencana dan starategis keumatan, dan menjadi titik nol sebuah perjuangan termasuk di dalamnya yang disebutnya sebagai jihad politik.

Pernyataan di atas memang benar adanya. Masjid memang bukan sekedar ibadah, tetapi juga kepentingan umat, termasuk politik keumatan. Namun, masjid bukan digunakan untuk kepentingan sebuah partai politik mengatasnamakan umat, apalagi sampai memecah belah umat.

Nampaknya pemuda ini kurang paham tentang politik keumatan dengan hanya politik yang mengatasnamakan umat. Ketidakpahamannya juga ketika berbicara tentang agama dan politik tidak boleh dipisahkan karena akan cenderung sekuler.

Pemuda ini memang harus lebih banyak membaca daripada banyak berorasi. Akan bahaya karena cenderung menyesatkan logika dari pada memberikan pencerahan. Agama dan politik memang tidak boleh dipisahkan, tetapi bukan berarti agama diperalat untuk kepentingan politik.

Kepentingan politik praktis ketika masuk dalam ruang mimbar masjid berpotensi besar membuat polarisasi di tengah umat. Masjid yang sedianya mempersatukan semua golongan akan merusak ukhuwah antar para jamaah.

Persatuan umat harus menjadi tujuan utama walaupun beda pilihan politik. Karena itulah, tidak relevan walaupun dengan dalih jihad politik, masjid dijadikan ruang kontestasi dalam politik praktis. Jangan membawa nama jihad politik, tetapi ingin memecah jamaah dengan pilihan politik.

Memang masa Rasulullah masjid tidak hanya digunakan untuk kepentingan ibadah, tetapi kepentingan politik umat. Namun, Kontruksi politik Pemilu sangat jauh berbeda dengan politik keumatan. Jangan menjual kepentingan umat jika hanya untuk kepentingan Partai satu umat.

Harus dibedakan antara kepentingan politik umat dengan hanya kepentingan Partai Politik yang mengatasnamakan umat. Masjid digunakan untuk memperkuat wawasan politik keumatan, bukan sebagai ajang kampanye politik praktis yang meniscayakan kontestasi. Ketika frame kontestasi yang muncul, perbedaan akan terjadi.

Apa yang ditakutkan dari kepentingan politik praktis masuk mimbar agama? Pertama, mempolitisasi ayat dan dalil agama untuk mendukung dan mencela kelompok yang berbeda. Ajaran agama digunakan sebagai justifikasi untuk membela dan mencela. Ayat dan dalil diperdagangkan untuk kepentingan politik.

Kedua, polarisasi jamaah berdasarkan pilihan politik. Kepentingan politik praktis meniscayakan dukungan dan kontestasi. Bayangkan jika semua partai politik menjadikan masjid sebagai jihad politik praktis. Jika hal itu terjadi, masjid menjadi ruang kampanye yang memilah dan memilih berdasarkan pilihan politik.

Ketiga, merusak ukhuwah jamaah masjid. Ketika hal terjadi tali persaudaraan dan silaturrahmi antar jamaah akan rusak. Masjid bukan menjadi rumah Tuhan untuk menyatukan semua umat Islam, tetapi menjadi rumah dukungan partai politik berdasarkan kepentingan masing-masing. Secara tegas Dewan Masjid Indonesia mewanti-wanti agar masjid tidak dijadikan ruang kampanye partai politik yang dapat memecah belah masyarakat. Masjid bukan untuk menjadi ruang riuh kepentingan partai politik, tetapi untuk kepentingan bersama umat.

This post was last modified on 24 Februari 2023 1:39 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Euforia Kemerdekaan Rakyat Indonesia Sebagai Resistensi dan Resiliensi Rasa Nasionalisme

Kemerdekaan Indonesia setiap tahun selalu disambut dengan gegap gempita. Berbagai pesta rakyat, lomba tradisional, hingga…

13 jam ago

Pesta Rakyat dan Indonesia Emas 2045 dalam Lensa “Agama Bermaslahat”

Setiap Agustus tiba, kita merayakan Pesta Rakyat. Sebuah ritual tahunan yang ajaibnya mampu membuat kita…

13 jam ago

Bahaya Deepfake dan Ancaman Radikalisme Digital : Belajar dari Kasus Sri Mulyani

Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan beredarnya video Menteri Keuangan Sri Mulyani yang seolah-olah menyebut…

13 jam ago

Malam Tirakatan 17 Agustus Sebagai Ritus Kebangsaan Berbasis Kearifan Lokal

Momen peringatan Hari Kemerdekaan selalu tidak pernah lepas dari kearifan lokal. Sejumlah daerah di Indonesia…

2 hari ago

Dialog Deliberatif dalam Riuh Pesta Rakyat

Di tengah riuh euforia Kemerdekaan Republik Indonesia, terbentang sebuah panggung kolosal yang tak pernah lekang…

2 hari ago

Pesta Rakyat, Ritual Kebangsaan, dan Merdeka Hakiki

Tujuh Belasan atau Agustusan menjadi istilah yang berdiri sendiri dengan makna yang berbeda dalam konteks…

2 hari ago