Keagamaan

Politisasi Dalil Agama dalam Pandangan Ulama Fikih

Saat ini kita sedang menyambut pesta demokrasi Pilpres dan Pileg 2024. Situasi tahun politik seperti sekarang ini, kita sering menjumpai oknum yang menyampaikan pesan-pesan politik dengan cara menjual ayat-ayat dan dalil dengan memanipulasi kebenaran objeknya. Semisal, mengarahkan ayat al Qur’an tidak sesuai dengan objek hukum sebenarnya, namun dipolitisasi untuk kepentingan calon tertentu.

Lebih kompleks lagi manakala jual dalil dan ayat dilakukan di mimbar-mimbar keagamaan, seperti khutbah dan mimbar pengajian. Dalam konteks inilah dibutuhkan kesadaran dan kearifan untuk menimbang konsekuensi yang muncul tatkala ayat dan dalil dibuat sebagai intrik untuk menipu demi kepentingan politik.

Pada prinsipnya, menguatkan konsep politik dengan ayat dan dalil hukumnya halal, selama bukan politisasi ayat dan dalil. Allah mengingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan”. (An Nisa: 135).

Mendahulukan kelompok tertentu/seseorang dengan prinsip skala prioritas kemaslahatan tidak masalah. Pesan-pesan substantif dari ayat dan dalil disampaikan untuk mencari dukungan terhadap calon yang memang memiliki kualifikasi dan kapabilitas yang memadai.

Dalam kitab Al Asybah wa an Nadzair karya Imam Suyuthi dijelaskan, skala prioritas harus didahulukan dengan mengedepankan sesuatu yang lebih mendesak dan seterusnya. Artinya, menguatkan tujuan politik dengan ayat dan dalil dalam upaya mewujudkan skala prioritas (taqdimul ahwaj) tidak mengapa. Yang dilarang adalah mengalihkan makna ayat dan dalil untuk menyuplai dan memaksa menyetujui dan memilih salah satu kontestan, sekalipun tidak memenuhi kualifikasi untuk memberikan maslahat.

Sayyid Maliki dalam Syari’atullah al Khalidah mengatakan, karena maksud (mereka) bukanlah untuk menempatkan kebenaran dan hukum Allah dalam suatu persoalan (sebenarnya), melainkan semata-mata politisasi. Mereka bermaksud memaksakan fikih dan agama atas (kepentingan) politik dan menarik fikih demi hasrat politik. Bukan sebuah upaya untuk mengaktualisasi politik berwawasan fikih.

Menjual ayat dan dalil demi kepentingan politik tak ubahnya menggadaikan agama untuk mendukung keburukan. Apalagi, lantaran beda pilihan politik ayat dan dalil diselewengkan dan dibuat stigmatisasi kafir, musyrik, murtad, sesat, bid’ah dan penista agama. Inilah yang dilarang. Menyeret agama dalam ruang politik semata-mata dijadikan alat untuk menguntungkan salah satu kandidat dan merugikan calon lain.

Hal itu dilarang karena akan mengakibatkan hancurnya muruah agama dan ketidakpercayaan publik pada agama. Tentunya, tidak akan ada harapan untuk melakukan amar makruf karena marwah agama telah hilang dan publik tidak percaya sedari awal.

Bahaya lain menjual ayat dan dalil adalah terkoyaknya keutuhan NKRI. Benar dan tidak bisa disangkal, republik ini lahir dengan dilandasi semangat keagamaan yang kuat. Tapi, harus disadari juga bahwa republik ini lahir karena kuatnya semangat kebersamaan dan persatuan berbagai unsur masyarakat yang ada di Nusantara ini.

Dengan demikian, keliru kalau mengatakan, menolak politisasi agama sebagai manifestasi dari islamophobia, atau sebagai ekspresi dari ketidaksukaan pada Islam. Justru, sebagai bentuk pemuliaan terhadap nilai-nilai agama dan kecintaan terhadap tanah air yang memang menjadi ajaran Islam.

Pada saat ayat dan dalil agama semata-mata semata-mata dijadikan alat politik, sama halnya pengabaian terhadap nilai-nilai luhurnya. Yang dilarang bukan menolak agama masuk dalam ranah politik, melainkan setiap upaya politisasi agama sebab akan membahayakan terhadap keberagamaan, keberagaman dan kebangsaan.

Oleh karena itu, sepatutnya kita sebagai umat Islam menghindari menjual ayat dan dalil demi kepentingan politik tertentu atau untuk pemenangan seorang kontestan politik. Ingatlah apa yang disabdakan oleh Nabi:

“Agama itu Nasihat. Rasul ditanya: Untuk siapa wahai Rasulullah? Untuk Allah, rasul-Nya, para pemimpin dan rakyat secara keseluruhan”. Agama adalah nasihat pada kebenaran dan menyampaikan nilai-nilai ajaran secara objektif. Bukan menjual nilai-nilai itu untuk kepentingan politik. Sebab, kalau itu yang terjadi, maka agama dideportasi dari tujuannya semula sebagai nasihat menjadi alat politik yang berbahaya bagi umat Islam dan keutuhan bangsa serta jauh dari nilai-nilai rahmatan dan kemanusiaan.

This post was last modified on 24 Februari 2023 1:31 PM

Faizatul Ummah

Recent Posts

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

19 jam ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

22 jam ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

22 jam ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

2 hari ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

2 hari ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

2 hari ago