Categories: Keagamaan

Jihad Tanpa Kebencian

Nabi Muhammad memimpin pasukan muslim di perang Badar dengan hasil gemilang. Perang ini menjadi salah satu yang paling kesohor dalam sejarah era penyebaran Islam di zaman Rasulullah, yang memperhadapkan sekitar 300 tentara muslim dengan jumlah lawan jauh lebih besar, sekira 1000 orang. Bisa dipahami kalau perang yang sangat berat ini dikenang dengan bangga oleh kaum muslim.

Tapi ketika pulang dari medan perang, Nabi segera berkata, “kita baru saja kembali dari peperangan kecil (jihadul ashgar), dan akan menuju perang besar (jihadul akbar).” Sontak saja para sahabat kaget mendengarnya. Perang Badar yang demikian beratnya dikatakan oleh Nabi hanya sebagai perang kecil?

“Peperangan apakah lagi (yang lebih besar dari perang Badar) wahai, Nabi?” tanya sahabat.

“Peperangan melawan hawa nafsu (jihadun nafsi),” jawab Nabi. Kebetulan pada saat itu sedang dalam waktu bulan Ramadhan. Fragmen kecil ini kemudian menjadi rujukan penting para ulama dalam memaknai kata “jihad” dalam ajaran Islam.

Jihad adalah salah satu ajaran yang bersifat sensitif dalam Islam. Orang-orang Barat, terutama pengidap islamofobia kerap salah mempersepsikan jihad sebagai ajakan bagi kaum muslimin untuk memerangi kelompok-kelompok lain di luar Islam. Tapi kesalahpahaman ini kadang diamini juga oleh beberapa kelompok orang yang mengaku penganut Islam, namun mengajarkan untuk membenci kelompok lain.

Sebagai contoh, kelompok-kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam seringkali memakai doktrin jihad sebagai landasan gerakan dan rekrutmennya. Jihad yang sebetulnya artinya sangat luas, dimaknai secara sempit, sekadar membenci dan memerangi orang “kafir”. Perintah jihad seolah-olah sudah pasti membawa unsur kebencian kepada kelompok lain. Padahal memberi label kafir pada orang lain pun bukan perkara main-main. Dan kalau menilik riwayat yang disebut di atas, nabi justru menekankan perjuangan yang sangat personal, yakni melawan hawa nafsu, sebagai jihad skala besar.

Jihad yang berasal dari kata “jahada” atau ”jahdun”, secara bahasa berarti usaha atau kekuatan. Secara umum jihad bisa diartikan sebagai, mengerahkan segala usaha atau kekuatan untuk menuju kepada jalan yang diyakini sebagai kebenaran. Dalam Majmu Al Fatawa, Ibnu Taimiyah mendefinisikan jihad sebagai, mengerahkan seluruh kemampuan untuk mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak yang dibenci Allah.

Dalam sejarah Indonesia, istilah jihad pernah dikaitkan dengan ajakan peperangan kepada kaum penjajah. Hal ini dilakukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari bersama banyak ulama lainnya dalam seruan Resolusi Jihad yang antara lain berbunyi, “wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan Belanda (penjajah).” Seruan yang diumumkan pada 22 Oktober 1945 ini dikeluarkan karena konteks Indonesia saat itu yang tengah mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung, sementara pihak penjajah terus menekan dan menginvasi beberapa wilayah nusantara dengan gerakan bersenjata.

Selepas perjuangan kemerdekaan dan berakhirnya era perjuangan bersenjata, K.H. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya melalui Nahdlatul Ulama meneruskan jihad untuk mengisi kemerdekaan dengan baik. Di antaranya berkonsentrasi pada bidang pengembangan pendidikan umat melalui pesantren-pesantren, serta melakukan kerja-kerja kebudayaan yang bermanfaat untuk kemajuan bangsa.

Dari sini kita bisa melihat pemaknaan jihad secara kontekstual. Jihad bisa saja diartikan sebagai anjuran perang secara fisik, saat kondisi memang tak memberikan pilihan. Tapi dalam kondisi yang berbeda, jihad bisa berupa gerakan penuh kasih sayang untuk mengedukasi masyarakat agar taraf kehidupan bangsa meningkat.

Dalam konteks kehidupan modern dan damai seperti sekarang, seorang pengojek yang bekerja keras mencari nafkah buat keluarganya bisa menjadi mujahid (penjihad). Presiden yang bekerja sekuat tenaga untuk kemakmuran negaranya juga sedang melakukan jihad. Begitu dengan seorang wartawan yang memberitakan seakurat mungkin untuk melawan berita-berita bohong.

Kalau kita mengutip ucapan Nabi, jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu. Dalam konteks saat ini, jihad mestinya dilakukan tanpa kebencian. Bahkan kita mesti berjihad menaklukkan hawa nafsu dan diri sendiri untuk memerangi kebencian kepada kelompok lain.

Ahmad Makki

Aktifis-penulis, penggemar isu-isu sejarah dan kebudayaan.

Recent Posts

Mereduksi Fetakompli Radikalisme dengan Berislam secara Logis

Ada statment yang selalu diserukan oleh kelompok radikal. Bahwasanya: “Khilafah itu adalah bukti kegemilangan peradaban…

21 jam ago

Mengantisipasi Residu Kebangkitan Terorisme di Suriah dengan Ideologisasi dan Diplomasi

Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…

2 hari ago

Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…

2 hari ago

Islam Membaca Fenomena Golput : Kegagalan Demokrasi atau Apatisme Politik?

Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…

2 hari ago

Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…

3 hari ago

Peran Agama dalam Membangun Ketahanan Demokrasi Pasca Pilkada 2024

Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…

3 hari ago