Narasi

Memaafkan “Bukan” Pengecut

Perbuatan memaafkan oleh sebagian orang dipandang sebagai perbuatan yang buruk, karena hal tersebut dapat merendahkan harga diri, menunjukkan kelemahan, dan menunjukkan sebagai orang pengecut. Sebagian lainnya memandang bahwa memaafkan ialah perbuatan yang baik, karena sesuai dengan agama dan Negara. Kita perlu menyadari bahwa kedua pihak yang pro dan kontra terhadap perbuatan memaafkan ini saling berebut pengaruh di ranah media sosial. Mereka berusaha menancapkan beberapa mercusuar di berbagai aplikasi media sosial sebagai center dari peperangan memperebutkan pengaruh.

Bagi orang-orang yang kontra, mereka tidak ingin memaafkan dan cenderung memprovokasi orang lain. Misalkan akhir-akhir ini bermunculan berita-berita tentang bangkitnya PKI, pembantaian ulama, isu SARA, kabar hoax yang disebarkan oleh MCA, dan lain sebagainya. Kabar-kabar tersebut menimbulkan kekhawatiran dan menumbuhkan rasa benci masyarakat Indonesia kepada orang-orang yang dianggap eks PKI, pembantai ulama, dan objek lain. Timbulnya rasa benci akan menutup pintu maaf untuk mereka, yang sebenarnya harus dimaafkan.

Padahal, memaafkan dapat menenangkan hati dan menghidupkan harmonisasi antar orang yang pernah bermusuhan. Kita perlu memaafkan karena tiga pertimbangan, yaitu pertama perbuatan memaafkan merupakan perintah Tuhan; kedua, memaafkan merupakan ekspresi perubahan dalam diri manusia; ketiga, memaafkan merupakan ekspresi etika yang baik dalam kehidupan manusia. Jadi orang yang memaafkan tidak serta-merta bisa dikatakan sebagai pengecut, lemah, dan takut. Perbuatan memaafkan merupakan salah satu ekspresi keberanian seseorang untuk berubah dan untuk menerima situasi yang baru.

Berani Memaafkan tanpa Syarat

Berani untuk memaafkan oleh sebagian orang tidaklah selalu dipandang mudah dan positif. Klaim pengecut terhadap pemaaf terus digembor-gemborkan di berbagai media sosial. Dalam hal ini, pengecut atau penakut memang terkadang mengambil langkah memaafkan kepada orang yang bersalah untuk mengamankan dirinya. Namun sikap memaafkan juga tidak bisa dipungkiri sebagai langkah strategis dalam membangun kedamaian. Orang yang memaafkan adalah orang yang berani maju dengan visi dan misi baru, sedangkan orang yang tidak memaafkan sebenarnya hanyalah membahayakan dirinya sendiri dan keadaan psikologisnya tidak bagus.

Ada tiga kategori seseorang yang memaafkan, yaitu orang yang memaafkan tanpa dimintai maaf asalkan syaratnya terpenuhi, orang yang memaafkan tanpa syarat, dan orang yang memaafkan jika pihak yang bersalah meminta maaf. Bagi kategori pertama, seseorang mau memaafkan asalkan ada imbalannya (syarat) yang bisa hanya menguntungkan dirinya, hanya menguntungkan masyarakat luas, atau menguntungkan keduanya. Syarat diajukan untuk penebus kesalahan yang diperbuat oleh pihak yang bersalah. Orang tipe ini bisa memaafkan bukan karena dimintai maaf, tetapi ia mau memaafkan asalkan persyaratan yang diajukan bisa dipenuhi.

Kategori yang kedua ialah orang bisa memaafkan dengan tanpa syarat. Ia bisa memaafkan tanpa menyodorkan persyaratan apapun, bahkan ia bisa memaafkan sebelum pihak yang dianggap bersalah meminta maaf. Orang tipe ini dianggap sebagai pemaaf yang ikhlas dan tulus, dia tidak lagi mempersoalkan masa-masa yang telah lalu. Ia fokus pada pembangunan bangsa pada masa depan untuk kebaikan bersama.

Kategori yang ketiga ialah orang yang memaafkan jika pihak yang bersalah meminta maaf. Orang tipe ini bisa memaafkan jika seseorang yang bersalah meminta maaf dan meunjukkan kesungguhannya. Orang tipe ini ingin membangun kembali dialog yang sudah lama terkubur, sehingga di masa depan bisa membuat keduanya berdamai.

Jadi memaafkan bukanlah salah satu dari varian pengecut, karena pengecut tidak berani mengambil langkah yang berbeda dari sebelumnya. Ia takut dengan berbagai resiko yang akan ditanggung, termasuk memasuki kehidupan baru yang lebih baik untuk Indonesia. Berani memaafkan menjadi hal yang perlu diprioritaskan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sebagai tanda bahwa masyarakat Indonesia bukanlah pendendam.

Arief Rifkiawan Hamzah

Menyelesaikan pendidikan jenjang magister di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Al-Hikmah 1 Benda, Sirampog, Brebes dan Ponpes Darul Falah Pare, Kediri. Saat ini ia sebagai Tutor di Universitas Terbuka.

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

23 jam ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

23 jam ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

23 jam ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

2 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

2 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

2 hari ago