Narasi

Kearifan Lokal: Strategi Budaya Menangkal Hoax

Berita bohong atau Hoax, sampai detik ini masih kita temui di media sosial. Adanya upaya bersama untuk menekan segala bentuk provokasi, ujaran kebencian, dan berita bohong tampaknya masih bertepuk sebelah tangan. Publik, utamanya para warganet, masih saja dengan mudah terjebak dalam pemberitaan atau informasi picisan yang diproduksi oleh oknum sehingga, mempengaruhi nalar berpikir yang sehat untuk menganalisa kebenaran suatu informasi. Secara sosiologis, publik masih terbelah dalam dua kubu yang dalam realitasnya masih saja bertarung dengan model pertarungan yang primitif yakni dengan serangan verbal yang jauh dari adab, karena menyerang personal melalui informasi palsu yang cenderung ditengarai sebagai firnah.

Kasus Ratna Sarumpaet dan beberapa informasi simpang siur yang terjadi di Sulawesi Tengah (Palu) setidaknya menjadi penanda bahwa ada sebagian publik masih senang mengkonsumsi berita bohong sebagai bagian dari kesenangannya. Asalkan berita tersebut sesuai dengan keinginan dan kepentingan kelompoknya, maka tanpa basa basi atau kroscek langsung mengaminkan dengan cara mengunggah postingan berita tersebut dan menyebarkannya ke orang lain dengan tujuan viralisasi. Pertanyaannya, kapan kegaduhan seperti ini akan berhenti ?. sampai kapan kita akan terus terjebak dalam permainan hoax yang sudah jelas diarahkan untuk mengadu domba. Kapan bangsa ini akan belajar menjadi dewasa, dengan menerima segala perbedaan  dan menyisihkan perselisihan.

Kearifan Lokal

Secara kultural, bangsa Indonesia lahir sebagai bangsa yang beradab dengan perilaku toleransi yang begitu tinggi. Kita mengenal dengan baik konteks kebudayaan yang lahir dan diwariskan secara turun temuran ke generasi selanjutnya agar tradisi serta warisan nilai tersebut senantiasa terjaga. Dalam Islam sendiri pun, kita memahami dengan baik yang namanya tabayun, dimana setiap ada persoalan harus mengedepankan prasangka baik dan diteliti kebenaran beritanya. Konteks pemahaman Islam inilah yang sejatinya beriringan dengan budaya atau kearifan lokal masyarakat. Mengutip pernyataan Prof.Dr.H, Nasaruddin Suyuti, (Rektor Universitas Nahdlatul Ulama), bahwa kearifan lokal  mempunyai ciri khas yakni mampu bertahan dan mengakdomodasi budaya luar serta mempunyai kemampuan, mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli. Disamping itu, kearifan lokal mempunyai kemampuan mengendalikan  dan memberi arah pada perkembangan budaya.

Konteks kultural inilah yang seharusnya menjadi pegangan bagi masyarakat dalam bertutur kata dan berperilaku. Dalam kearifan lokal suku Tolaki di Sulawesi Tenggara, misalnya, mereka  memiliki budaya Kohanau (malu) dan Merou (budaya sopan), “ inae merou nggoieto ano dodio toonu merou ihanuno”, barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain akan bersikap santun pula kepadanya. Bahkan di lingkungan suku Dayak selalu terpatri salam khas mereka yakni: Adil Ka’Talino (adil terhadap sesama manusia), Bacuramin Ka’Suraga (berpandangan hidup kepada surga), dan Basengat Ka’Jubata (selalu mengingat Tuhan sebagai pemberi hidup). Kearifan lokal semacam inilah yang secara substansi mampu mengatasi pertengkaran, apalagi fitnah yang diproduksi oleh informasi hoax.

Dalam era mileneal seperti ini, kita harus mengakui tidak sedikit publik yang mulai kehilangan pegangan. Bahkan kearifan lokal yang seharusnya menjadi panduan seolah-olah tidak lagi menjadi penting untuk dipertahankan. Maka sangat wajar, jika pola pikir menerabaslah yang terbangun dalam nalar berpikir publik saat ini, asal sesuai dengan kepentingannya maka berita hoax pun diterima sebagai kebenaran yang mutlak  dan tanpa koreksi. Jika ada yang kemudian mengkoreksi maka dituduh sebagai penyebar kebohongan.

Literasi Media

Sudah berulang kali, kita mencoba membangun sebuah konsep komunikasi publik yang didasarkan pada pemahaman kita atas literasi, salah satunya media. Kecerdasan publik, utamanya warganet untuk membekali diri dengan pengetahuan atas komunikasi media, beserta bagaimana membangun adab dalam berkomunikasi sudah tentu akan menghilangkan semakin massifnya penyebaran berita hoax. Kuncinya ada pada pengendalian diri, dan mampu menahan untuk tidak mengamini suatu berita sebelum terkonfirmasi dengan utuh kebenarannya.

Mari menjadi bangsa yang cerdas, yang tidak mudah bertindak bodoh atas nama kepentingan kelompok, sehingga justru membuang jauh-jauh rasa toleransi, persaudaraan, dan penghormatan atas perbedaan. Jadi tua itu pasti, namun menjadi dewasa (cerdas) itu pilihan, dan semoga kita menjadi bagian dari mereka yang memilih untuk menjadi dewasa dalam memilah informasi.

Agung SS Widodo, MA

Penulis adalah Peneliti Sosia-Politik Pusat Studi Pancasila UGM dan Institute For Research and Indonesian Studies (IRIS)

Recent Posts

Membangun Ketahanan Nasional Melalui Moderasi Beragama

Ketahanan nasional bukan hanya soal kekuatan fisik atau militer, tetapi juga mencakup stabilitas sosial, harmoni…

3 hari ago

Kembang Sore: Antara Tuhan dan Kehidupan

Dzating manungsa luwih tuwa tinimbang sifating Allah —Ronggawarsita.   Syahdan, di wilayah Magetan dan Madiun,…

3 hari ago

Meletakkan Simbolisme dalam Prinsip Agama Bermaslahat

Semakin ke sini, agama semakin hadir dengan wajah yang sangat visual. Mulai dari gaya busana,…

3 hari ago

Ketika Bencana Datang, Waspada Banjir Narasi Pecah Belah di Tengah Duka Bangsa

Di tengah rumah yang runtuh, keluarga yang kehilangan tempat tinggal, dan tangis pengungsian yang belum…

3 hari ago

Merawat Bumi sebagai Keniscayaan, Melawan Ekstremisme sebagai Kewajiban!

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi dua persoalan besar yang sama-sama mendesak: kerusakan lingkungan dan…

4 hari ago

Banjir Hoax dan Kebencian; Bagaimana Kaum Radikal Mengeksploitasi Bencana Untuk Mendelegitimasi Negara?

Banjir di Sumatera dan Aceh sudah mulai menunjukkan surut di sejumlah wilayah. Namun, banjir yang…

4 hari ago