Berita kemenangan Taliban di Afganistan disambut euforia dan suka-cita oleh kelompok Islam garis keras di Indonesia. Keberhasilan Taliban merebut kekuasaan dianggap sebagai sebuah prototipe ideal gerakan Islam transnasional. Bukan tidak mungkin kemenangan Taliban di Afganistan juga menginspirasi gerakan Islam transnasional di seluruh dunia untuk melakukan hal yang sama.
Mantan anggota Jamaah Islamiyyah (JI) Nassir Abbas menyebut, keberhasilan Taliban menguasai Afganistan menjadi motivasi kelompok jihadis di Indonesia seperti JI, JAD (Jamaah Ansharut Daulah) dan MIT (Mujahidin Indonesia Timur). Kelompok tersebut menurut Abbas memiliki visi yang sama dengan Taliban, yakni mendirikan negara Islam (cnnindonesia.com).
Dalam konteks ini, Taliban tidak hanya dipahami sebagai sebuah organisasi atau gerakan politik yang spesifik ada di Afganistan. Lebih dari itu, Taliban telah menjadi semacam paham atau ideologi (isme) transnasional. Yakni paham gerakan keislaman berbasis ideologi kekerasan, anti-pluralitas dan berorientasi untuk mendirikan imperium Islam secara global. Sama halnya dengan keberadaan ISIS, Taliban telah menginspirasi lahirnya gerakan radikal keagamaan di sejumlah negara muslim.
Waspada Narasi Menyesatkan
Sama halnya dengan deklarasi ISIS pada tahu 2014 lalu, kemenangan Taliban di Afganistan pun disambut euforia sebagian umat Islam di Indonesia. Pasca berita kemenangan Taliban di Afganistan mencuat, lini masa medsos pun segera ramai oleh propaganda para pengusung ideologi transnasional. Sejumlah narasi yang mengglorifikasi Taliban bermunculan. Di antaranya ialah klaim bahwa kemenangan Taliban merupakan kemenangan kelompok Islam melawan imperialisme Amerika Serikat di Afganistan.
Juga narasi yang menyebutkan bahwa Taliban telah berubah menjadi lebih moderat, inklusif dan ramah terhadap hak-hak perempuan. Taliban juga disebut akan menyusun pemerintahan yang demokratis dan melibatkan seluruh entitas kelompok di Afganistan. Di titik ini, idealnya kita tidak mudah terpengaruh oleh euforia, glorifikasi dan klaim-klaim tersebut.
Di masa lalu, sejumlah WNI menjadi korban propaganda ISIS. Mereka tersihir oleh klaim-klaim ISIS yang menjanjikan keadilan dan kesejahteraan bagi siapa pun yang bergabung. Namun, klaim dan janji itu tak lebih dari isapan jempol belaka. Sesampainya di Suriah, bukan keadilan dan kesejahteraan yang didapat, melainkan pemandangan teror dan kekerasan yang menjadi menu keseharian. Kini, ISIS telah hancur, meninggalkan problem akut, terutama para mantan anggotanya yang kini tidak memiliki kewarganegaraan dan menjadi pengungsi dengan nasib yang tidak jelas.
Belajar dari fenomena ISIS, agaknya kita juga perlu memeriksa sederet klaim Taliban tersebut. Klaim kemenangan Taliban sebagai kemenangan Islam melawan kekafiran tidak lebih dari kebohongan. Afganistan yang dipimpin oleh Presiden Asraf Gani merupakan negara Islam yang menerapkan prinsip dasar syariah. Klaim bahwa Taliban telah bertransformasi menjadi lebih moderat, inklusif dan ramah perempuan agaknya juga diragukan.
Beberapa hari pasca Taliban mengambil-alih kekuasaan, berita tentang penyiksaan terhadap perempuan yang tidak memakai burqa (cadar) mulai bermunculan. Bahkan, demonstrasi anti-Taliban yang terjadi di Kabul, dibubarkan dengan kekerasan yang menewaskan empat orang.
Menguatkan Soliditas Kebangsaan
Persoalan konflik di Afganistan memang kompleks. Tidak semata melibatkan isu keagamaan, namun juga perebutan kekuasaan antar-berbagai faksi di internal masyarakat Afganistan itu sendiri. Campur tangan kekuatan asing, seperti Amerika Serikat dan Rusia juga turut andil memperkeruh suasana. Adalah fakta bahwa Afganistan merupakan negara plural yang terdiri atas beragam suku dan etnis. Masing-masing memiliki kepentingan atas kekuasaan di Afganistan. Faksi-faksi politik dan keagamaan yang saling berkontestasi inilah yang membuat lanskap Afganistan tidak bisa dipahami secara hitam-putih.
Yang terpenting bagi kita saat ini ialah memastikan kemenangan Taliban tidak dijadikan momentum untuk mempropagandakan ideologi transnasionalisme di Indonesia. Seperti diketahui, di Indonesia sendiri terdapat sejumlah organisasi transnasional yang memiliki orientasi serupa Taliban; yakni menggulingkan pemerintahan yang sah dan menggunakan cara-cara kekerasan untuk mendirikan kekhalifahan Islam. Inilah saatnya kita memperkuat soliditas kebangsaan kita demi menangkal segala propaganda radikalisme yang mendompleng euforia kemenangan Taliban. Momentum HUT RI ke-76 yang baru saja kita lewati kiranya bisa menjadi momentum kebangsaan untuk menguatkan daya tangkal masyarakat terhadap segala jenis ideologi transnasional.
Tugas kita sebagai warganegara ialah menjaga agar suasana tetap kondusif. Jangan biarkan ruang publik kita dibanjiri oleh narasi propaganda ideologi transnasional. Setiap individu warganegara memiliki kewajiban untuk menjaga negara dan bangsa, dari ancaman internal maupun eksternal. Salah satunya ialah dengan menangkal setiap infiltrasi ideologi transnasional yang menghadirkan ancaman nyata bagi eksistensi bangsa dan negara.
This post was last modified on 23 Agustus 2021 10:36 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…