Narasi

Kebinekaan: Merajut Nasionalisme Romantis

Indonesia pernah diprediksi bebrapa ahli akan terpecah belah, namun kenyataannya hingga saat ini masih utuh. Hal ini terjadi karena adanya rasa nasiolisme yang kuat pada bangsa ini. Ini semua tidak lepas dari peran ulama nusantara yang mengajarkan tentang cinta tanah air adalah bagian dari iman, yang di Nadhlatul Ulama’ (NU) dikenal dengan adagium hubbul wathon minal iman. Artinya nasionalisme  ditopang kuat dengan ajaran agama, sehingga agama memperkuat nasionalisme kita.

Berbeda dengan beberapa negara Islam di Timur Tengah yang sedang menghadapi konflik perpecahan. Padahal, di negara-negara tersebut hanya terdiri atas puluhan suku. Sementara, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, Indonesia memmilki 1.340 suku-bangsa dengan 1.158 bahasa daerah. Tidak ada negara di dunia yang memiliki tingkat keragaman seperti di Indoesia.

Tradisi dan ajaran yang diwariskan oleh ulama terbukti menjadi kekuatan nasional, serta menguatkan semangat kebhinekaan. Serta memberikan banyak pelajaran dan local wisdom yang lebih mengutamakan keharmonisan sosial dan kemaslahatan bangsa.

  Konsep pendiria negara bangsa (nation state) ialah menegakkan asas kesetaraan dalam ketatanegaraan, di mana setiap orag dijamin berkedudukan sama di hadapan hukum. Hal tersebut menguatkan konsesus pendiri bangsa sebelumnya bahwa Pancasila yang berjiwa inklusif sebagai dasar NKRI. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila merupakan konseptualisasi dari kebebasan beragama di Indonesia. karena Setiap sila saling menjiwai, maka merangkul kemanusian, menbangun persatuan serta mewujudkan keadila sosial adalah wujud ekspresi relijiusitas bangsa.

Seiring berjalannya waktu, tidak sedikita dari masyarakat melupakan konsep apa yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa. Sering kali, komunkasi hanya berlangsung dalam komunitas masing-masing. Kalaupun komunikasi lintas komunitas berlangsung, akan tetapai hanya sebatas seremonial karena prasangka dan curiga masih mendiominasi alam pikiran kita.

Pertanyaannya, bisakah bangsa Indonesia merayakan keragaman tanpa intoleransi? Jika yang berada dalam benak kita masih penuh dengan kecurigaan satu sama lain.

Sebagaia bangsa yang besar, sangat disayangkan kalau negara Indonesia yang plural dan superkaya dengan aneka etnis, suku, bahasa agama, kepercayaan, budaya, tradisi dan adat isti-adat ini, kemudian hanyas menyisakan cerita dikemudian hari.

Kita patut bangga dan merayakan dengan kebaragaman yang kita miliki, bukan terkikis dengan kebencian dan pembohongan informasi yang memecah belah. Publik harus didorong untuk memahami pluralitas.

Menghargai Perbedaan

Para pahlawan nasional menyadari bahwa yang diperjuangkan adalah Negara Republik Indonesia, yang berasaskan Pancasila. Mereka paham, yang dilindungi bukan hanya muslim, melainkan termasuk anak bangsa penganut agama berbeda.

Para pahlawan juga tidak mempermaslahkan asas negara karena nilai ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan, dan keadilan adalah bagian dari nilai-nilai Islam. Mereka pun memahami keharusan utntuk melindungi masyarakat tanpa mempedulikan suku,ras, dan agama justru merupakan bentuk penghargaan tertinggi atas kebhinekaan.

Sangat mengherankan jika muncul sebagian orang menganggap bahwa bersorban itu kearab-araban. Lupa bahwa pahlawan nasional seperti pangeran diponegoro, KH. Hasyim Asy ari, KH Ahmad Dahlan mengenekan sorban dalam setiap aktivitasnya. Apakah karenanya kemudian mereka tidak nasionalis? Apakah karena  gaya berpakaian, mereka akan kita abaikan?

Menghormati kebinekaan, berarti memberi kebebasan kepada setiap orang, salah satunya, berpakaian sesuai dengan selera sepajang tidak melanggar etika dan kesopanan. Sungguh sangat ironi jika kita merasa sebagai anak bangsa yang nasionalis akan tetapi tidak menghargai perbedaan. Dari sini marilah kita berusaha belajar untuk menjunjungi tinggi nilai-nilai keberagaman. Karenanya, bangsa ini tidak akan lahir, jika tidak memiliki sikap saling menerima dan memandang keberagaman sebagai anugerah yang indah.

Dengan demikian menghargai perbedaan adalah jalan keluar untuk mewujudkan harmonisasi bagi masyarakat yang multikultur  atau multi identitas. Rumusan pandangan yang dapat menjadi obat mujarab bagi maslah-masalah kekinian, adalah perspektif multikulturalisme yang perekatnya adalah Pancasila. Yang mengerucut pada satu premis bahwa individu adalah satuan indpenden dengan hak-hak politik, religiusitas dan sosial dalam kerangka keberagaman, tanpa mengklaim pemiliki otoritas kebenaran. Dengan begitu akan tercipta, masyarakat yang damai dan harmonis.

Muhammad Abdul Kholiq

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

36 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

39 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

40 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago