Konflik Palestina-Israel menjadi salah satu isu internasional paling diperbincangkan di seluruh dunia, khususnya sejak Sabtu (7/10/23). Dalam konteks ini, nasionalisme bangsa Indonesia memainkan peran penting, terutama dalam mengekspresikan dukungan dan keprihatinan terhadap konflik tersebut, terutama di sisi Palestina. Meski demikian, banyak kelompok menguji konsep nasionalisme ini. Mereka mengatakan bahwa Indonesia dan konsep nasionalisme-nya tidak benar-benar berpihak pada Palestina. Jika memang hendak mendukung, maka Indonesia harus mengimplementasikan sistem ala Islam terlebih dahulu.
Kelompok-kelompok ini berteriak, hanya dengan jihad fi sabilillah dan tegaknya khilafah maka Palestina akan merdeka. Mereka menganggap bahwa kesetiaan terhadap negeri berbalut rasa nasionalisme dan patriotisme yang tidak berasas hukum syariat Islam merupakan sebuah kesalahan fatal. Mereka menyebutnya dengan tagut.
Menurut mereka, nasionalisme sangat diragukan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Padahal, nasionalisme dan patriotisme selaras dengan agama. Nasionalisme tidak menghalangi masyarakatnya berpihak pada umat Islam yang terzalimi. Bangsa Indonesia tetap bisa mendukung saudara Muslim-nya tanpa mengurangi identitas nasional dan jiwa patriotisme-nya.
Nasionalisme Adalah Fitrah, Tidak Perlu Dibenturkan dengan Agama
Nasionalisme adalah fitrah manusia, dan tidak perlu dibenturkan dengan agama. Setidaknya demikian yang dikatakan oleh Prof. Quraish Shihab ketika merespon sebuah pertanyaan “apakah mencintai negara adalah sebuah fitrah manusia”. Pakar tafsir Al-Qur’an Indonesia kontemporer ini menjawab, “ya, dia fitrah. Banyak sekali bukti-bukti bahwa dia fitrah.”
Rasulullah, ketika hijrah ke Madinah, beliau pergi ke perbatasan kota Makkah, dan berkata, “Wahai Makkah, engkau adalah negeri yang paling kucintai. Seandainya pendudukmu tidak mengusir aku, aku tidak akan tinggalkan engkau!”
Seorang penyair klasik, Abu Tammam, pernah menulis syair yang indah tentang cinta tanah air,
نقل فؤادك حيث شئت من الهوى # ما الحب إلا للحبيب الأول
كم منزل في الأرض يألفه الفتى # وحنينه أبدا لأول منزل
“Pindahkanlah hatimu sesukamu untuk mencintai seseorang, akan tetapi tiada cinta yang hakiki kecuali hanyalah untuk sang kekasih pertama,”
“Sekian banyak tempat tinggal yang telah ditinggali seseorang, akan tetapi rasa rindunya hanya kembali pada tempat tumpah darahnya,”
Pentingnya mencintai tanah air ini ditegaskan Al-Qur’an dalam surat QS. al-Mumtahanah: 8,
لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat tersebut menjustifikasi bahwa Islam mengizinkan untuk membela diri ketika kezaliman menimpa diri. Bahkan, pada level penjajahan yang mengancam jiwa, umat Islam secara syar’i diperbolehkan untuk mengobarkan perang. Perang dalam konteks ini adalah untuk kepentingan mempertahankan diri (defensif) dan masyarakat, bukan perang dengan motif asal menyerang (ofensif).
Pertanyaan berikutnya, mengapa Allah membekali manusia fitrah untuk mencintai bumi negerinya masing-masing? Prof. Quraish Shihab menjawab, “Supaya kita membangun bumi. Bukankah Allah menyuruh kita untuk menjadi khalifah di muka bumi?”.
Dalam konteks membangun tanah air, konsepnya terletak pada nilai-nilai nasionalisme yang terkandung dalam Pancasila. Semua elemen masyarakat harus bekerja sama dalam rangka mewujudkan perdamaian dan kebaikan di negeri ini. Maka, seorang warga negara harus memiliki paham kebangsaan. Orang yang sudah memiliki paham kebangsaan tidak akan melihat lagi orang lain dari suku mana, agama apa, maupun golongan mana.
Nabi Muhammad bahkan berupaya untuk mewujudkan kota Madinah sebagai negara damai dengan membuat Piagam Madinah. Piagam yang memiliki asas yang sama dengan Pancasila, yaitu asas persatuan berbagai elemen masyarakat berbeda suku dan agama. Upaya itu merupakan bagian dari bentuk manifestasi fitrah.
Maka tidak ada konsep mengorbankan agama demi nasionalisme, atau mengorbankan nasionalisme demi agama karena keduanya menyatu sebagai sebuah fitrah. Al-Ghazali, dalam kitabnya, Ihyā ‘Ulūmuddīn, menegaskan hubungan simbiosis yang tak terpisahkan antara agama dan negara. Alih-alih bertentangan, keduanya justru hadir dalam keadaan saling menopang. Negara membutuhkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam agama, sementara agama memerlukan “rumah” yang mampu merawat keberlangsungannya secara aman dan damai.
Persoalannya, tidak sedikit kelompok-kelompok “radikal” yang memperdebatkan konsep nasionalisme ini. Mereka menganggap bahwa kesetiaan terhadap negeri yang pemerintahannya tidak berasas hukum syariat Islam merupakan sebuah kesalahan fatal. Mereka menyebutnya dengan tagut.
Nasionalisme dalam Konteks Konflik Palestina-Israel
Sebagai negara dengan pluralitas budaya, agama, dan etnis yang tinggi, Indonesia memiliki posisi unik dalam menghadapi konflik ini. Nasionalisme Indonesia dapat diinterpretasikan sebagai semangat untuk menjaga kedaulatan dan integritas bangsa, tetapi juga sejalan dengan semangat kemanusiaan dan perdamaian global.
Pertama, nasionalisme Indonesia dalam konflik Palestina-Israel tercermin dalam sejarah perjuangan kemerdekaannya. Indonesia sendiri adalah negara yang mengalami proses panjang untuk mendapatkan kemerdekaan dari penjajahan. Bangsa Indonesia pernah merasakan betapa pentingnya solidaritas internasional dan dukungan dari bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, banyak rakyat Indonesia yang mendukung hak kemerdekaan Palestina sebagai bagian dari semangat anti-kolonialisme dan perjuangan hak asasi manusia, di luar dari alasan persaudaraan antar sesama Muslim.
Selanjutnya, nasionalisme Indonesia juga tercermin dalam sikap resmi pemerintah Indonesia. Indonesia selalu menegaskan dukungan terhadap hak Palestina untuk memiliki negara merdeka dan berdaulat. Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina pada tahun 1988, dan sejak itu telah aktif mendukung perjuangan diplomatis Palestina di berbagai forum internasional.
Namun, nasionalisme Indonesia dalam konteks ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan. Beberapa kelompok mungkin berpendapat bahwa pemerintah seharusnya lebih fokus pada masalah dalam negeri daripada konflik internasional. Namun, penting untuk diingat bahwa nasionalisme Indonesia juga mencakup semangat kemanusiaan dan perdamaian. Dalam konflik apapun, nasionalisme Indonesia dapat diartikan dalam tiga titik trilemma; sebagai dukungan terhadap hak asasi manusia, keadilan, dan perdamaian dunia; sebagai implementasi dari nilai-nilai luhur agama; dan sebagai upaya untuk merawat identitas nasional dan jiwa patriotisme bangsa.
This post was last modified on 17 Oktober 2023 2:55 PM
Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…
Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…
Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…
Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…