Kemerdekaan yang kita nikmati hari ini bukanlah hadiah dari kaum penjajah. Kemerdekaan ialah hasil perjuangan panjang penuh pengorbanan seluruh elemen bangsa. Maka, sudah sepantasnya jika kemerdekaan itu senantiasa kita rawat dan jaga. Jika para leluhur kita terdahulu harus berkorban harta bahkan nyawa untuk merebut kemerdekaan dari kaum penjajah. Maka, saat ini kita juga dituntut rela berkorban waktu, energi dan harta untuk mengisi kemerdekaan. Ada beragam cara kita mengisi kemerdekaan dalam konteks dunia modern-kontemporer ini.
Salah satunya ialah dengan berpartisipasi aktif dalam menghalau gerakan dan paham radikal yang bernuansa destruktif. Seperti kita tahu, berkembangnya paham radikal di Tanah Air telah menyebabkan berbagai macam residu persoalan. Mulai dari perpecahan sosial di tengah masyarakat, hingga munculnya fenomena kekerasan berbasis identitas yang marak terjadi selama pasca Reformasi ini. Pendek kata, paham dan gerakan radikal telah menjadi persoalan laten bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu, diperlukan kesiapsiagaan nasional dalam menghalau setiap anasir radikalisme di negeri ini.
Kesiapsiagaan nasional dalam menghalau radikalisme membutuhkan peran seluruh elemen bangsa mulai dari pemerintah sebagai penanggung jawab tertinggi dalam sebuah negara sampai masyarakat sipil. Dalam konteks ini, pemerintah berikut aparaturnya berkewajiban untuk menghalau dan memberantas gerakan dan paham radikal hingga ke akarnya. Kekuatan koersif (coersive power) yang dimiliki oleh pemerintah melalui perangkat hukum dan aparatur keamanan idealnya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menumpas gerakan radikalisme. Maka, idealnya seluruh Undang-undang, aparat keamanan seperti Polri dan TNI, lembaga penegak hukum seperti kejaksaan dan kehakiman, serta lembaga-lembaga terkait lainnya saling bersinergi untuk membangun kesiapsiagaan nasional dalam melawan radikalisme.
Lalu, apa peran masyarakat sipil? Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia saat ini, masyarakat sipil memiliki peran luas yang bisa dimainkan dalam beberapa aspek. Sebagai warganegara, masyarakat sipil tentu memiliki tanggung jawab dan kewajiban secara moral dan konstitusional untuk mendukung kebijakan negara. Di saat yang sama, masyarakat sipil juga dihadapkan pada tugas tidak ringan untuk menyokong keberhasilan kebijakan negara tersebut. Dalam konteks upaya menghalau radikalisme, masyarakat sipil dapat memainkan perannya sebagai aktor penggerak kesadaran berbangsa dan bernegara mulai dari lingkungan paling kecil hingga paling besar. Di lingkup paling kecil yakni lingkungan domestik keluarga, kita bisa berperan menjadi teladan bagi anggota keluarga ihwal bagaimana membangun kesiapsiagaan nasional menghalau radikalisme.
Baca Juga : Kesiapsiagaan Nasional; Mewarisi Perjuangan Pahlawan, Menjaga Kemerdekaan Bangsa
Keluarga sebagai unit terkecil dari sebuah masyarakat atau bangsa ialah area paling efektif untuk membentuk pola pikir masyarakat. Penanaman sikap anti pada paham radikal sejak dalam keluarga akan menjadi fondasi penting bagi masyarakat dalam membentengi diri dari infiltrasi radikalisme. Selain dalam lingkup domestik, kita juga bisa berperan dalam ranah yang lebih luas, yakni wilayah sosial-kemasyarakatan. Di ranah kemasyarakatan, kita bisa menjadi semacam agent of social change yang mengubah dan membentuk pola pikir masyarakat agar terhindar dari ideologi radikal.
Di masa lalu, para pendahulu kita berjuang mengangkat senjata di medan perang guna mengusir penjajah. Tantangannya tentu saja ialah hilangnya hartabenda atau nyawa. Di masa sekarang, perjuangan kita melawan paham dan ideologi radikal lebih banyak dilakukan dengan mengedepankan pendekatan sosial-politik. Perang kita saat ini ialah perang pemikiran, antara kelompok moderat dengan kelompok radikal. Perang yang kita jalani saat ini bukanlah perebutan wilayah teritorial fisik, melainkan perebutan dominasi di ruang publik, tempat segala wacana, ide dan pemikiran dikontestasikan. Barangsiapa paling dominan di ruang publik tersebut, maka ialah yang akan mengendalikan sirkulasi ide, wacana dan pemikiran.
Kondisi yang kita alami saat ini sebenarnya pernah diprediksikan oleh Bung Karno sejak jauh-jauh hari. Dalam pidatonya Bung Karno mewanti-wanti bahwa di masa depan, bangsa Indonesia akan menghadapi perjuangan yang lebih berat lagi lantaran berhadapan dengan bangsa sendiri. Maka dari itu, dibutuhkan pendekatan multidimensi serta sinergi lintas-sektor untuk menanggulangi penyebaran paham radikal, mulai dari sektor pendidikan, hukum, politik dan tentunya agama. Di bidang pendidikan misalnya, paradigma besar terkait wawasan kebangsaan kiranya harus menjadi variabel pokok dalam sistem pembelajaran kita, mulai dari tingkat pra-sekolah (pendidikan anak usia dini) hingga tingkat pendidikan tinggi (universitas). Wawasan kebangsaan perlu ditanamkan sejak dini agar setiap individu memiliki semacam sistem imunitas dalam menghadapi penyebaran paham radikal.
Dalam konteks hukum, pemerintah bersama aparaturnya perlu lebih tegas dalam melakukan tindakan hukum pada setiap pelaku tindakan intoleransi, radikalisme apalagi terorisme. Penegakan hukum dan pendekatan keamanan dalam menghadapi radikalisme kini telah menjadi standar baru bagi dunia internasional. Pendekatan keamanan dan hukum memungkinan negara bertindak secara hukum untuk menganulir pergerakan kaum radikal sejak dini.
Dalam konteks politik, kita perlu mengubah corak politik kita yang beberapa tahun belakangan ini cenderung mengeksploitasi sentimen perbedaan identitas. Corak politik identitas inilah yang dalam banyak hal harus diakui telah menyuburkan praktik intoleransi dan perpecahan di tengah masyarakat. Konsekuensinya, secara tidak langsung politik identitas juga turut andil membuka ruang gerak bagi paham radikalisme. Reformasi politik diperlukan agar wajah politik kita lebih bernuansa politik kebangsaan yang mengedepankan persatuan bangsa. Terakhir, dalam konteks keagamaan kiranya kita memerlukan sebuah upaya dekonstruktif untuk membongkar cara pandang keagamaan yang konservatif dan eksklusif. Seperti kita tahu, paham radikal umumnya berakar dari pandangan keagamaan yang kaku, sempit dan tidak ramah pada perbedaan. Pemberangusan atas perbedaan pandangan telah menjadi karakter utama kelompok radikal. Di titik inilah kita membutuhkan semacam gerakan pembaharuan keagamaan yang mengarah pada paradigma inklusifisme dan pluralisme. Pendekatan multidimensi dan sinergi lintas-sektor inilah yang kiranya bisa menjadi benteng kesiapsiagaan nasional dalam menjaga kemerdekaan bangsa sekaligus menghalau gerakan radikal.
This post was last modified on 11 Agustus 2020 2:39 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…