Categories: Kebangsaan

Ketika Nama Tuhan Digunakan Untuk Menyemai Permusuhan (1)

Satu hari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia, di Jakarta berlangsung Parade Tauhid. Puluhan ribu orang dengan dress code putih putih melimpah ruah di daerah Senayan dan jalan utama Sudirman. Pada awalnya, mereka berkumpul di Senayan untuk mendengarkan serangkaian orasi dari sejumlah tokoh Islam. Setelah itu mereka berpawai menyusuri Sudirman menuju Bundaran HI tepat di saat Car Free Day. Mereka bertakbir dan meneriakkan berbagai yel. Karnaval berakhir di Senayan  kembali dengan shalat bersama.

Masalahnya, parade yang seruannya sudah dikumandangkan jauh-jauh hari ini dapat dibilang tak mencerminkan atau bahkan jauh dari semangat ‘Tauhid’ yang bermakna luhur.  Dalam Islam, isilah tauhid merujuk pada keesaan, kebesaran dan keagungan Allah. Karena itu Parade Tauhid selayaknya adalah acara yang akan membangun ingatan masyarakat pada keagungan Allah. Nyatanya, yang berlangsung hanyalah semacam ‘show of force’ dari kekuatan-kekuatan yang sebenarnya menyadari diri mereka sedang perlahan-lahan tersingkir.

Parade Tauhid jadinya nampak sebagai upaya konsolidasi dan pembangkitan kekuatan kalangan yang di masa lalu begitu menakutkan dan kini menyadari Indonesia baru yang sedang terbentuk tidak lagi memberi ruang cukup bagi mereka.

Parade Tauhid mestinya bisa penting. Tapi apa yang terjadi pada 16 Agustus itu terlihat sebagai kesia-siaan.

Seruan untuk mengikuti Parade Tauhid sudah terdengar lama. Sebuah website khusus dibuat untuk mempromosikannya. Poster-posternya sudah disebar melalui media sosial. Sebelum Jakarta, serangakaian Parade Tauhid mini sudah diselenggarakan di berbagai kota: Solo, Yogyakarta dan Magelang.

Kalau dibaca organisasi kepengurusannya juga terlihat nama-nama besar. Yang tercantum di sana bukan cuma tokoh-tokoh radikal seperti Riziq Shihab, tapi juga Din Syamsudin, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, mantan Menteri Pemuda Adhyaksa Dault, anggota DPD RI Fahira Idris,  Yusuf Mansyur, serta AA Gym. Sekadar catatan, nama Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) pun tercantum di situ.

Dalam berbagai pernyataan persnya, panitia juga menggambarkan acara tersebut sebagai sebuah peristiwa akbar umat Islam Indonesia yang akan menampilkan Islam dalam sisi damai. Panitia menjelaskan tema besar Parade adalah: “Bertauhid dalam Islam Rahmatan Lil ‘Alamin”.

Dalam siaran persnya, Haikal Hassan, Ketua II Panitia Parade Tauhid Indonesia menyatakan: “Kami sengaja menekankan Islam rahmatan lil ‘alamin sebagai proklamasi kembali bahwa Islam diturunkan sebagai agama damai dan keselamatan. Untuk menebarkan rahmat bagi alam semesta. “

Ia juga menyatakan bahwa acara ini dilakukan sebagai langkah awal konsolidasi umat Islam dalam upaya membangun masyarakat bermartabat, dan terbangunnya ukhuwah Islamiyah seluruh elemen ummat Islam, sehingga menjadi potensi dan energi positif bagi upaya mewujudkan Islam sebagai rahamatan lil ‘alamin.

Dengan persiapan dan semangat semacam itu, bisa dipahami bila ada optimisme sangat tinggi terhadap kesuksesan acara. Media online Republika menulis bahwa akan ada 300 ribu warga mengikuti Parade Tauhid. Sebagian pihak berharap angka peserta mencapai satu juta.

Apa yang terjadi pada 16 Agustus 2015, jauh dari gambaran optimistis itu.

(Bersambung…)

Tulisan ini pernah di muat di www.madinaonline.id dengan judul “Parade Tauhid: Nama Allah pun Digunakan untuk Mencaci Maki”. tanggal 18 agustus 2015

This post was last modified on 19 Agustus 2015 1:23 PM

Ade Armando

Pemimpin Redaksi Madina Online dan Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Recent Posts

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

12 jam ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

12 jam ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

12 jam ago

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

3 hari ago

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi”…

4 hari ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

4 hari ago