Categories: Kebangsaan

Ketika Nama Tuhan Digunakan Untuk Menyemai Permusuhan (2)

Tentu saja tidak ada angka pasti tentang besar massa. Namun perhitungan opitmistis pun tidak menyebut angka seratus ribu. Harus diakui, gambaran puluhan ribu umat Islam berjalan bersama, bertakbir, berpakaian putih-putih memang impresif. Namun, dilihat dari besaran,  tidak seperti yang diharapkan.

Dan tokoh yang tampil ternyata hanya dari kalangan yang selama ini dikenal sebagai kelompok garis keras, anti demokrasi, anti keberagaman, tidak toleran dan bahkan anti NKRI. Tidak ada AA Gym, tidak ada Din Syamsudin, tidak ada Ahmad Heryawan, tidak ada Adhyaksa Dault, tidak ada Fahira Idris.

Tommy Soeharto juga tidak datang. Namun melalui twitternya ia mengirim permintaan maaf batal menghadiri acara karena kebetulan berada di luar Jakarta. Ia menutupnya dengan: “Salam kekeluargaan dan salam kebangkitan umat menuju Indonesia baru.”

Yang hadir sebagai pembawa orasi dan memimpin parade adalah mereka yang senang bersuara keras dan memaki-maki, sekaligus berseberangan dengan pemerintahan Jokowi ataupun Gubernur DKI Basuki Tjahya  Purnama. Sejumlah nama penting adalah: Cholil Ridwan (salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia yang terkenal sangat anti keberagaman), Abu Jibril (Amir Majelis Mujahiddin Indonesia yang dikenal anti Pancasila), Arifin Ilham, Muhammad Al Khathath (Sekjen Forum Umat Islam yang pernah diberitakan mendirikan Dewan Revolusi Islam),

Abdurrasyid Abdullah Syafii (anggota Presidium Penyelamat Jakarta yang menentang Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama), Shobri Lubis (Sekjen FPI yang menyerukan anggotanya untuk membunuhi pemeluk Ahmadiyah), Alfian Tanjung (Ketua Gerakan Nasional Patriot Indonesia yang diketahui menyebarkan SMS SARA dalam pemilihan Gubernur DKI),  Bachtiar Nasir (Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia yang menyatakan Jokowi akan membawa Indonesia menjadi kafir), dan Misbahul Alam (tokoh Hizbut Tahrir, organisasi yang menolak demokrasi dan ingin mendirikan kekhalifahan Islam).

Yang nampak mengancam bukan saja orang-orangnya, melainkan substansi pesan yang disampaikan. Di awal parade, berlangsung acara orasi yang ternyata isinya penuh caci maki. Sebagaimana terekam secara audio visual yang kemudian ditampilkan di Youtube, para pemuka Islam itu secara terbuka menyerang banyak pihak.

Seorang orator menyerang kaum Kristen dalam kaitannya dengan kasus Tolikara yang saat ini sebenarnya sudah bisa dicegah tidak meledak menjadi konfik berkepanjangan.  “Kalau peristiwa Tolikara tidak diselesaikan, kita siap berjihad ke Papua!” teriaknya dengan suara parau. “Berani bunuh pendeta? Berani bunuh Kristen radikal? Kita berangkat jihad!”

Orator yang lain bicara soal berita bahwa Jokowi akan meminta maaf kepada PKI, walau sebenarnya sudah berulang-ulang dikatakan berita itu bohong (hoax). “Kalau sampai Jokowi minta maaf kepada PKI, maka kita sebut Jokowi itu Jokodok!!” ujarnya setengah berteriak. “Siap turunkan Jokodok. Siapkan senjata, kalau besok ada panggilan jihad untuk menghadapi PKI di mana saja. Kalau Jokowi minta maaf pada PKI, siap serbu istana! Siap ambilalih kekuasaan!” jilnu-ads

Seruan penuh kebencian itu terdengar di sepanjang orasi. Ajakan untuk merapatkan barisan disuarakan untuk menegakkan syariat di Indonesia. Jadi alih-alih membawa semangat Islam membawa perdamaian, Parade Tauhid tersebut menjelma menjadi ajang penyebaran kebencian dan ajang caci maki.

Apakah radikalisasi itu terjadi di luar skenario? Tidak jelas benar. Namun tidak hadirnya banyak tokoh Islam yang selama ini dikenal berpandangan moderat dan  menghormati keberagaman mungkin bisa memberi indikasi tentang sudah terciumnya kesan bahwa acara ini akan didominasi kalangan yang berpandangan picik.

Dengan demikian, mudah disimpulkan bahwa Parade ini pada akhirnya cuma menjadi kesia-siaan.  Alih-alih menjadi sarana untuk mengagungkan kebesaran Allah, parade ini menjelma menjadi sarana pelampiasan kebencian kaum sakit hati yang rupanya makin tersingkir di era pemerintahan Jokowi yang memang cenderung mendukung sebuah Islam yang damai, terbuka, menghargai keberagaman dan berpijak di atas kebudayaan Nusantara.

Front Pembela Islam dan kawan-kawan mungkin menyangka mata uang ‘Islam kekerasan’ masih berlaku. Mereka menyangka kalau mereka terus bergaya preman dengan berteriak-teriak memaki-maki sembari menyebut nama Allah, mereka akan ditakuti sekaligus diridhoi. Tapi tentu saja mereka salah. Sepenuhnya salah.

Tulisan ini pernah di muat di www.madinaonline.id dengan judul “Parade Tauhid: Nama Allah pun Digunakan untuk Mencaci Maki”. tanggal 18 agustus 2015

This post was last modified on 19 Agustus 2015 1:23 PM

Ade Armando

Pemimpin Redaksi Madina Online dan Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Recent Posts

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

20 jam ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

22 jam ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

23 jam ago

Hari Pendidikan Nasional dan Upaya Membangun Sekolah yang Damai dari Intoleransi, Bullying dan Kekerasan

Hari Pendidikan Nasional yang akan diperingati pada tanggal 2 Mei 2024 menjadi momentum penting untuk…

23 jam ago

Role Model Pendidikan Karakter Anti-Kekerasan Ala Pesantren

Al-Qur’an merupakan firman Allah azza wa jalla yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya, yang…

23 jam ago

Merdeka Belajar; Merdeka dari Tiga Dosa Besar Pendidikan

Sekolah idealnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Namun, ironisnya belum semua sekolah memberikan rasa aman…

2 hari ago