Categories: Kebangsaan

Ketika Teroris Tidak Lagi Tua

Kekhawatiran sepak terjang kelompok radikal terorisme di Indonesia tidak hanya terletak pada aksi brutal yang mereka pertontonkan di hadapan publik. Namun, lebih jauh dari itu proses munculnya regenerasi baru terorisme melalui perekrutan anak-anak muda tunas bangsa menjadi hal yang lebih menakutkan. Pengalaman aksi teror di Indonesia selalu memperlihatkan bahwa pelaku dan tersangka teroris rata-rata masih berumur di bawah 30 tahun.

Kita bisa ambil contoh Dani Dwi Permana. Usianya masih 18 tahun. Pada Juni 2009, ia menamatkan sekolahnya di SMA Yadika Kemang, Bogor. Ia sempat menjadi marbot (petugas azan dan membersihkan masjid) di Masjid As-Surur di lingkugan Candraloka Perumahan Telaga Kahuripan serta aktif di Karang Taruna Candraloka, desa Tegal, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor. Sejak awal Juni 2009, ia menghilang. Ia diketahui keberadaannya setelah melakukan bom bunuh diri bersama Nana Ikhwan Maulana di hotel JW Mariott dan Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta.

Contoh lain, Arga Wiratama, usianya 17 tahun. Ia siswa SMK teknik mesin Negeri 2 Klaten Jawa Tengah dan warga Desa Buntalan, Kecamatan KlatenTengah. Ia dianggap bersalah oleh Pengadilan Negeri Klaten karena melakukan tindak pidana terorisme, meletakkan bom di delapan tempat berbeda di Surakarta dan Klaten pada 1 Desember 2010-21 Januari 2011 bersama lima teman lainnya. Terakhir, bom diletakkan di lokasi acara Yaa Qowiyyu di Jatianom, Klaten, pada 21 Januari 2011.

Beberapa kasus lainnya adalah mereka terduga teroris yang sudah ditangkap oleh apara penegak hukum seperti Haris Fauzi (25 tahun) dan Maksum (25 tahun,lulusan IAIN Jakarta), ditangkap pada tanggal 8 Mei 2013 di Jl. Kp. Batu Rengat Ds. Cigondewah Hilir Margaasih Bandung. Farel (26 tahun), Terduga teroris di Dusun Kembaran Desa Ungaran Kecamatan Kutowinangun Kebumen Jawa Tengah, ditangkap pada tanggal 9 Mei 2013. Yusuf (26 tahun), Terduga teroris di Kelurahan Rawasari Kecamatan Sukoharjo Pringsewu Lampung, ditangkap pada tanggal 10 Mei 2013.

Regenerasi teroris di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Munculnya ISIS sebagai ancaman teror justru semakin menegaskan rentannya kelompok muda dari pengaruh paham terorisme. Rekrutmen kelompok ISIS sudah banyak memakan korban kalangan anak muda. Fenomena ISIS memunculkan tokoh pemuda yang dengan nada lantang menggerakkan masyarakat untuk pergi ke Suriah. Ikon-ikon baru muncul seperti Bahrumsyah, Salim Mubarak, Bahrun Naim yang sedang berebut pamor sebagai komando muda ISIS di Indonesia.

Radikalisasi Anak Muda

Kenapa anak muda? Mental dan emosi kelompok muda dianggap labil dan paling mudah untuk bisa dimasuki dan dipengaruhi. Pemuda juga tergolong kelompok masyarakat yang berani dan siap untuk melakukan pemberontakan dan penyerangan terhadap kemapanan terlebih diiringi aksi atau tindakan kekerasan yang dianggap sebuah kegagahan. Idealisme yang tinggi disertai dengan keinginan menjalani proses yang cepat dan mudah benar-benar dimanfaatkan oleh kelompok teror dengan beragam rayuan. Rayuan itu tidak lain ajaran “mudah dan langsung masuk surga bila mati dalam aksi”.

Sebenarnya proses seseorang terjebak dalam jaringan dan aksi teror tidaklah instan. Brian Michael Jenkins mengatakan,”Teroris tidak jatuh dari langit, mereka muncul dari seperangkat keyakinan yang dipegang kuat. Mereka adalah radikal. Kemudian mereka menjadi teroris”. Ungkapan ini sangat tepat menggambarkan bagaimana proses seseorang terlibat dalam jaringan dan aksi terorisme selalu diawali dengan proses radikalisasi.

Radikalisasi di sini di maknai sebagai proses mengadopsi sistem keyakinan yang ekstrim termasuk di dalamnya keinginan untuk menggunakan, mendukung, dan memfasilitasi kekerasan sebagai proses mencapai perubahan. Ansyaad Mbai menegaskan bahwa Ideologi radikalisme ini merupakan akar dari terorisme, pemahaman yang sempit mengenai sebuah keyakinan, agama, menciptakan konflik sehingga melakukan teror

Proses radikalisasi dari Randy Borum dapat diidentifikasi dari perkembangan sikap individu yang mulai mengalami radikalisasi. Pertama, dimulai dengan keluhan (it’s not right). Dalam tahap ini individu akan selalu mengeluhkan keadaan yang dalam pandangan mereka adalah salah. Kedua, ketidakadailan (It’s not fair), pada proses ini seseorang akan merasa ada ketidakadilan yang harus diperjuangankan. Ketiga, mulai menyalahkan (it’s your fault). Pada proses ini individu mulai melemparkan dan menuduh kesalahan terhadap yang lain baik kelompok maupun negara. Keempat pengumpatan (you’re evil). Dalam kenyataannya umpatan itu biasanya selalu dimalukan dengan dehumanisasi simbolik, seperti setan, kafir, babi dan lainnya untuk membangkitkan kemarahan dan motivasi kekerasan.

Keseluruhan proses radikalisasi tersebut, rentan menjebak generasi muda yang mudah terbakar emosi dan kejiwaannya. Karena itulah, membentengi generasi muda dari jaringan terorisme, sejatinya adalah membentengi mereka dari pengaruh paham radikal. Emosi, mental dan psikis generasi muda yang penuh dengan semangat dan idealisme tinggi sebenarnya potensi yang bagus apabila diarahkan pada hal yang positif. Dalam kondisi itulah, sangat disayangkan apabila mereka bertemu dengan paham dan ajaran provokatif yang menganjurkan kekerasan.

Apa yang harus dilakukan? Pertama, Perkuat anak muda dengan wawasan kebangsaan. Menanamkan kembali pilar-pilar kebangsaan kepada generasi muda melalui kegiatan di lembaga pendidikan, keluarga dan masyarakat. Memberdayakan pelibatan generasi muda dalam aktifitas sosial yang dapat mengeluarkan kemampuan dan kreatifitas sehingga idealisme mereka merasa tersalurkan.

Langkah kedua adalah mengarahkan anak muda untuk memperlajari agama dari sumber yang otoritatif dan tidak ekslusif. Pendidikan agama anak muda perlu mendapatkan arahan yang jelas. Banyak sekali sumber keagamaan baik dari internet maupun dari kelompok kajian keagamaan yang tertutup di lingkungan pertemanan mereka yang jauh dari kontrol orang tua. Celah-celah itu yang sering dimanfaatkan untuk memberikan pemahaman keagamaan yang ekstrim di kalangan generasi muda.

Langkah berikutnya, kenalilah gejala anak muda yang mulai menjalani tahapan seperti yang diuraikan di atas. Sikap yang aneh dan janggal dengan mengkritik kebiasaan umum yang dianggap salah, memaki, dan mengumpat keadaan dengan nada-nada hujatan yang ekstrim adalah bagian dari indikasi mereka mulai terpapar oleh paham radikal terorisme.

Pemuda adalah harapan bangsa. Tunas-tunas bangsa yang tumbuh kembang untuk menjadi penopang kontruksi nusantara di masa yang akan datang. Merusak bangsa di masa yang akan datang adalah merusak generasi muda saat ini. Karena itulah, menjaga asset berharga ini menjadi tanggungjawab kita bersama. Lindungi generasi muda, dan kenalilah pola pergaulan mereka agar tidak mudah terpengaruh ajaran dan pandangan yang radikal.

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

18 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

18 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

18 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago