Khalid Basalamah menjadi satu ikon pendakwah salaf nasional yang bisa dibilang cukup kontroversial. Pada 2022, ia pernah mempersoalkan strategi dakwah yang menggunakan kebudayaan sebagai medium.
Saya kutipkan secara verbatim, begini:
“Harusnya Islam dijadikan tradisi dan budaya. Jangan kita balik, budaya di Islamkan. Susah. Mengislamkan budaya ini repot, karena budaya banyak sekali, standar yang mana yang harus dipegangi?”
Pernyataan tersebut keluar pada saat Khalid menjawab pertanyaan salah satu jama’ah yang bertanya seputar hukum wayang dan bagaimana cara tobat dari profesi seorang dalang. Dalam pernyataannya, tradisi yang dimaksud Basalamah adalah wayang.
Pada 31 Oktober lalu, Figur agama Islam yang gemar mendiskreditkan kearifan lokal itu diundang ke salah satu program dakwah di stasiun tv nasional TVRI. Kabar ini dipublikasi oleh akun Instagram @gazwah.tv.
TVRI mungkin merasa sosok Khalid Basalamah sebagai pendakwah yang punya reputasi dan jemaah yang signifikan dalam khazanah dakwah digital. Sebagaimana diketahui, ia merupakan salah satu pendakwah dengan basis jemaah online terbanyak di Indonesia lewat pengajian-pengajian yang disiarkan di YouTube. Ini adalah gejala pragmatisme media yang akan dibahas nanti dalam tulisan ini.
Langkah TVRI ini sangat beresiko dan patut dipertanyakan. Bagaimana instrumen media milik negara itu begitu permisif hingga memberi panggung kepada ustadz yang pernah menganjurkan untuk tidak membayar pajak dan tidak menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Gejala seperti ini pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2013, ketika TVRI meliput kampanye akbar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Stadiun Utama Gelora Bung Karno. Itu adalah blunder besar yang sempat diperagakan negara dengan memberikan exposure kepada kelompok yang jelas-jelas ingin merubah tatanan dan sistem NKRI.
Khalid memang tidak bicara khilafah, perubahan sistem, atau dakwah ‘jihad qital’ sebagaimana militansi kelompok ekstremis. Tetapi beberapa poin ceramah Khalid Basalamah sangat kontradiktif dengan spirit nasionalisme dan praktik beragama ala nusantara.
TVRI tidak sekali mengundang Basalamah. Sebelumnya pada 2015, Khalid Basalamah diundang dalam program dakwah berduet dengan almarhum Ustadz Arifin Ilham. Pada era ini, reputasi Basalamah belum semegah di era media sosial kini. Mungkin karena memang publikasinya tidak sekencang sekarang.
Khalid Basalamah masuk sebagai representasi pendakwah salafi di Indonesia. Secara etimologi, salafi berasal dari kata salaf. Kata salaf mengacu pada generasi terbaik yaitu era Nabi Muhammad, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Sedangkan salafi berarti orang yang mengacu pada kehidupan generasi itu sebagai referensi kehidupan sosial bermasyarakat di era kini.
Karena itu, ada beberapa ajaran salafi yang bertolak belakang dengan praktik nasionalisme dan beragama di Indonesia. Yang paling kentara adalah koridor praktik ibadah yang harus “plek ketiplek” dengan apa yang dilakukan generasi salaf.
Mereka menentang praktik beribadah Nahdlatul Ulama yang dianggap menyimpang dari koridor generasi salaf. Khalid Basalamah misalnya pernah menggugat peringatan Maulid Nabi yang menjadi tradisi keberislaman di Nusantara. Dalam salah satu video dakwahnya, ia menyatakan bahwa peringatan maulid adalah praktik dari orang Syiah.
Khawatirnya, panggung Basalamah di media tv nasional ini menjadi gejala sikap permisif negara terhadap tokoh-tokoh agama yang berpotensi menyebarkan narasi disintegrasi kepada audiens yang notabene berangkat dari berbagai latar belakang.
Sikap permisif ini barangkali ditunjang oleh pragmatisme media, apalagi tv, yang sangat concern terhadap rating. TVRI pasti memahami potensi massa yang dimiliki Khalid Basalamah di YouTube. Kesadaran ini melahirkan ide mengundang Khalid untuk mengambil ceruk market Khalid Basalamah demi meningkatkan rating penonton TVRI melalui program dakwah itu.
Dalam teori industri media, Stig Hjarvard dalam Mediatization and Religion: Nordic Perspective (2012) mengingatkan bahwa pembentukan cara pandang adalah ihwal yang lazim. Hal ini karena suatu media memosisikan diri di tengah-tengah khalayak sebagai agen utama, dan audiens sebagai klien. Relasi ini juga bisa disebut dengan ‘jurnalisme agama’. Ranah jurnalisme ini membawa agama ke dalam ruang publik politik sekaligus menyaratkan agama untuk tunduk pada paradigma dan ideologi jurnalisme tersebut.
Dalam arti lain, memberikan panggung kepada Khalid Basalamah justru bisa dibaca bahwa negara seolah memberikan sinyal bahwa ajaran intoleran bisa diterima dalam kehidupan publik.
Ketika negara terlihat lebih memilih untuk “diam” dan “lunak” terhadap mereka yang seharusnya diawasi, maka itu sama saja dengan upaya melemahkan upaya menegakkan nilai-nilai kebangsaan, seperti Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, yang menekankan keragaman dan kesetaraan antar umat beragama.
Wal akhir, sikap permisif negara terhadap tokoh agama intoleran adalah langkah yang berbahaya dan dapat berakibat jangka panjang yang merusak. Negara harus tegas dalam menegakkan prinsip-prinsip toleransi dan keadilan untuk menjaga harmoni dan persatuan masyarakat, serta memastikan bahwa ajaran agama tidak digunakan sebagai alat untuk memecah belah.
Sebagai sebuah ideologi dan gerakan, FPI dan HTI harus diakui memang punya tingkat resiliensi yang…
Temu Muda Muslimah 2024 yang digelar di Palembang kiranya dapat dibaca dari dua sisi. Di…
Menarik membaca manuver eks-HTI pasca organisasi itu dibubarkan. Salah satu pentolan eks-HTI, Felix Shiaw mengatakan…
Hari Pahlawan adalah momen untuk mengenang dan melanjutkan semangat juang para pahlawan bangsa dalam konteks…
Kelompok radikal-ekstrem seolah tidak pernah kehabisan ide dan cara untuk mengobok-obok negara. Gagal mengganti dasar…
Kita mengenal Bung Tomo, Jenderal Sudirman, I Gusti Ngurah Rai, Agustinus Adisudjipto, Kapten Pierre Tendean,…