Di tulisan yang sebelumnya (khilafah ala demokrasi Indonesia) saya telah menyatakan dengan tegas bahwa tujuan dan inti pokok dari konsep khilafah telah ada dalam demokrasi, yakni menjaga agama dan menciptakan tatanan sosial yang baik. Sehingga dengannya tidak perlu lagi bagi kita untuk meminta demokrasi diganti dengan sistem khilafah yang diyakini lebih Islami. Meneruskan tulisan di atas, saya ingin sekali lagi menunjukkan bahwa negeri ini bukan saja telah memberlakukan model khilafah –meski kita tidak pernah menyebutnya secara gamblang—dalam beberapa instrumen pokok kenegaraan.
Dalam konstitusi yang berlaku di negeri ini misalnya, tema mengenai persatuan, penghormatan terhadap minoritas, dan persatuan bangsa menjadi pokok utama yang menjadi dasar dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia. Hal ini tentu merupakan penjabaran dan aplikasi langsung dari piagam Madinah yang diinisiasi langsung oleh Rasulullah. Piagam tersebut berisi sepuluh (10) bab, yakni: Muqadimah; Bab I: Pembentukan Umat: [1 pasal], Bab II: Hak Asasi Manusia: [9 pasal], Bab III: Persatuan Seagama: [5 pasa]l, Bab IV: Persatuan Segenap Warganegara: [9 pasal], Bab V: Golongan Minoritas: [12 pasal], Bab VI: Tugas Warganegara: [3 pasal], Bab VII: Melindungi Negara: [3 pasal], Bab VIII: Pemimpin Negara: [3 pasal], Bab IX: Politik Perdamaian: [2 pasal], dan Bab X: Penutup: [1 pasal].
Konteks dan tujuan lahirnya piagam Madinah adalah keinginan untuk segera mengakhiri perselisihan dan membangun negeri yang bersatu dan maju ditengah berbagai perbedaan yang ada. Dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya sangat plural, semangat dan ide pokok yang termuat dalam piagam Madinah diserap dan dimanifestasikan langsung dalam berbagai kebijakan pemerintah untuk menciptakan masyarakat yang bersatu dan maju ditengah beragamnya perbedaan yang ada.
Ada banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa konstitusi negara kita menyerap semangat dan ide pokok dari piagam Madinah. Salah satu yang paling menonjol adalah tentang perlindungan dan jaminan kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut. Dalam Piagam Madinah pasal 25 sampai pasal 35 misalnya, disebutkan secara jelas bahwa, “Yahudi Banu ‘Auf adalah satu umat dengan kaum mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum muslimin agama mereka, baik sekutu-sekutu mereka dan diri mereka. Kecuali orang yang lalim dan jahat. Sesungguhnya hal itu tidak akan merusak kecuali (bagi) dirinya dan keluarganya (sendiri)”[1]
Konstitusi Indonesia menyerap semangat di atas dengan melahirkan kebijakan yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
Proses penyerapan dan manifestasi semangat dan ide pokok piagam Madinah juga ditemukan dalam Pancasila yang menjadi dasar negara kita. Dari lima sila yang menjadi jiwa dari pancasila tidak ditemukan satupun sila yang bertentangan dengan Piagam Madinah. Sila pertama, Ketuhanan yang maha esa, yang menjiwai keseluruhan sila merupakan bukti nyata betapa negeri ini berdasarkan pada prinsip ketauhidan sebagaimana tertuang dalam prinsip keimanan dalam Islam. Hal ini juga diperkuat melalui UUD 1945 pasal 29 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa”.
Sila pembuka yang ada pada pancasila jelas merujuk pada model pembukaan (muqadimah) yang ada pada piagam Madinah yang dibuka dengan basmalah, yang mana hal ini jelas menunjukkan nilai-nilai ketauhidan. Pada pasal pertama di piagam tersebut ditegaskan baik muslim maupun non-muslim yang ada di Madinah adalah sebuah kesatuan yang menyatu.
“Bismilahirrahmanirrahim. Ini adalah Piagam dari Muhammad saw antara orang-orang mukmin dan orang- 11 orang muslim dari Quraisy dan Yastrib, dan orang-orang yang mengikuti, bergabung, dan berjuang bersama mereka. (Pasal 1): Sesungguhnya mereka adalah satu umat, lain dari (kelompok) manusia yang lain”. [1]
Kota Madinah saat itu dihuni oleh komunitas masyarakat yang sangat plural. Piagam Madinah secara eksplisit menyebut ada tiga belas kelompok yang tinggal di kota itu, yakni; kaum Muhajirin, penduduk Yastrib yang muslim (kaum Anshar), Yahudi bani ‘Auf, Sa’idah, Yahudi Bani Harts, Yahudi Bani Jusyam, Yahudi Najjar, Yahudi Bani ‘Amr bin ‘Auf, Bani Nabit, Bani ‘Aws, Yahudi Bani Sa’labah, Suku Jafnah dari Bani Sa’labah, dan Bani Syuthaybah.
Lahirnya piagam Madinah dan berjalannya roda kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di kota Madinah merupakan hasil dari proses panjang bernama negoisasi. Rasul melakukan negoiisasi dengan masyarakat kota Madinah hingga akhirnya lahir piagam Madinah yang merupakan konstitusi pertama dalam sejarah Islam. Demikian pula halnya dengan yang terjadi pada konstitusi NKRI yang lahir dari negoisasi panjang seluruh elemen bangsa sebelum akhirnya menetapkan ‘sila tauhid’ sebagai sila pertama pada pancasila.
Karenanya, tanpa menyebut khilafah sekalipun, Indonesia sudah sarat dengan Khilafah di dalamnya.
Semoga bermanfaat.
This post was last modified on 28 Juli 2015 2:33 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…