Narasi

Khutbah Jum’at untuk Membumikan Dialog dan Anti Diskriminasi

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan siksa yang bera.” (QS. Ali Imron/3: ayat 105)

Ayat ini menjadi catatan serius bagi umat Islam dalam merayakan hari Jum’at. Ketika umat Islam berkumpul di masjid menjalankan shalat Jum’at, disitulah umat Islam sebenarnya diberikan anugerah Allah untuk selalu bersatu dan terbuka menyelesaikan berbagai persoalan. Ritual seminggu sekali ini bukan sebatas ibadah, melainkan berdimensi sosial yang sudah terbukti memperkuat jalinan silaturrahim antar sesama.

Dalam konteks ini pula, tepat Imam At-Thabari dalam tafsirnya menegaskan bahwa umat Islam jangan seperti umat sebelumnya yang mudah terpecah-belaj dan berselisih dalam agama. Ketika ajaran kebenaran sudah datang beserta bukti kongkritnya, masih saja mereka sengaja menentang dan mengingkari perintah Allah. Mereka itu juga membatalkan perjanjian kepada Allah dengan lancang dan seenaknya.

Sementara itu, Imam Al-Syatibi dalam kitab Al-I’tishom menegaskan, perpecahan fisik (tafarruq) adalah akibat ikhtilaf (perselisihan) mazhab dan ikhtilaf pemikiran. Imam al-Syatibi disini sangat jelas bahwa banyak masyarakat yang masih belum dewasa dalam memahami perbedaan dan latar belakang. Kalau gagal paham, maka yang terjadi adalah konflik dan pertikaian. Tapi, kalau bisa mengelola dengan baik dan sistematis, justru perbedaan itu menjadi jembatan rahmah, kasih sayang kepada sesama anak bangsa.

Di sini, letak sangat strategis dari khutbah Jum’at. Tema dalam khutbah Jum’at yang khatibnya gagal paham, maka akan melahirkan jama’ah yang gagal menerima ajaran agama. Kalau khatib dan jama’ah sudah sama-sama gagal menangap pesan wahyu, maka ini sangat membahayakan, karena berpotensi bisa dirasuki jaringan radikalisme dan ekstrimisme. Para khatib sangat membahayakan, apalagi kalau sudah di mimbar itu sudah tidak ada dialog, bahkan menebarkan diskriminasi.

Baca juga : Kaderisasi Generasi Cinta Damai Lewat Khutbah Jumat

Ibadah sholat Jum’at harus kembali kepada khittahnya, yakni media belajar ilmu agama sekalugus mengajari kita berdialog dengan Tuhan dan sesama, juga menguatkan persaudaraan dengan semua saudara sebangsa. Khittah dalam sholat Jum’at harus dikembalikan sesuai inti ajarannya, yakni tunduk kepada Allah dan disertai perjuangan membangun kehidupan yang damai dan nyaman.

Bangun Pondasi Dialog

Khutbah Jum’at harus bisa menampilkan gagasan yang segar dan memberi rahmah-maslahah bagi semuanya. Dengan rahmah dan maslahah, maka akan lahir generasi yang suka berdialog sekaligus membumikan persaudaraan dan perdamaian dengan sesama. Khatib Jum’at memang harus bervisi dialogis sekaligus menguatkan persaudaraan, walaupun saat khutbah tidak diperkenankan melalukan interupsi.

Membangun pondasi dialog sejak khutbah Jum’at bisa menjadi gerakan baru dalam konteks berbangsa dan bernegara. Menurut Menurut M Rikza Chamami (2018), pondasi dialog bermula dari rasa kasih sayang (rahmah) dalam Islam itu bermakna cukup mendalam. Bahwa sikap manusia dalam menghadapi perbedaan itu butuh perasaan dan pendapat. Dan tentunya karena sudah berbeda, maka perasaan dan pendapat itu membutuhkan bentuk yang tidak kelihatan, yakni kasing sayang, saling memahami.

Dalam tafsir al-Ibriz, KH Bisri Mustofa membahas mengenai Surat Al Anbiya’ ayat 107 juz 17 tentang makna “rahmatan lil’alamin”. Yang menerima rahmat atas keberadaan Nabi Muhammad itu tidak hanya orang beriman yang shalih saja. Tapi juga orang kafir dan orang yang berbuat keji (juga dapat rahmat). Sebab ketika Nabi dilempar batu, dicekik, dilempari kotoran binatang dan (gangguan dakwah) lainnya oleh kaumnya. Nabi justru berdo’a: “Ya Allah berikanlah hidayah pada kaumku karena mereka tidak tahu menahu”. Maka kaumnya Nabi Muhammad tidak ditumpas semuanya. Kaumnya tidak dihilangkan, dicuekkan dan jadi kera atau babi sebagaimana kaum Nabi sebelum Muhammad”.

Dalam Tafsir Jalalain karya Syaikh Imam Jalaluddin Al Mahalli dan Syaikh Imam Jalaluddin Al Suyuthi juga dijelaskan bahwa tugas Nabi Muhammad dan umatnya adalah memberikan perlindungan sosial dan psikologis. Dan ternyata rahmat untuk alam semesta juga diperuntukkan bagi manusia dan jin. Kenapa demikian? Sebab Nabi Muhammad menegaskan itu semua dalam haditsnya dalam penjelasan Tafsir At Tanwir Wat Tanwir oleh Ibnu ‘Asyur dalam membedah isi Surat Al Anbiya’ ayat 107 tadi.

Dengan menafsirkan makna rahmah ini, seorang khatib Jum’at akan menjadi “guru” yang menyenangkan bagi jama’ahnya. Khatib menjadi rujukan jama’ah dalam mempraktikkan dialog dan persaudaraan dengan warga dan sesama.

Kuatkan Persaudaraan

Kalau pondasi sudah kuat, maka masyarakat harus bersama-sama menguatkan jaringan persauadaran. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, khatib mengajak semua tokoh agama untuk merekatkan diri dalam dialog dan kerjasama sosial dalam berbangsa dan bernegara. Eratkan kerjasama para tokoh agama menjadi penyuntik gerakan, sehingga umat yang ada di bawah mempunyai referensi yang jelas dalam menata lingkungan yang damai dan sejahtera.

Kedua, khatib bisa mengajak pemerintah baik pusat maupun tingkat desa untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan kepada semua warga negara, tanpa membedakan latarbelakangnya. Khususnya lagi di desa, pemerintah desa bersama pengurus RT/RW harus bersama-sama membangun kesepahaman, sehingga saling menguatkan semua program, khususnya yang terkait dengan persaudaraan semua warga negara.

Ketiga, khatib bisa mengajak dialog dan menguatkan persaudaraan antar remaja masjid untuk cinta Islam dan Nabi Muhammad SAW. Khatib harus mengajak anak-anak muda untuk selalu menanamkan nilai kasih sayang dan perdamaian, sehingga mereka akan menjadi pemimpin yang selalu setia dengan perjuangan perdamaian dan kemanusiaan. Anak-anak muda ini jangan sampai mendapatkan suntikan kekerasan dan diskriminasi, karena akan sangat berbahaya untuk masa depannya dan masa depan bangsanya.

Khutbah Jum’at yang dibarengi langkah-langkah strategis ini harus makin menguatkan semangat rahmah (kasih sayang), sehingga semua anak manusia bisa terus berjuang dalam menghilangkan diskriminasi dan ketimpangan.

Siti Muyassarotul Hafidzoh

Alumnus Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Litbang PW Fatayat NU DIY dan mengajar di MTs Al-Quran, Pesantren Binaul Ummah Wonolelo Pleret Bantul

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

55 menit ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

57 menit ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

59 menit ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago