Ada sebagian kelompok yang dengan mudah menyematkan label ulama kepada orang yang seharusnya tidak pantas menerima label tersebut. Hanya karena kepentingan politik praktis, seharusnya tidak melakukan komodifikasi kata ulama. Ulama yang awalnya dijadikan sebagai penuntut masyarakat agar menjadikan kehidupan mereka lebih baik lagi, saat ini bisa saja sebagai alat legitimasi untuk merebut kekuasaan.
Tugas kita saat ini, terutama untuk tokoh dan cendikiawan muslim agar mengembalikan kata ulama agar tetap dipahami sebagai penuntun masyarakat terutama dalam bidang masyarakat. Walaupun tidak menutup kemungkinan kalau ulama juga bisa melakukan hal yang lainnya. Terjadinya komodifikasi, membawa kata ulama ke level yang lebih dangkal. Komodifikasi kata ulama juga akan membuat kebingungan masyarakat. Ulama yang seharusnya mempunyai akhlak yang baik karena sebagai teladan, namun masyarakat menemukan hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama, sering melakukan ujaran kebencian dan melakukan provokasi untuk membenci terhadap kelompok lain.
Syekh Muhammad bin ‘Ajibah, seroang tokoh Sufi Maroko Abad 13 (H), mengatakan bahwa seorang ulama memiliki tiga macam karakter sekaligus. Pertama, mereka yang alim, mewarisi pengajaran nabi dan mempunyai landasan keikhlasan. Kedua, mereka yang ‘abid, mewarisi nabi dalam ahli ibadah, mujahadah kepada Allah. Ketiga, mereka yang ‘arif, yaitu meneladani amalan Rasulullah serta akhlaknya, berupa zuhud (tidak ketergantungan kepada dunia), wara’ (menjaga kehormatan dirinya), hilm (lapang hati dan toleran), dan mahabbah (rasa kecintaan kepada Allah dan segala yang dicintainya).
Kepatuhan Terhadap Ulama
Perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari dekat dengan kepatuhan (obedience). Di sekolah, siswa patuh kepada gurunya untuk mengerjakan tugas di rumah. Dalam bidang keagamaan, masyarakat patuh terhadap ulama untuk melakukan apa yang dikatakan oleh ulama tersebut.
Baca juga : Jas Hijau dan Misi Ulama Merawat Ukhuwah Wathaniyah
Ulama memiliki peranan yang sangat penting dalam perubahan sosial. Mereka memiliki pengaruh terhadap cara pandang masyarakat dan sikap yang dimilikinya. Sehingga masyarakat harus selektif memilih ulama, mereka yang benar-benar menguasai ilmu agama dan memiliki karakter-karakter yang telah dijelaskan sebelumnya atau tidak. Ulama juga harus memiliki orientasi yang jelas, yaitu mempersatukan umat, bukan malah mendorong kebencian terhadap kelompok di luar dirinya.
Sebagaimana dikutip oleh Nurlyta Hafiyah dalam tulisannya “Pengaruh Sosial” dalam buku “Psikologi Sosial), obedience merupakan salah satu jenis dari pengaruh sosial, seseorang menaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur power (Baron, Branscome dan Byrne, 2006). Dalam penelitiannya Staford Milgram (1963) tentang obedience menunjukkan, individu cenderung patuh terhadap perintah orang lain meskipun orang itu relatif tidak memiliki power yang kuat. Dalam penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa individu dapat menuruti perintah yang sebenarnya membahayakan jiwa orang lain.
Kita sudah pernah menyaksikan, satu keluarga yang melakukan bom bunuh diri di Surabaya pada Minggu 13/05/2018. Apa yang dilakukan satu keluarga tersebut tidak serta-merta berangkat dari motivasi dirinya sendiri, melainkan ada kepatuhan terhadap mereka yang dianggap sebagai gurunya. Kepatuhan terhadap orang lain tersebut, akhirnya membahayakan jiwa orang lain.
Untuk tetap menjaga persatuan, yang bisa kita lakukan adalah sosialisasi kembali siapa itu sebenarnya ulama. Ulama tidak hanya didefinisikan sebagai mereka yang menuntun masyarakat dalam bidang agama, melainkan mereka yang mengajarkan kebaikan dan mengupayakan perdamaian. Perhimpunan organisasi ulama seharusnya tidak hanya melakukan tugas-tugas mengupayakan identifikasi makanan halal dan haram dan sekadar mengeluarkan fatwa, alangkah lebih baiknya juga sebagai simpul perubahan sosial yang bertujuan menguapayakan perdamaian dan persatuan antar umat, tanpa membedakan agama, suku, bahasa dan kepentingan politik praktis.
Agar masyarakat tidak terjerumus pada aksi-aksi intoleransi dan membahayakan orang lain, mereka harus menolak perintah yang buruk dan yang merusak. Untuk melakukan hal tersebut diperlukan suatu strategi sebagaimana konsep yang dikutip Nurlyta Hafiyah dalam (Baron, Branscombe dan Byrne, 2008). Pertama, individu perlu diingatkan bahwa ia sendiri bertanggung jawab. Kedua, individu diberi tahu secara jelas bahwa perintah-perintah yang destruktif tidak diperkenankan. Ketiga, individu perlu meninjau ulang motif.
Orang melakukan ujaran kebencian terhadap kelompok lainnya terkadang memiliki motif tertentu. Setiap individu harus meninjau apa yang dikatakan oleh seorang ulama terhadap apa yang telah dikatakan apabila mengarah pada tindakan yang membahayakan orang lain, seperti intoleransi dan perusakan. Tidak semua apa yang dikatakan dan diperintahkan ulama harus dilakukan, kita harus meninjau kembali dari berbagai aspek.
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…
Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…
“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…
Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…
View Comments