Pandemi Covid-19 tidak hanya menghadirkan tantangan dalam bidang kesehatan dan ekonomi. Lebih dari itu, pandemi Covid-19 juga berdampak pada aspek sosio-kultural kehidupan manusia, termasuk salah satunya ialah kehidupan beragama. Secara psikologis, pandemi yang dipenuhi ketidakpastian ini potensial membuat manusia menderita penyakit psikis, seperti stress maupun depresi. Situasi ketidakpastian tidak pelak melahirkan perasaan takut, cemas dan panik. Dalam perspektif psikoanalisis, ketakutan, kecemasan dan kepanikan rentan membuat manusia mengalami keterasingan (anxiety). Puncak dari rasa keterasingan itu ialah hilangnya kepercayaan pada otoritas sosial, politik bahkan agama (Erich Fromm: 1996).
Sementara secara sosiologis, situasi pandemi yang diwarnai keprihatinan ini berdampak pada munculnya benih-benih kekacauan sosial. Tidak menentunya situasi ekonomi, gelombang PHK jutaan pekerja, dan meningkatnya angka kriminilitas mau tidak mau menaikkan tensi hubungan sosial dalam masyarakat. Kewaspadaan berlebihan masyarakat dalam menghadapi pandemi pun acapkali berbuah kesalahpahaman yang berujung pada munculnya ketegangan sosial.
Kondisi psikologis dan sosiologis masyarakat di masa pandemi yang sama-sama tidak stabil itulah yang kerap dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Kaum radikal mengkomodifikasi keresahan dan ketegangan publik itu untuk membangun narasi ketidakpercayaan pada pemerintah, ulama dan lembaga kemasyarakatan-keagamaan yang otoritatif. Strategi ini dipakai untuk melemahkan sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi pandemi. Jika ikatan kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat itu memudar, jalan untuk menyebarkan ideologi dan pemikiran radikal (anti-pemerintah) akan terbuka lebar.
Jika diamati, manuver yang demikian ini sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh kelompok radikal di Indonesia. Di Timur Tengah misalnya, kelompok radikal keagamaan selalu memanfaatkan isu sosial-politik untuk mendeskreditkan dan mendeligitimasi pemerintahan yang sah. Tidak hanya itu, mereka juga menciptakan narasi-narasi negatif yang berupaya memecah belah masyarakat sehingga timbul konflik sosial antarsesama. Ketika bara konflik itu membesar, kelompok radikal akan mengambil alih situasi dan merebut kekuasaan dari otoritas yang sah (Asef Bayat: 2011).
Pandemi dan Narasi Keislaman di Dunia Maya
Konflik sektarian seperti terjadi di kawasan Timur Tengah tentu tidak boleh terjadi di Indonesia. Eksistensi bangsa dan negara ini terlalu mahal untuk digadaikan oleh kepentingan pragmatis kaum radikal agama. Maka, tidak ada jalan lain kecuali melawan narasi radikalisme agama di masa pandemi ini dengan mengembangkan corak keberagamaan yang moderat-progresif. Di titik ini pula harus diakui bahwa pandemi Covid-19 telah menjadi semacam medan pertarungan wacana keagamaan yang mempertemukan antara kubu radikal di satu sisi dan moderat di sisi lain. Hal ini terjadi terutama dalam konteks agama Islam yang notabene merupakan agama mayoritas di Indonesia.
Baca Juga : Ideologi Pancasila Kunci Membendung Ideologi Khilafah
Kontestasi wacana keagamaan (baca: keislaman) di masa pandemi ini menjadi kian menarik lantaran perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Keberadaan internet dan media sosial telah melahirkan fenomena baru dalam dunia dakwah Islam di Indonesia. Hal itu terlihat dari menjamurnya dakwah digital melalui media sosial. Dalam konteks ini, harus diakui bahwa kelompok radikal cenderung lebih dahulu memakai internet dan media sosial sebagai sarana propaganda mereka.
Gary R. Bunt dalam bukunya berjudul Virtually Islamic (2000) menyebut bahwa internet dan media sosial berperan penting dalam menyokong keberhasilan kelompok radikal menyebarkan pandangan keisalaman konservatifnya di Indonesia. Ketimbang kelompok moderat, kelompok radikal cenderung lebih dulu “akrab” dengan internet dan media sosial. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya konten dakwah digital (teks, audio, maupun video) yang berkecenderungan konservatif di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, serta situs-situs keislaman. Asumsi ini diperkuat oleh data dari Alvara Institute yang menunjukkan selama kurun waktu tahun 2012 hingga 2016 situs-situs keislaman bercorak radikal menempati urutan ke atas situs keislaman paling banyak diakses publik.
Namun, dalam beberapa tahun, kondisi itu mulai berbalik arah. Kesadaran kelompok Islam moderat akan keberadaan internet dan media sosial sebagai sarana baru dalam berdakwah dan mengkonter wacana kelompok radikal mulai meningkat. Situs-situs keislaman berhaluan moderat pun bermunculan. Masing-masing situs tersebut mengusung tema-tema yang berbeda mulai dari kajian keislaman populer, ekonomi syariah, fiqih keseharian hingga tema-tema berat seperti filsafat atau spiritualitas Islam. Perlahan namun pasti, situs-situs keislaman berhaluan moderat itu pun mulai menggeser dominasi situs keisalaman konservatif-radikal. Di saat yang sama, para ulama, kiai atau intelektual Islam moderat yang sebelumnya tidak terlalu akrab dengan internet dan media sosial pun kini mulai menjadikan media baru tersebut sebagai sarana berdakwah.
Puncak penetrasi dan sebaran konten keislaman moderat di internet dan media sosial itu terjadi pada momentum bulan suci Ramadan yang dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Situasi pandemi yang mengharuskan masyarakat menjalani ibadah Ramadan di rumah membuat gairah kajian islam moderat di internet dan media sosial meningkat tajam.
Di kanal media sosial Facebook misalnya, kita akan dengan mudah menemui kajian keisalaman berhaluan moderat yang diampu oleh nama-nama kondang. Beberapa di antaranya ialah kajian kitab Ihya’ Ulumuddin karya al Ghazali oleh kiai Ulil Abshar Abdalla, Arbain Nawawiyyah KH. Mustofa Bisri, Minhajul Abidin oleh KH. Yahya Cholil Staquf, Tafsir Jalalain oleh Abdul Moqsith Ghazali dan lain sebagainya. Di saat yang sama, sejumlah situs keislaman moderat seperti islami.co, alif.id, bincang syariah.com (Nahdlatul Ulama), dan IBtimes. ID (Muhammadiyah) mengalami lonjakan traffic yang signifikan.
Moderasi Islam Kunci Menangkal Narasi Radikalisme
Kajian keislaman bercorak moderat yang tersaji di media sosial atau situs keislaman itu dalam banyak hal mampu menjadi semacam antidote alias penangkal narasi keislaman yang disuarakan kaum radikal. Namun demikian, kelompok Islam moderat tidak sepatutnya menepuk dada dan terlena oleh capaian yang sejauh ini tampak menjanjikan tersebut. Ulama, kiai dan intelektual muslim moderat serta para penyedia konten kajian keislaman memiliki tugas berat untuk menghadirkan narasi keislaman yang adaptif pada nilai keindonesiaan tanpa kehilangan daya tarik sebagai sebuah konten populer di dunia maya.
Di era cyberspace seperti saat ini, kemasan adalah variabel penting setelah muatan. Maka, selain isi kajian, cara penyampaian –termasuk penampilan, gaya bahasa, pendekatan dan sejenisnya– juga perlu diperhatikan. Greg Fealy dalam buku Ustadz Seleb; Bisnis Moral dan Fatwa Online menyebut bahwa di era cyberspace wacana keagamaan salah satunya ditentukan oleh netizen sebagai penikmatnya. Netizen memiliki kuasa penuh untuk memilih konten keislaman yang akan diaksesnya. Belum lagi terkait algoritma media sosial yang berbeda satu sama lain dan acapkali menjadi tantangan yang sukar ditaklukkan. Kenyataan inilah yang patut dipahami oleh kelompok Islam moderat agar mereka mampu menghadirkan kajian islam yang otoritatif sekaligus menarik di dunia maya. Kita tentu berharap, euforia popularitas kajian keislaman bercorak moderat di dunia maya tidak hanya momentum sesaat di bulan Ramadan saja. Selama pandemi belum berakhir, narasi radikalisme agama akan tetap diproduksi oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memprovokasi umat. Adalah tugas bersama seluruh eksponen Islam moderat di Indonesia untuk terus menyebarkan moderasi keberagamaan utamanya melalui dunia maya. Narasi radikalisme keagamaan yang membonceng isu pandemi untuk menggoyang pemerintahan yang sah tentu wajib dilawan.
This post was last modified on 15 Juni 2020 2:22 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…