Narasi

Manusia, Khalifah Penjaga Kelestarian Alam

Minggu-minggu ini, beberapa wilayah Indonesia terkena banjir. Jabotabek sebagai daerah terparah. Akibat kepungan banjir, hampir semua aktivitas masyarakat berhenti, dan total kerugian diperkirakan Rp 1 triliun (kompas, 3/1/20).

Banyaknya bencana di negeri ini, tidak lepas dari ulah tangan manusia itu sendiri. Tidak ada keseimbangan alam, penggundulan hutan, pembakaran lahan, dan sederet tindakan destruktif dan pencemaran lingkungan lainnya.

Dalam konteks inilah, kita perlu taubat ekologis, yakni taubat untuk kembali memfungsikan manusia sebagai khalifah. Khalifah yang bertugas untuk merawat, menjaga, melindingi, dan memakmurkan alam ini.

Artinya, taubat ekologis tidak hanya berhenti pada aspek ritiual-ibadah semata, melainkan masuk pada level ekologis: melindingi hutan, menjaga lautan, mencegah tidak terjadi kebakaran, dan merawat ekosisistem agar tetap seimbang.

Quraish Shihab menyatakan, khalifah adalah suatu fungsi menghantarkan sesuatu –apapun itu –sesuai dengan tujuan ciptaannya.

Artinya, bunga dicipatkan untuk bisa dipetik, maka ia harus dijaga sampai mekar. Air diciptakan supaya bisa dikonsumsi, maka tugas khalifah adalah menjaga kebersihan dan kelayakan air. Hutan bertujuan untuk mengeluarkan udara segar, maka tugas khalifah adalah mejaga pengikisan, pembakaran, dan penebangan liar. Jika ada tindakan sebaliknya, maka itu menyalahi fungsi khalifah.

Tiga Masalah Besar

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia menghadapi kendala tersenderi. Menurut para pakar, setidaknya ada tiga kendala besar.

Pertama, gaya hidup manusia yang rakus dan serakah. Yang mengakibatkan alam menjadi terekploitasi dan tidak terjaga keseimbangannya. Airnya dihisap, tanahnya dikerok, dan udaranya dicemari. Semuanya dilakukan demi kepentingan pragmatis. Belum lagi, eksploitasi besar-besaran itu dilakukan tanpa mempertimbangkan faktor keseimbangan alam, yakni tidak memikirkan sumber substitusi selanjutnya.

Baca Juga : Khalifah fi al-Ardhi dan Diri-Diri yang Terkebiri

Kedua, populasi manusia. Pertumbuhan penduduk mau tidak mau akan membutuhkan sumber daya alam yang banyak. Malthus mengatakan, pertumbuhan manusia mengikuti derat jarak, sementara persediaan sumber daya alam menikuti deret angka. Peredian alam terbatas, sementara pertumbuhan manusia berjalan cepat.

Akibatnya, manusia dengan segala tenaga, berusaha mempergunakan alam –air, tumbuhan, binatang, hutan, dan segala macamnya –dengan sebanyak-banyaknya. Pemenuhan kebutuhan manusia itu sering merusak alam.

Ketiga, kemiskininan. Faktor kemiskinan menjadi salah satu sebab banyaknya kerusakan alam. Sebab tidak memiliki SDM, manusia beralih kepada SDA. Mengandalkan alam saja akan mengakibatkan kekuarangan. Dalam beberapa kasus, eksploitasi besar-besaran menjadikan alam tidak bisa terawat dan terjaga. Ketergantungan yang berlebihan terhadap alam, dalam beberap hal menjadi biag kerok terjadi perusakan alam.

Meneguhkan Fungsi Khilafah

Dalam konteks inilah, patut kiranya kalau manusia kembali kepada dirinya sebagai khalifah. Khalifah bukan berarti tidak mempergunakan alam, tidak! Tetapi harus dibarengi dengan keseimbangan dan kesewajaran.

Para nenek moyang dulu –dalam implementasi kerja khilafah ini –sering memperlakukan alam sebagai subjek. Artinya alam adalah sama seperti manusia, yang mempunyai rasa dan kepekaan. Mejaga alam sama dengan menjaga diri kita masing-masing.

Filosofi keselarasan dengan alam, menyebabkan alam tidak murka. Ekosistem terjaga. Tidak ada perusakan hutan, dan tidak ada pencemaran air. Sebab, bagi para pendahulu kita, alam adalah anugerah Tuhan yang harus dirwat dan dijaga.

Kembali kepada fungsi khilafah, sebagaimana dikemukan Quraish Shihab di atas –tidak bisa tidak, harus segera dilakukan. Manusia harus bertindak sebagai pelindung dan perawat tujuan terciptaannya manusia. Manusia harus bertindak bahwa keamanan, kenyamanan, dan kedamaian di muka bumi adalah tugas bersama sebagai khalifah di muka bumi.

Untuk itu, keseimbangan ekologi adalah tugas penting sekarang. Alam sudah menjerit, airnya dicemari, tanahnya dikerok, ikannya dirampas, udaranya dikotori. Kini saatnya manusia harus sadar, bahwa alam juga punya batas kesabaran.

Taubat ekologis, yakni sama-sama kembali mejaga keseimbangan alam adalah kewajiban setiap insan dalam ikut aktif melestarikan alam.

Ahmad Kamil

View Comments

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

2 minggu ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

2 minggu ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

2 minggu ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

2 minggu ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

2 minggu ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

2 minggu ago