Narasi

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak pada nalar dikotomistik. Nalar dikotomistik beragama dapat diidentifikasi dasi setidaknya tiga hal. 

Pertama, disparitas yang tajam atau mutlak. Dalam artian melihat segala sesuatu yang berbeda dengan pendekatan konfliktual. Maka, segala yang berbeda akan dianggap bermusuhan. Kedua, pola pikir hitam putih yang menjurus labelisasi juga penghakiman. Nalar pikir hitam putih ini melihat segala sesuatu dengan perspektif salah-benar.

Pandangan sendiri dianggap benar, pandangan lain dicap salah. Dalam beragama, nalar hitam putih mewujud pada arogansi klaim kebenaran tunggal. Ajaran agama sendiri diklaim paling benar, sedangkan ajaran agama lain pasti salah dan menyesatkan. 

Ketiga, sikap eksklusif dalam artian menutup diri dari golongan lain. Perilaku eksklusif dalam beragama mewujud pada tindakan menghalangi kelompok agama lain dalam beribadah atau mengekspresikan keimanannya di muka umum. Seolah-olah, ruang publik hanya milik golongannya sendiri, sedangkan kelompok lain tidak punya hak.

Nalar dikotomistik dalam beragama dapat memicu eksklusivisme, intoleransi, bahkan radikalisme. Benih radikalisme dan ekstremisme agama biasanya tumbuh ketika seseorang bersikap eksklusif dan intoleransi terhadap agama lain. Bisa dikatakan, cara pandang dikotomistik dalam beragama adalah titik awal berkembangnya perilaku radikal ekstrem. 

Ekstrmisme dimulai dengan curiga pada kelompok lain, lalu melabeli kelompok itu dengan sebutan sesat, kafir, murtad, dan sebagainya. Labelisasi tidak lain merupakan bentuk kekerasan simbolik. Maka, hanya tinggal menunggu waktu kekerasan simbolik itu bertransformasi menjadi kekerasan fisik. 

Lantas, bagimana mengatasi pola pikir dikotomistik umat beragama ini?

Dalam leksikon filsafat, paradigma berpikir yang kaku dapat dicairkan dengan membongkar logika berpikirnya terlebih dahulu. Membaca pemikiran atau pandangan yang berbeda sebanyak mungkin. Lalu berdiskusi dengan orang yang berbeda pandangan sesering mungkin. Lambat laun paradigma berpikir kaku itu akan luntur dengan sendirinya. 

Metode ini banyak dipakai oleh kalangan filosof. Dimana mereka mencari lawan debat yang berbeda pandangan untuk adu gagasan atau ide. Kebiasaan berdebat dengan lawan diskusi akan membuat paradigma berpikir seseorang mejandj terbuka dan terbiasa dengan perbedaan pandangan. 

Dalam kehidupan beragama, nalar dikotomistik dapat diminimalisasi dengan cara memperbanyak pertemuan dengan komunitas agama yang berbeda. Jika dilacak ke dalam, nalar dikotomistik beragama itu muncul dari perasaan curiga terhadap agama lain. Agama lain dianggap sebagai perusak agama sendiri.

Kegiatan ibadah agama lain dianggap mengganggu kegiatan ibadah agama sendiri. Keimanan agama lain dianggap merusak kesucian agama sendiri. Padahal, kecurigaan itu kerap kali hanya tumbuh dari imajinasi liar yang tidak rasional dan ilmiah. 

Namun, karena kecurigaan itu tidak dikonfirmasi melalui perjumpaan langsung dengan komunitas agama lain, maka sikap curiga itu kian subur. Maka, membuka ruang perjumpaan dengan agama lain adalah jalan meredam sikap curiga tersebut.

Ironisnya, di era disrupsi digital seperti saat ini, ruang perjumpaan secara langsung itu kian menyempit. Ruang publik banyak bermigrasi ke ranah digital. Perjumpaan fisik diganti dengan interaksi digital. Problemnya adalah, interaksi digital kerap tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya di dunia nyata. 

Dalam konteks relasi beragama, di ranah digital hubungan antar kelompok agama tergambarkan ke dalam suasana yang tegang dan rawan konflik. Semburan kebencian atas nama sentimen fanatisme agama menjadi fenomena lazim di medsos. Padahal, di dunia nyata relasi antaragama cenderung adem ayem saja. 

Maka, perjumpaan lintas agama di dunia nyata menjadi urgen. Ketika umat lintas agama bertemu dalam suasana penuh cinta, seperti perayaan hari besar keagamaan, maka kecurigaan itu akan terkikis. Sebaliknya, umat beragama akan mengembangkan paradigma baru relasi antaragama yang lebih toleran dan inklusif. 

Di titik inilah, agenda Natal Bersama seperti digagas Kemenag menjadi relevan untuk membangun kultur toleran. Toleransi akan menjadi fondasi masyarakat majemuk yang madani. Tanpa toleransi, kita akan terus menerus terjebak dalam labirin kecurigaan dan kebencian. 

Masyarakat Madani menjadi elemen penting di tengah bangsa yang plural seperti Indonesia. Tanpa keberadaan masyarakat sipil yang beradab, bangsa ini akan mudah diadu domba oleh provokasi kebencian. Maka, kita perlu melalui nalar dikotomistik dalam beragama. 

Kita perlu mengembangkan nalar inklusif dalam beragama. Termasuk memperbanyak perjumlaah fisik lintas agama, tidak hanya interaksi di kanal maya. Dengan begitu, cita-cita terbentuknya masyarakat madani akan terwujud. 

Siti Romlah Al Mahfud

Recent Posts

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

3 jam ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

3 jam ago

Beragama dengan Kawruh Atau Rahman-Rahim dalam Perspektif Kejawen

Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian…

3 jam ago

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…

1 hari ago

Bagaimana Mengaplikasikan Agama Cinta di Tengah Pluralitas Agama?

Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…

1 hari ago

Banyak Negara Muslim Memfasilitasi Natal, Indonesia adalah Salah Satunya

Desember 2025 akan mencatat sejarah baru bagi Indonesia. Untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, Kementerian Agama…

1 hari ago