Peristiwa teror memang bukan fenomena baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Namun, istilah terorisme menjadi kosakata baru yang mendadak populer pasca perstiwa tragis Bom Bali I pada tahun 2002. Peristiwa tersebut juga mendorong lahirnya UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme, termasuk dibentuknya Detasemen Khusus 88 Polri.
Pengalaman menangani terorisme dalam sudut pandang penegakan hukum merupakan hal baru bagi bangsa ini. Sebelumnya penanganan aksi serupa yang dikategorikan makar dan subversi ditangani secara militeristik. Terorisme diletakkan sebagai kejahatan kriminal luar biasa (extra ordinary crime) yang dapat menganggu keamanan masyarakat.
Kolabarosi dan bantuan negara-negara lain terhadap bangsa ini dalam memecahkan barang baru bernama terorisme telah berhasil meningkatkan kapasitas aparat dalam membongkar fenomena terorisme. Dari proses tersebut terkuak misteri besar bahwa terorisme bukan sekedar persoalan aksi dan tindakan. Terorisme mengakar dari ideologi yang cukup kuat, anggota militan, jaringan kuat terorganisir dan dengan dukungan dana yang hebat.
Pelaku mulai tertangkap satu persatu. Jaringan pun mulai terbongkar dari domestik hingga global. Detkesi dini mulai mengupas dan menggagalkan rencana-rencana besar, walaupun tetap saja ada yang meleset dari prediksi. Intinya, Indonesia mulai dewasa dalam menangani terorisme. Namun, tersisa satu hal yang cukup menggelisahkan. Ideologi kekerasan tidak dapat dipadamkan dengan penangkapan dan jeruji besi.
Karena persoalan terorisme tidak sekedar aksi destruktif tetapi juga ideologi anarkis yang merusak akal sehat, penanganan terorisme dirasa tidak cukup dengan memangkas hilir masalah. Muncul pemikiran dengan menakar terorisme dengan pandangan luas sebagai fenomena kompleks dari hulu hingga hilir persoalan. Ada ideologi kebencian dan kekerasan disertai faktor yang tidak tunggal seperti kemiskinan, pendidikan, politik, balas dendam, hingga faktor kultural dangkalnya pemahaman keagamaan.
Pendekatan keras (hard approach) melalui penindakan semata dipandang bukan satu-satunya cara efektif dalam menyelesaikan persoalan terorisme. Indonesia membutuhkan satu bingkai dalam memecahkan puzzle penanganan terorisme. Pendekatan itu bernama pendekatan lunak (soft approach) dengan menekankan pencegahan dan melunturkan ideologi radikal dengan pendekatan kemanusiaan.
Langkah bangsa ini dimulai dengan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (2010) pada tahun 2010 sebagai lembaga yang mengkoordinasikan penanggulangan terorisme. Desakan berdirinya BNPT didasarkan pada dua fakta; 1) butuhnya pelengkap dalam penanganan terorisme dengan mengurai dan menangani hulu dan akar masalah, 2) butuhnya badan yang dapat mensinergikan berbagai kegiatan dan program penanggulangan terorisme yang selama ini parsial dan sektoral baik di level pemerintahan maupun civil society organization.
Langkah Indonesia dengan mencoba memanusiakan teroris dan mengurai akar masalah mendapat cibiran negara-negara lain. Indonesia dipandang remeh dengan konotasi “melunak” terhadap terorisme di saat kuatnya slogan “we don’t negotiate with terrorist”. Namun, apa yang dilakukan bangsa ini adalah dengan menekankan pada pendekatan korban. Baik pelaku maupun korban aksi terorisme adalah objek dari sebuah ideologi kekerasan yang merusak tatanan masyarakat. Korban aksi harus dipulihkan secara fisik dan mental dan pelaku juga harus disembuhkan dari ideologi.
Hasilnya tentu saja tidak bisa dilihat secara instan sebagaimana proses radikalisasi juga tidak membutuhkan proses yang panjang. Dunia pun mulai melunak dengan pendekatan lunak bangsa Indonesia. Beberapa negara mulai tertegun, mengakui dan belajar dari pola kombinasi pendetakan keras dan lunak yang diperagakan bangsa ini.
Namun, Indonesia mempunyai PR yang cukup besar. Melawan ideologi kekerasan yang menyerang pemikiran masyarakat dari berbagai aspek kehidupan memerlukan energi yang besar. Aspek pendekatan lunak dan pencegahan yang digadang sebagai garda terdepan penanggulangan terorisme membutuhkan tidak saja kebersamaan tetapi juga kerjasama. Pendekatan lunak yang besifat semesta dengan melibatkan seluruh komponen bangsa masayarakat ternyata menjadi kunci utama suksesnya penanggulangan terorisme di Indonesia.
Pendekatan lunak saja tidak cukup. Negara-negara Timur tengah juga menerapkan hal yang sama dalam melakukan program deradikalisasi. Namun, kekuatan bangsa ini terletak pada karakter gotong royong yang bersifat semesta dalam menanggulangi terorisme. Kebijakan pemerintah diimplementasikan sebagai arus utama program yang dijalankan baik kementerian maupun masyarakat.
Seluruh komponen bangsa berperan aktif dan terlibat dalam menjaga pekarangan lingkungannya agar tidak terserang virus ideologi radikal terorisme. Menjaga lingkungan sekitar dari ancaman aksi dan ideologi merupakan konsep semesta dalam melawan terorisme. Dalam bahasa lain, koordinasi lintas kementerian dan sinergi pemerintah dan masyarakat merupakan kekuatan besar bangsa ini dalam menanggulangi terorisme dengan pendekatan lunak yang menyentuh akar masalah.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…