Thaghut berasal dari bahasa Arab (Thogha) yang artinya melebihi atau melampaui batas. Sesuatu jika melewati batas kapasitasnya maka disebutkan Thogha. Syetan, berhala, tukang sihir disebutkan sebagai thaghut karena ia telah melewati batas-batas penciptaannya. Ia mengajak kepada manusia untuk menyembahnya dan memperbudak manusia itu sendiri tanpa memperhatikan bahwa yang berhak disembah dan yang paling berhak diikuti dan dipatuhi hanya Allah yang maha kuasa yang menciptakan segala apa yang ada di muka bumi dan di langit. Manusia yang telah melewati batas–batas kemanusiaannya dan melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan disebut juga sebagai thaghut, misalnya seseorang mengajak orang lain mematuhinya tanpa tujuan yang jelas dan menganiayanya sehingga orang itu sudah tidak lagi menyembah kepada Allah dan menjadikan orang itulah yang disembah sebagai tujuan maka manusia itupun dinamakan thogut.
Para wali, nabi dan rasul tidak bisa dikatakan sebagai thaghut karena mulai dari Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad Saw dan demikian pula nabi-nabi lainnya telah diutus oleh Allah SWT di muka ini untuk menyampaikan pesan-pesan Allah kepada umat manusia. Para utusan Tuhan tersebut tidak boleh dikatakan sebagai Thaghut karena mereka telah menjalankan fungsinya sebagaimana yang ditugaskan oleh Allah Swt untuk menyampaikan amanah yang dipikul yaitu mengajak umatmanusia untuk menyembah Allah yang maha satu dan menjalankan syariat-syariat Allah di muka untuk kebaikan dan kebahagian manusia itu sendiri di dunia dan di akhirat. Demikian pula para ulama-ulama sebagai pewaris Nabi sampai saat ini tidak boleh dianggap sebagai thaghut karena mereka itu telah menyampaikan pesan-pesan tuhan di muka bumi kepada umat manusia.
Saat ini istilah thaghut sangat lumrah didengar di tengah-tengah kita saat ini khususnya di kalangan kelompok-kelompok ekstrim dan radikal. Mereka menganggap bahwa pemerintah, pegawai negeri, aparat keamanan, para akademisi, ulama yang dianggap tidak menjalankan syariat Allah dan hukum-hukum Allah dianggap sebagai thaghut dan dihukum sebagai orang yang halal darahnya. Asumsi tersebut sangat bertentangan dengan makna-makna thaghut sebagaimana yang telah diuraikan oleh para ulama-ulama terdahulu dan masa kini.
Istilah thaghut tidak pantas ditempelkan kepada pemerintah beserta aparatur Negara lainnya karena mereka ini telah menjalankan amanah rakyat dan agama serta masyarakat yang sama sekali tidak bertentangan nilai-nilai dan tujuan agama itu sendiri. Pemerintah menjalankan tugas pembangunan, pengamanan, kesejahteraan masyarakat, kecerdasan bangsa dan lain-lain. Tugas yang dijalankan tersebut merupakan tujuan utama agama dan tidak ada satupun yang dilakukan oleh pemerintah atau ulama atau para akademisi yang mengajak kepana kekufuran kepada Allah, bahkan sebaliknya justru menjalankan intisari dan nilai-nilai hakehat agama itu sendiri.
Memaksakan definisi thaghut secara serampangan terhadap pemimpin, dan para aparatur Negara yang sejatinya telah mencurahkan tugas kepemimpinannya sesuai dengan ajaran agama demi kesejahteraan masyarakat adalah justru masuk kategori sikap yang melampaui batas (thogha). Karena itulah, labelisasi Thaghut kepada mereka sangatlah bertentangan dengan makna thaghut itu sendiri. Semoga kita selalu dilindungi dari sikap yang terbiasa menghukumi manusia secara berlebihan.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…