Narasi

Membaca Efek Domino Kemenangan Hayat Tahrir al-Sham di Suriah terhadap Kebangkitan Radikalisme di Indonesia

Kemenangan kelompok oposisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dalam menggulingkan Presiden Suriah, Bashar al-Assad, telah memunculkan euforia di sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Namun, di balik euforia tersebut, tersimpan potensi ancaman yang perlu diwaspadai. HTS, yang merupakan faksi pecahan dari jaringan teroris Al Qaeda, bukanlah sekadar kelompok oposisi biasa. Kelompok ini memiliki ideologi radikal yang secara historis terbukti menjadi ancaman bagi stabilitas global. Oleh karena itu, kemenangan mereka di Suriah dapat menjadi alarm buruk, terutama bagi Indonesia yang juga menghadapi radikal-terorisme.

HTS bukanlah aktor baru dalam lanskap terorisme global. Kelompok ini lahir dari faksi Al-Nusra, yang sebelumnya merupakan cabang resmi Al Qaeda di Suriah. Setelah memisahkan diri dari Al Qaeda, HTS berupaya memposisikan dirinya sebagai kekuatan dalam perjuangan melawan rezim Assad. Namun, ideologi mereka tetap berakar pada ekstremisme dan penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik. Dalam konteks ini, kemenangan HTS tidak hanya memberikan legitimasi baru bagi kelompok tersebut, tetapi juga menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok radikal lainnya di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Sejak konflik Suriah pecah pada 2011, banyak warga Indonesia yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam perang tersebut. Beberapa individu bergabung dengan kelompok-kelompok seperti ISIS dan Al-Nusra, sementara yang lain mendukung perjuangan mereka melalui propaganda dan penggalangan dana. Dengan tumbangnya rezim Assad, ada kekhawatiran bahwa kelompok-kelompok ini akan melihat kemenangan HTS sebagai peluang untuk memperkuat jaringan mereka di Indonesia. Lebih dari itu, narasi kemenangan tersebut dapat digunakan untuk merekrut anggota baru dan memobilisasi dukungan di Indonesia.

Indonesia sendiri memiliki pengalaman pahit dalam menghadapi ancaman terorisme. Serangkaian serangan bom mengerikan, mulai dari Bom Bali pada 2002 hingga serangan di Jakarta pada 2016, menunjukkan bagaimana ideologi radikal dapat memanifestasikan diri dalam bentuk kekerasan yang dapat merugikan banyak pihak. Ancaman ini tidak hanya merugikan keamanan nasional, tetapi juga mengancam harmoni sosial dan keberagaman budaya yang menjadi fondasi negara ini. Oleh karena itu, kemenangan HTS harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu sebagai peringatan bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi kebangkitan radikalisme di Indonesia.

Salah satu cara HTS memanfaatkan kemenangan mereka adalah melalui propaganda digital. Dalam era media sosial, narasi kemenangan dapat dengan mudah menyebar lintas negara dalam hitungan detik. Video-video yang beredar di Indonesia, seperti yang disoroti oleh Najih, menunjukkan betapa efektifnya kelompok-kelompok radikal dalam memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan ideologi mereka. Media sosial tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk merekrut anggota baru, menggalang dukungan finansial, dan menyebarkan pesan-pesan propagandis kepada seluruh umat muslim dunia.

Selain itu, munculnya HTS sebagai kekuatan baru di Suriah dapat menjadi inspirasi bagi kelompok-kelompok radikal di Indonesia untuk menghidupkan kembali agenda mereka. Selama ini, banyak kelompok radikal di Indonesia yang cenderung stagnan akibat tekanan dari aparat keamanan. Namun, kemenangan HTS dapat memberikan mereka harapan baru dan motivasi untuk melanjutkan perjuangan mereka. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah, terutama dalam memastikan bahwa kelompok-kelompok ini tidak mendapatkan ruang.

Kemenangan HTS di Suriah adalah pengingat bahwa ancaman radikalisme tidak mengenal batas geografis. Ideologi ekstremis dapat dengan mudah menyebar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia, melalui propaganda dan jaringan terorisme internasional. Oleh karena itu, kewaspadaan dan tindakan preventif adalah kunci untuk menjaga keamanan. Dan memastikan bahwa kemenangan kelompok radikal HTS di Suriah tidak menjadi awal dari kebangkitan radikalisme di Indonesia yang selama ini kita lawan secara keras.

L Rahman

Recent Posts

Tabayyun sebagai Kearifan untuk Menghadapi Propaganda

Pergesekan antar ormas (organisasi kemasyarakatan) yang terjadi di Pemalang, serta konflik senjata yang terjadi antara…

10 jam ago

Waspada Karakter Fasik di Era Digital: Menyaring Informasi, Menyelamatkan Persatuan

Di era digital yang dibanjiri informasi, sikap kehati-hatian dan bijak menjadi kebutuhan pokok. Bayangkan, setiap…

11 jam ago

Kekeliruan Istilah Ulama “Pribumi” vs Ulama “Impor”

Wacana yang memisahkan ulama menjadi “pribumi” dan “impor” adalah konstruksi sosial yang lemah secara historis…

11 jam ago

Anak dalam Jejaring Teror, Bagaimana Menghentikan?

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…

3 hari ago

Peran Penting Orang Tua dalam Melindungi Anak dari Ancaman Intoleransi Sejak Dini

Di tengah era digital yang serba cepat dan terbuka, media sosial telah menjadi arena bebas…

3 hari ago

Ma-Hyang, Toleransi, dan Kesalehan dalam Kebudayaan Jawa

urip iku entut gak urusan jawa utawa tionghoa muslim utawa Buddha kabeh iku padha neng…

3 hari ago