Narasi

Membanjiri Media Sosial dengan Pesan Damai; Role Model Positif untuk Generasi Z

Di era digital, proxy war merupakan strategi murah dan efektif untuk memecah belah kerukunan bangsa. Konten berisi ujaran kebencian, hujatan, dan fitnah adu domba membuat jagad maya penuh dengan kebencian. Tidak berhenti di sini saja, kebencian di dunia maya juga rentan berlanjut di dunia nyata. Konsekuensinya adalah, sedikit ujaran kebencian di dunia maya dapat merusak kerukunan kehidupan berbangsa.

Generasi Z yang juga disebut digital native menghabiskan 79% waktunya untuk mengakses internet setiap hari (Supratman, 2018). Digital native sangat antusias berkomunikasi melalui media sosial, untuk berbagai tujuan. Mereka mencari informasi, mendapatkan hiburan, dan rujukan melalui internet. Apakah ini merupakan suatu hal yang sehat? Padahal, internet tidak selalu menyediakan informasi secara benar. Mutakhir, bertebaran ujaran kebencian, hoaks, dan informasi ‘sampah’ yang dapat meracuni mental generasi muda.

Penting bagi kita untuk mengkampanyekan stop ujaran kebencian di dunia maya. Jika perlu, kita perlu meramaikan dunia maya dengan ujaran perdamaian untuk membangun perdamaian. Mengapa hal ini efektif? Sebelum meramaikan dunia maya dengan ujaran kebencian, individu perlu mengisi mental set dengan pikiran positif, ujaran perdamaian, dan hati yang siap menerima perbedaan, serta bertoleransi.

Baca juga : Mengikis Viralitas Kebencian Lewat Logika Bercanda

Tidak hanya sebagai bagian dari sistem informasi, internet telah menjadi semacam way of life yang tak dapat dielakkan. Sebagai manusia yang tak bisa lepas dari budaya, maka anak-anak pun tumbuh menjadi digital netive yang amat lekat dengan gawai. Dekat dengan gawai tidaklah selalu buruk. Hanya saja, ada konsekuensi logis, di antaranya berterbaran informasi hoaks, ujaran kebencian, dan berita sampah.

Banyaknya informasi hoaks yang tersebar di media sosial instagram, menuntut individu untuk bijak memilih informasi yang akurat. Dalam kondisi kemampuan literasi media pada pemustaka, menyaring informasi yang valid bukanlah hal yang mudah. Kemampuan literasi media merupakan elemen penting dalam bersosial media (Kurnia, dkk 2018). Pengguna internet, utamanya digital native perlu aktif dalam memfilter berita provokatif. Jangan sampai, kita mudah termakan fitnah dan hujatan, sehingga pengaruh negatif ujaran kebencian tidak merasuk dan meracuni pikiran.

Ujaran perdamaian di dunia maya menjadi role model bagi anak-anak muda dan pengguna internet lainnya untuk termotivasi menyemarakkan dunia maya dengan ujaran yang damai dan menyejukkan. Kondisi semacam ini memungkinkan anak-anak tunas bangsa tumbuh menjadi pribadi yang mampu membangun dan menggabungkan informasi, sehingga diharapkan dapat membangun sikap-sikap positif digital native di dunia maya. Muaranya, internet dapat dimanfaatkan  sebagai media baru untuk mengakses, membagikan, dan bahkan menulis konten yang bermutu dan bermanfaat.

Sebagaimana di dunia nyata, anak-anak membutuhkan contoh positif di dunia maya. Anak-anak belajar dengan cara mengamati. Terlebih, para digital mative memiliki tingkat perhatian yang tinggi terhadap konten di dunia maya. Modelling,  merupakan salah satu cara efektif untuk mengajarkan anak memproduksi perilaku positif di dunia maya. Maka, salah satu cara efektif untuk mengajarkan ujaran perdamaian adalah, menjadi contoh dengan menuliskan konten perdamaian di dunia maya.

Perang melawan ujaran kebencian hanya bisa dilawan dengan memperbanyak ujaran perdamaian di dunia maya. Ibda binafsik! Memulai dari diri, dan memulai saat ini, merupakan stratategi yang ‘soft’ untuk mewujudkan Indonesia damai. Jika anak-anak banyak mengakses konten perdamaian, maka mental set mereka akan berisi hal yang damai dan toleran. Muaranya, hal ini akan berimbas pada semangat untuk memunculkan afek perdamaian untuk diri, keluarga, dan masyarakat. Mari, biasakan meramaikan dunia maya dengan ujaran (tulis) yang positif. Wallahu’alam.

Nurul Lathiffah

Konsultan Psikologi pada Lembaga Pendidikan dan Psikologi Terapan (LPPT) Persona, Yogyakarta.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago