Salah satu karakter kelompok radikal pengusung khilafah adalah gemar mencomot ayat Alquran dan hadist secara serampangan demi menjustifikasi keyakinan mereka. Ada dua hadist yang kerap dikutip oleh para khilafahers. Pertama, hadist tentang datangnya mujaddid alias pembaharu sebagai penerus Rasulullah dalam setiap periode seratus tahun sekali.
Redaksi lengkap hadist itu berbunyi, “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seseorang yang memperbaharui agamanya”. Hadist yang diriwayatkan Abu Daud itu sesungguhnya berbicara tentang pembaharu dalam keilmuan. Dan, periode satu abad itu dihitung dari wafatnya Rasulullah.
Namun, entah mengapa oleh para khilafahers, makna mujaddid dalam hadist itu dibelokkan tafsirnya menjadi pemimpin politik. Dan periodisasi 100 tahun itu diditung dari sejak jatuhnya kekhalifahan Turki Usmani.
Kedua adalah hadist populer yang berbunyi “barang siapa yang mati tanpa (berbaiat) imam, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah”. Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Asim dan Ibnu Hibban. Yang dimaksud berbaiat pada pemimpin dalam konteks hadist tersebut adalah tunduk dan patuh pada ulil amri atau pemerintahan yang sah dan diakui umat tanpa paksaan.
Lagi-lagi, makna hadist itu pun diselewengkan oleh para khilafahers. Mereka dengan sembarangan menafsirkan istilah baiat dengan tunduk pada sistem khilafah. Dari sinilah muncul narasi bahwa siapa yang tidak sepakat dengan ide khilafah, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah.
Menggugat Doktrin ISIS dan HTI Ihwal Baiat pada Khilafah
Pemahaman ini pula yang melahirkan doktrin sesat Hizbut Tahrir (HT) dan ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang menuding semua sistem selain khilafah itu jahiliyyah. Jadi, semua paham di dunia ini, mulai nasionalisme, sekulerisme, sosialisme-komunisme itu dikategorikan jahiliyyah.
Doktrin HT bahwa semua paham selain khilafah itu jahiliyyah cenderung problematik. Di satu sisi, kita harus memaknai kembali apa itu jahiliyyah. Jika merujuk pada latar historis, istilah jahiliyyah dalam Islam lebih merujuk pada kondisi masyarakat yang terbelakang secara pendidikan, kebudayaan, pengetahuan, dan sejenisnya.
Dalam konteks masyarakat Arab pra-Islam, yang dimaksud jahiliyyah adalah keterbelakangan dalam hal budaya dan etika. Seperti minimnya penghargaan terhadap perempuan, kegemaran berperang sebagai jalan menyelesaikan persoalan, dan tingginya fanatisme kesukuan (tribalisme).
Artinya, makna jahiliyyah sebenarnya tidak pernah merujuk pada kondisi politik. Namun, oleh para khilafaher, istilah jahiliyyah dibelokkan maknanya ke dalam tafsir yang politis. Yakni bahwa tidak ada sistem lain yang sesuai ajaran Islam kecuali khilafah. Doktrin yang demikian ini jelas menyesatkan umat.
Salah-Kaprah Labelisasi Jahiliyyah
Labelisasi jahiliyyah yang disematkan pada kalangan yang menolak paham khilafah bisa menjadi validasi atas tindakan kekerasan dan teror. Seperti kita lihat, sasaran teror belakangan ini justru mengarah ke aparat keamanan (kepolisian) yang dicap sebagai antek kekuasaan thaghut. Dalam konteks yang lebih luas, labelisasi jahiliyyah pada penolak khilafah juga rawan mendistorsi dinamika pemikiran Islam.
Bagaimana tidak? Sejarah Islam dari klasik hingga modern diwarnai oleh beragam pemikiran dan filsafat politik yang begitu kaya. Coba lihat perdebatan ihwal sistem politik di kalangan ulama di era Abad Pertengahan Islam. Sejumlah ulama sepakat dengan konsep khilafah. Sebut saja misalnya Al Mawardi.
Namun, ada pula sejumlah filosof muslim yang lebih menyukai sistem republik seperti Yunani. Ibn Rusyd misalnya dalam kitabnya Almadinah Alfadilah bahkan menyebut kriteria pemimpin yang sempurna adalah gabungan antara nabi dan filosof. Dialektika keilmuan itu tidak akan pernah ad ajika semua yang menolak khilafah dicap jahiliyyah.
Pesan pentingnya dalam konteks ini adalah bagaimana umat Islam memiliki literasi keagamaan yang kuat. Meliputi literasi tekstual (Alquran, hadist, dan tafsirnya) serta literasi sejarah. Hal ini penting agar umat memahami betul dinamika politik dunia Islam sejak era Rasulullah, khulafaurrasyidun, kekhalifahan hingga era negara-bangsa seperti sekarang.
Literasi tekstualistik dibutuhkan agar umat tidak mudah disesatkan oleh tafsir kelompok radikal yang manipulatif dan oportunistik. Literasi tekstual memungkinkan umat untuk tidak mudah terkecoh dengan pelintiran penafsiran kaum radikal.
Sedangkan literasi sejarah penting untuk memahami alur peradaban dunia Islam terutama dalam politik dan pemerintahan. Dengan memahami sejarah, umat akan paham bahwa sistem pemerintahan ala khilafah di masa lalu tidak turun begitu saja dari langit atas kehendak Tuhan. Khilafah adalah proses kesejarahan yang panjang dan dinamis yang harus diakui mustahil diduplikasi di era sekarang.
This post was last modified on 11 Januari 2024 3:36 PM
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…
Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…
Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…
“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…
Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…