Narasi

Dunia, Perca-Perca Kuasa, dan Hilirisasi

Pada tahun ’68 terjadi sebuah peristiwa “kecil” yang senyatanya cukup berdampak besar. Peristiwa itu adalah revolusi ’68 yang terjadi di Perancis. Ketika kini orang ramai berwacana tentang dunia yang multipolar, pada dasarnya pergeseran paradigma yang mendasari keadaan semacam itu telah diawali oleh adanya trend dan tuntutan akademik untuk tak lagi pongah akan spesifikasi pengetahuan dan keahlian yang dikuasai. Pada era inilah apa yang orang kenal dengan pendekatan-pendekatan lintas-bidang menunjukkan batang hidungnya untuk pertama kalinya.

Dunia, dalam tilikan era itu, tak lagi “satu dan sama” sebagaimana tangkapan para pecandu modernisme. Sebab, secara politis, pertanyaan agung yang lazim kumandang dalam tangkapan modernistik semacam itu adalah satu dan sama bagi siapa. Dan jawabannya selalu saja adalah “Barat,” “putih,” atau bahkan “Utara.”

Sebelum revolusi ’68, di balik tangkapan-tangkapan, gambaran-gambaran ataupun lukisan tentang dunia sejauh ini adalah dunia “Barat,” yang dihuni oleh kaum “putih,” dan yang berada di wilayah “Utara.” Sedangkan yang dibungkam dan dipendam secara epistemologis, didominasi secara politis, dan dihisap secara ekonomis adalah dunia “Timur,” “Non-putih,” dan “Selatan.”

Itulah yang sebenar-benarnya terjadi di balik relasi kuasa-pengetahuan sebelum letusan revolusi ’68 di Perancis. Pasca ’68 dunia tak lagi dipandang seperti dalam relasi tuan-budak (Hegel), borjuis-proletar (Marx), dan demokrasi-tirani (liberalisme-kapitalisme). Sebab, merujuk pada logika Derrida, ternyata sang tuan tak lebih berkuasa dari sang budak, sang borjuis tak lebih mewah dari sang proletar, dan demokrasi tak lebih bebas dari tirani.

Gerakan-gerakan pembebasan pun tak lagi berlatar “kehendak umum” seperti dalam tilikan Jean-Jacques Rousseau. Keinginan untuk bebas menjadi berjalan dan berlangsung secara partikular, tak lagi dapat dirangkum dan diwakili oleh satu kepentingan universal laiknya yang terjadi pada logika partai-partai politik, ideologi-ideologi modern, dsb.

Dengan demikian, pada dasarnya setiap angan yang menginginkan sebentuk ilusi-ilusi modern seperti penyatuan, khilafah, pan-islamisme di masa lalu, komintern (persatuan negara-negara komunis) di masa lalu, hanyalah angan yang berlalu tanpa adanya pijakan paradigma. Dengan kata lain, masanya—karena paradigmanya sudah bergeser—sudah lama usai. Seandainya pun terdapat keinginan-keinginan seperti itu sudah pasti akan terbentur oleh suatu keadaan dimana paradigma yang mendasarinya sudah nyata menang dan berlangsung sejak lama. Tak akan ada perubahan tanpa adanya perubahan paradigma, dan tentu saja perkara paradigma adalah perkara yang butuh berabad-abad waktu untuk fixed.

Kisah tumbuh dan tumbangnya berbagai ideologi yang pernah mampir di Indonesia adalah bukti akan perlunya pergeseran paradigma itu ketika orang menginginkan sebuah perubahan. Dan pergeseran paradigma, kata Thomas Kuhn, adalah soal pergeseran yang tak hanya terjadi pada satu bidang belaka. Maraknya fenomena jambang dan celana cingkrang, misalnya, tak otomatis bahwa daulah islamiyah atau bahkan khilafah akan tegak pula di republik atau bahkan Bumi ini.

Dengan demikian, atas dasar tilikan di atas, hubungan internasional atau relasi antar-negara di tengah dunia yang multipolar pada dasarnya tak akan pernah berlandaskan pada “kehendak umum” atau kepentingan-kepentingan agung yang terbukti tak lagi sesuai zaman. Dengan kata lain, mengolah kepentingan sendiri (nasional) adalah jelas lebih mendesak daripada mengolah kepentingan yang lain. Dengan menindaklanjuti atau mengolah kepentingan yang lain belum tentu kepentingan sendiri dapat tercapai, namun dengan menindaklanjuti atau mengolah kepentingan sendiri bisa jadi kepentingan yang lain juga akan ikut tercapai. Sekali pun tidak, yang demikian itu jelas-jelas tak akan menyebabkan tertelan kerugian.

Maka, kembali dengan memakai logika multipolaritas, apa yang kini ramai didengungkan soal “hilirisasi” adalah sebuah konsep dan kebijakan yang sesuai dengan zaman, seturut dengan pergeseran-pergeseran paradigma yang sudah lama terjadi di dunia global. Relasi yang sehat, di tengah dunia yang multipolar, adalah relasi-relasi yang organik dari yang bahkan pun bertentangan dimana “aku” tak akan lenyap pada “kita.”      

This post was last modified on 11 Januari 2024 3:35 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Negara dalam Pandangan Islam : Apakah Sistem Khilafah Tujuan atau Sarana?

Di dalam fikih klasik tidak pernah dibahas soal penegakan sistem khilafah, yang banyak dibahas adalah…

8 jam ago

Disintegritas Khilafah dan Inkonsistensi Politik Kaum Kanan

Pencabutan izin terhadap Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam ternyata tidak serta merta meredam propaganda khilafah dan wacana…

11 jam ago

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya,…

13 jam ago

Spirit Kenaikan Isa Al Masih dalam Menyinari Umat dengan Cinta-Kasih dan Perdamaian

Pada Kamis 9 Mei 2024, diperingati hari Kenaikan Isa Al Masih. Yakni momentum suci di…

13 jam ago

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

2 hari ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

2 hari ago