Narasi

Membongkar Sekolah Pemikiran Radikalisme

Judul di atas sengaja tidak menggunakan istilah pendidikan. Karena pendidikan selalu dan terus menerus mengarahkan anak didik untuk mampu mengatasi masa depan berikut segala problem yang ada. Pendidikan menitikberatkan anak didik untuk menjadi dirinya sendiri tanpa adanya doktrin masa lalu yang kaku. Ajaran-ajaran agama merupakan panduan untuk menatap masa depan, demi kehidupan yang lebih layak.

Berbeda dengan pendidikan, sekolah, minimal menurut saya pribadi, tidak hanya berisi pendidikan tapi juga pelajaran. Dalam sekolah anak didik didikte menjadi seperti apa yang diharapkan sekolah. Anak didik tidak boleh tidak harus sesuai dengan kehendak sekolah. Hampir tidak ditemui sebuah sekolah yang berusaha menyesuaikan dengan anak didik. Guru menjadi titik sentral kepatuhan yang tidak bisa diganggu gugat.

Nah, dalam sekolah radikalisme juga begitu. Anak didiknya terdiri dari tingkat anak-anak hingga orang tua. Dalam sekolah ini hanya ada dua peraturan; kepatuhan dan ketaatan kepada pemimpin radikal. Sungguh tidak diperkenankan seorang anak melanggar aturan ini. Jika membangkang maka ada dua jalan; dibunuh atau dicuci otaknya hingga menjadi boneka yang selalu nurut pada pemimpin. Pembangkangan bisa dilakukan oleh yang muda maupun yang tua. Oleh karenanya, di negara-negara Timur Tengah, tidak sedikit tokoh agama yang dibunuh karena pembangkangan ini.

Di Indonesia, memang belum sampai dibunuh tapi kiai-kiai yang tidak sesuai aturan main mereka akan dihujat hingga ke liang lahat. Sebuat saja misalnya, bagaimana penghinaan dan penghujatan terhadap alm. Gus Dur. Seorang tokoh agama yang dihormati banyak umat baik seagama atau pun tidak dihardik hingga saat ini sekali pun sudah meninggal. Hal ini karena sekolah radikalisme tidak memandang orang berpengaruh dan dihormati atau tidak, jika melanggar maka akan mendapatkan sangsi berupa hujatan dan hinaan atau bahkan pembunuhan.

Sekolah radikalisme tidak memiliki ruang kelas sebagaimana sekolah pada umumnya. Mereka justru menganggap dunia ini merupakan ruang kelas untuk memantau seluruh siswa yang ada. Tidak ada sekat wilayah dalam sekolah radikalisme. Maka wajar, pembantaian sadis di Timur Tengah diangkut ke negara lain sebagai pembelajaran bagi siswa lain. Begitu juga pembangkangan di negara manapun akan segera diakui bahwa merekalah pelakunya. Karena itu tadi, dunia ini hanya milik Tuhan mereka. Tepatnya, Tuhan yang dipersepsi salah oleh pemikiran mereka.

Dalam sekolah radikalisme, sebenarnya mata pelajarannya cuma satu; tidak ada kebenaran di luar dirinya. Karena menurutnya kebenaran hanya milik mereka yang konon sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini. Tidak ada kebenaran lain di luar dirinya. Orang yang berseberangan dengan mereka dianggat sesat dan kafir yang layak dan harus dibunuh. Jargon“halal darahnya” selalu terpampang di bibirnya setiap bertemu dan berhadapan dengan orang yang menentang pemikirannya.

Kebenaran agama yang mereka usung berbeda dengan kebanyakan para ulama. Jika bagi ulama dan kiai, agama itu santun dan ramah, maka bagi mereka agama itu penuh dendam dan murka. Tidak ada sopan santun yang ditampilkan baik dalam berbicara maupun dalam bertingkah. Oleh karenanya, mereka sangat mencintai darah dan kematian. Beberapa orang yang terluka akibat ulahnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi dirinya.

Sangat berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Kesantunan dan kesopanan Nabi dikagumi banyak orang termasuk orang yang tidak beriman kepadanya. Sebaliknya, keberingasan dan keganasan mereka juga diakui oleh banyak orang. Santun dan sadis tidak bisa disamakan.

Karena perbedaan dengan Nabi itulah, pada hakekatnya guru dan seluruh pengurus sekolah radikalisme merupakan orang-orang yang tidak paham agama. Mereka hanya mencatut nama Islam tapi tidak paham islam. Itulah mengapa dalam diri mereka yang lebih dominan adalah terjemahan bukan teks aslinya. Yang dimaksud al Qur’an oleh mereka adalah terjemahannya bukan al Qur’an yang berbahassa arab itu. Karena mereka kurang atau tidak memahami sama sekali bahasa arab walaupun dalam keseharian selalu tampak kearab-araban. Padahal semua orang paham, al Qur’an dan terjemahannya jauh berbeda dan tidak bisa disamakan. Tapi begitulah kedangkalan agama mereka

 

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

View Comments

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

14 jam ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

14 jam ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

14 jam ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

14 jam ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

4 hari ago