Narasi

Membumikan Falsafah Bangsa Melalui Rumah Ibadah

Termasuk sebuah ancaman serius jika seorang warga negara tidak memahami falsafah bangsanya. Bagaimana tidak, falsafah bangsa merupakan jati diri kita, yang tanpanya entah jadi apa kepulauan ini. Boleh jadi, hancur lebur oleh konflik yang kompleks; saling bunuh, jarah, tindas, dan kengerian lainnya.

Juga ironis jika ada warga negara yang mengaku beragama, tapi menolak sistem negara-bangsa. Padahal, sudah jelas termaktub dalam Pancasila, bahwa negara ini menjamin eksistensi agama-agama, tanpa mendiskreditkan pemeluk agama tertentu. Karena, semangat yang dikobarkan para Bapak Bangsa, adalah persatuan, dan pondasinya, adalah perbedaan. Karena mereka mafhum, bahwa beda itu niscaya, dan mempersatukan perbedaan adalah prasyarat menuju peradaban damai-tentram-sejahtera. Siapa orangnya yang tak ingin hidup damai-tentram-sejahtera? Tentu tak ada!

Para pemeluk agama di negara-bangsa Indonesia mesti menyepakati perdamaian di atas segala. Tidak merasa lebih unggul dibanding pemeluk agama lainnya. Buang jauh-jauh sikap dan laku inferior dan superior. Karena dihadapan Tuhan, kita adalah sama. Dan di hadapan kehidupan, kita juga sama-sama butuh pengakuan dan jaminan keamanan.

Menteri Agama Lukman Hakim dalam kompas.com mengatakan, bahwa ada lima isu dalam bidang agama yang kini sedang menjadi perhatian pemerintah, yang salah satunya kesemuanya berpotensi konflik. Isu-isu tersebut adalah aspirasi pemeluk kepercayaan di luar agama resmi yang ingin dijamin keamanannya dalam melakukan ritual mereka; pendirian ruamh ibadah; gerakan keagamaan baru yang terus meningkat; kekerasan antar umat beragama; dan penafsiran sempit atas teks agama.

Terutama berkaitan dengan kekerasan antar umat beragama dan penafsiran sempit teks agama, sejarah bangsa dengan murung bahkan merintih telah mencatat dengan cermat. Bahwa hanya kaarena perbedaan keyakinan, nyawa melayang dan pemeluk kepercayaan minoritas tersingkir dari kampung halaman. Hanya karena penafsiran atas teks agama yang berbeda, seseorang dengan mudah mengkafirkan liyan dan merasa hanya dirinyalah yang benar. Hal ini terus bergulir, seiring gampangnya akses internet –yang telah mampu mereduksi makna teks-teks agama. Belum lagi ‘pakar agama’ dadakan, yang hanya bermodal keberanian dan satu-dua hapalan hadits, namun diminati warganet yang awam.

Baca juga : Refleksi Sejarah; Persaudaraan Indah dari Rumah Ibadah

Kesadaran pemeluk agama-agama menjadi kunci untuk meminimalisir gagal paham seseorang dalam mempelajari teks agama. Baik itu Islam, Kristen, Budha, maupun pemeluk kepercayaan, mesti bersatu mengupayakan perdamaian. Benar bahwa masing-masing agama punya konsep teologis yang berbeda-beda, namun dalam titik tertentu, memiliki semangat bersama, katakanlah kemanusiaan. Atau dalam konteks negara-bangsa, setiap agama mengajarkan arti penting nasionalisme untuk mempertahankan negara, untuk memastikan ritual dan aktivitas agama-agama bisa berlangsung dengan aman.

Bumikan Falsafah Bangsa melalui Rumah Ibadah

Setiap agama memiliki rumah ibadah masing-masing yang secara rutin digunakan untuk berkumpul, dan sebagian ritual dilakukan secara kolektif. Pun, dalam ritual tersebut, tak jarang dibuka mimbar khutbah, yang digunakan untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama, untuk memenuhi kebutuhan batin pemeluknya.

Mengingat isu-isu yang disebut Menteri Agama, agaknya pemeluk agama menyadari peran masing-masing. Mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat masyarakat hidup damai, dengan mendidik mereka melalui mimbar-mimbar rumah ibadah.

Disadari atau tidak, pemeluk agama yang taat cenderung lebih mengenal narasi agama –karena disampaikan berulang-ulang dan intensif- ketimbang falsafah negara-bangsa. Hal itu tidak salah, tapi mengingat penyempitan penafsiran teks agama yang kian menggila, hanya memahami (tafsir) agama (yang sempit) saja tidak cukup; bahkan berpotensi memunculkan konflik. Sementara falsafah negara-bangsa seolah terletak di menara gading, yang sulit dijangkau orang kebanyakan. Jangankan mengamalkan, wong paham saja tidak, kenal juga belum. Karena itu, menjadikan rumah ibadah sebagai media untuk mengenalkan falsafah negara-bangsa amat perlu dilakukan, untuk secara perlahan mengikis pemahaman ekstrim yang bercokol di sementara kaum beragama. Bahwa Pancasila sebagai falsafah negara-bangsa, tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun. Nilai-nilai universal Pancasila sejalan dengan perjuangan agama dalam melawan penindasan di bumi, lalu menaburinya dengan bunga perdamaian.

Melalui rumah ibadah, mari, pemeluk agama apapun, kita bumikan falsafah bangsa. Sehingga, bisa menjadi pandangan hidup masyarakat Indonesia –dari berbagai latar keyakinan keagamaan.

This post was last modified on 21 Februari 2019 12:46 PM

Latifatul Umamah

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

22 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

23 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

23 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago