Narasi

Membumikan Toleransi dalam Segala Sikap dan Tindakan di era pandemi!

Saya sepenuhnya kurang setuju, jika dimensi toleransi hanya stagnan pada pranata sosial yang sekadar “menghargai” appreciate. Tetapi acuh terhadap segala hal, seperti: don’t care about other people.  Karena dengan demikian, toleransi justru hanya menjadi semacam “tembok pemisah”. Membuat kita menjadi manusia yang berjarak dan selalu menitikberatkan pada persoalan individual (egois).

Karena pada prinsipnya, toleransi sebetulnya perlu meniscayakan ke dalam segala sikap dan tindakan kita. Membumi menjadi karakter diri dan saya kira perlu menjadi kebiasaan publik (kultur sosial). Yaitu dengan meniscayakan sikap dan tindakan yang lebih peduli care, terbuka self-disclosure dan saling mengerti dalam segala keadaan understanding each other.

Sehingga, dengan cara seperti inilah, sebetulnya pranata sosial kita justru lebih solid dan reflektif satu sama lain dalam segala hal. Termasuk menghadapi musibah pandemi secara bersamaan. Berdasarkan sikap dan tindakan yang mengacu ke dalam kesadaran toleransi tersebut.

Maka, dari analisis pemahaman yang semacam ini, saya cukup tertarik untuk membumikan toleransi yang tidak hanya sekadar bergulir dalam ranah pemahaman saja. Tetapi lebih (membumi). Artinya, toleransi perlu menjadi semacam kultur kita dalam segala sikap dan tindakan . Utamanya di era pandemi ini.

Karena memang pada prinsip-nya lagi, kenyataan sosial di tengah pandemi ini tidak hanya sekadar meniscayakan musibah yang mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa saja. Tetapi justru menjadi fenomena yang begitu kompleks, melebar ke mana-mana dan bahkan begitu banyak aktor-aktor “penunggang gelap” yang memanfaatkan situasi dan kondisi yang kita alami saat ini.

Misalnya, kita mungkin menyadari bahwa penularan dan penyebaran pandemi covid-19, justru berdampak buruk terhadap aspek ekonomi masyarakat. Hingga mengalami krisis dan kekurangan. Di tengah kondisi yang semacam inilah, kadang para “penumpang gelap” justru memanfaatkan kondisi tersebut untuk memprovokasi masyarakat dalam melakukan tindakan anarkis, membangkang dan bahkan bisa saja terpengaruh dengan narasi radikalisme di era pandemi.

Sehingga, ketika kita tidak memiliki sikap dan tindakan (toleransi) yang membumi dalam diri. Utamanya di tengah keadaan yang semacam ini, niscaya kita akan mudah termakan narasi-narasi provokatif yang semacam itu. Artinya, kita akan rapuh di tengah keadaan yang semacam ini. Mudah tersulut api dengan berbagai macam keburukan. Karena kesadaran kita yang telah terobsesi untuk bertindak intoleransi tersebut.

Maka dari situlah, pentingnya untuk membumikan sikap dan tindakan toleransi di era pandemi. Agar kenapa? Agar kita bisa mampu melihat kenyataan, keadaan dan situasi yang kita alami dengan sikap dan tindakan yang terbuka, berempati, mampu memahami dan tidak mudah memiliki kesadaran yang egois, pesimis dan maunya sendiri.

Karena kita perlu menghargai keadaan yang kita hadapi ini. Dalam pemahaman yang kontekstual, daya toleransi kita berupa untuk bisa memahami. Yaitu dengan memahami bahwa taat prokes, menerima keadaan dengan lapang dada dan mengerti bahwa menjaga keselamatan jiwa itu penting. Niscaya kesadaran-kesadaran yang semacam inilah sebetulnya yang perlu kita bangun. Pun itu adalah manifestasi toleransi yang nyata.            

Oleh sebab itu, kita perlu membumikan toleransi dalam segala sikap dan tindakan kita di era pandemi. Artinya, kita perlu memahami dan mengerti bahwa keadaan ini perlu kita lewati bersama dengan tabah. Kita perlu menyadari bahwa menaati segala protokol kesehatan adalah jalan kita menjaga keselamatan jiwa. Serta kita perlu menghargai segala kebijakan yang ada di era pandemi, bahwa ini adalah jalan etis bagi tatanan kita agar pulih di era pandemi. Kita perlu menanam kesadaran yang toleran dalam banyak hal di era pandemi ini untuk lebih peka dan menahan hawa-nafsu untuk bertindak fatal.

This post was last modified on 2 Agustus 2021 1:57 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

19 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

20 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

20 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago