Narasi

Memviralkan Konten Dakwah yang Rahmah dan Ramah untuk Semua Bangsa

Era globalisasi berimbas ke banyak hal diantaranya yaitu keterbukaan informasi dan kebebasan berekspresi. Dalam domain agama, hal inilah yang kemudian memunculkan sekaligus memviralkan fenomena penceramah radikal ataupun ekstremisme di ruang-ruang virtual. Fenomena maraknya penceramah radikal ini seolah selain memanfaatkan kedok agama, juga berlindung di balik hak-hak beraspirasi. Merespon hal ini, siapa saja yang jadi penceramah agama harusnya belajar tata cara dakwah rahmatan lil ‘alamin Nabi Muhammad SAW. Dakwah Rasulullah SAW adalah dakwah yang ramah dan rahmah untuk semua bangsa.

Banyak akhlak dakwah Rasulullah SAW yang patut kita teladani, diantaranya kita bisa membaca pada Piagam Damai atau yang sering kita kenal dengan Piagam Madinah. Kalau kita telaah, pesan dakwah rahmatan lil ‘alamin tampak jelas pada Piagam Madinah. Sebagaimana kita tahu, dengan piagam inilah diharapkan masyarakat Madinah kala itu yang notabene beragam tetap hidup rukun berdampingan. Kehidupan antara kaum muslimin dengan non-muslim juga terjalin tanpa adanya gesekan ataupun konflik. Nabi Muhammad SAW tak lantas memaksakan kehendak untuk memeluk agama Islam. Mereka bebas menganut agama yang diyakini.

Dalam kaidah fiqh dikatakan laa yatimmu wajib illa bihi fahuwa wajib. Artinya, umat beragama tidak akan bisa menjalankan ibadahnya dengan baik, tenang, tentram dan merdeka dalam suatu negara yang terjajah dan terbelakang. Segala bentuk kekerasan seperti dakwah radikal atau ekstrem tentu bisa memperkeruh iklim beragama tak hanya antar agama, akan tetapi dalam agama juga. Kita harus mewaspadai hadirnya penceramah agama radikal.

Dakwah yang rahmatan lil ‘alamin menjadi syarat utama yang harus dipenuhi oleh penceramah agama agar mampu meniti kehidupan beragama dan kebangsaan yang harmonis harmonis. Dan dari Piagam Damai (Piagam Madinah) kita banyak belajar. Piagam Madinah merupakan kesepakatan pertama yang ada di Arab. Semua komunitas, muslim dan Yahudi bersatu padu dalam sebuah ikatan sosial (negara). Kaum Yahudi memperoleh kebebasan dalam beragama dan mendapat perlindungan dari negara. Mereka dituntut penuh mendukung negara Islam, memberikan nasihat, tidak melakukan persekongkolan untuk menantang, tidak membocorkan informasi, dan tidak boleh meninggalkan Madinah tanpa adanya izin.

Berkaitan dengan adanya konstitusi Piagam Madinah, W. Montgomery Watt (1980) mengutarakan beberapa point dalam isi Piagam Madinah: Pertama, mereka mempercayai dan bertanggung jawab dalam komunitas tunggal (umma). Kedua, setiap klan dan subdivisi dari setiap komunitas bertanggung jawab atas darah dan uang tebusan bagi setiap anggota (pasal 2-11). Ketiga, setiap anggota dari setiap komunitas menunjukkan solidaritas penuh untuk melawan kejahatan, tidak mendukung pidana walaupun dengan saudara dekat, dimana kejahatan digunakan untuk melawan anggota komunitas lain (pasal 13, 21).

Keempat, setiap anggota dari komunitas menunjukkan solidaritas penuh untuk melawan orang-orang kafir dalam damai dan perang (Pasal, 14, 17, 19, 44), dan juga solidaritas dalam perlindungan lingkungan tempat tinggal (Pasal. 15). Dan kelima, orang-orang Yahudi merupakan bagian dari komunitas, dan untuk mempertahankan agama mereka sendiri; mereka dan umat Muslim akan membantu (membantu dalam militer) satu sama lain ketika diperlukan (pasal 24-35, 37, 38, dan 46).

Dari isi Piagam Madinah tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa persatuan dan kesatuan kelompok melintasi batas agama, suku, dan struktur sosial yang ada, merupakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada mementingkan kepentingan kelompok tertentu. Batas-batas yang ada hilang menjadi semangat kesatuan secara luas (Burhanuddin, 2019).

Apalagi, hakikatnya, tugas manusia diciptakan bertujuan untuk pemakmur bumi (khalifah bumi). Nabi Muhammad SAW dakwah mengajak umatnya untuk saling mengasihi, tolong-menolong, saling mengingatkan dalam kebenaran, dan bergotong-royong menghadapi segala persoalan yang membelenggu suatu bangsa. Bukan malah menebar radikalisme, ekstremisme, dan takfirisme. Sudah semestinya para penceramah agama meneladani akhlak dakwah Nabi SAW, yang rahmah dan ramah untuk semua bangsa.

This post was last modified on 31 Januari 2023 12:32 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…

19 jam ago

Dakwah Sufistik ala Nusantara; Menggali Esoterisme, Membendung Ideologi Transnasionalisme

Jika kita melacak fakta sejarah, tampak jelas bahwa penyebaran Islam di Nusantara periode awal itu…

19 jam ago

Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, memiliki keragaman budaya dan tradisi yang…

19 jam ago

Belajar dari Viral Pacu Jalur: Dakwah Lokal dan Kreativitas Budaya

Viralnya festival Pacu Jalur di Riau baru-baru ini bukan hanya membanggakan dalam konteks kebudayaan, tetapi juga menyimpan…

2 hari ago

Alarm Kearifan Nusantara: Pulang, Sebelum Terasing di Rumah Sendiri

Di tengah riuh rendahnya panggung digital, sebuah paradoks ganjil tengah melanda bangsa ini. Secara fisik,…

2 hari ago

15 Tahun BNPT: Siap Jaga Indonesia

Tahun 2025 menandai usia ke-15 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai sebuah lembaga strategis penanggulangan terorisme…

2 hari ago