Narasi

Menakar Keislaman Kelompok Ekstrimis

Seringkali kita mendengar bahwa para teroris itu merupakan pejuang (mujahid) dan penegak agama Allah. Klaim itu konon mereka ambil dari pendapat-pendapat ulama bahwa jihad fi sabilillah merupakan kewajiban setiap muslim (fardhu ain) yang tidak bisa ditawar. Katanya, dengan jihad ini mereka akan menerima surga sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah. Wajar saja, mereka sangat mendambakan kematian demi mendapatkan surga itu. Atas dasar itu pula mereka hendak memerangi orang-orang yang dianggapnya sebagai sesat dan kafir.

Dalam kesehariannya, mereka tampak rajin beribadah dan menghindari perbutan maksiat yang dilarang oleh Allah. Tidak hanya itu, bahkan mereka juga sering melakukan aksi-aksi kekerasan demi menghilangkan maksiat di muka bumi ini. Dan yang paling tampak adalah keengganan mereka bersama orang-orang yang dianggapnya sesat dan kafir. Orang yang tidak sealiran dengan mereka dianggap kotor dan najis sehingga harus dijauhi atau bahkan bekasnya harus disucikan.

Tidak dapat disangkal bahwa Islam memang mewajibkan perang sebagaimana diwajibkannya puasa. Dua kewajiban ini termaktub secara tekstual dalam al Qur’an dengan kalimat “kutiba” yakni diwajibkan. Namun Muhammad Ramadhan al Buthi dalam “al Jihad Fil Islam; Kayfa Nafhamuhu wa kayfa Numarisuhu” menjelaskan bahwa wajibnya jihad itu ditentukan oleh waktu sebagaimana wajibnya puasa. Kewajiban berpuasa hanya ada dalam bulan Ramadhan. Begitu juga, jihad tidak disembarang waktu dan kondisi. Al Buthi mengatakan tidak boleh melakukan jihad dalam kondisi damai. Hal ini disandarkan terhadap pada kondisi Nabi ketika berada di Madinah bisa hidup berdampingan dengan seluruh umat manusia dari berbagai agama tanpa ada peperangan.

Intinya, perang atau al qital ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Dalam kondisi aman tidak diperbolehkan berperang. Jika terjadi perselisihan dari dua kelompok, Islam telah memberikan jalan untuk didamaikan. Karena kedamaian sangat diutamakan dalam Islam. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh para kaum teroris itu pada hakekatnya tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman. Lalu apa?

Imam Ghazali dalam “al Kasyfu wal tabyin fi Ghururil Kahlq Ajmain; Ashnaf al Maghrurin” menjelaskan tentang macam-macam kelompok ghurur (tertipu). Salah satunya adalah orang-orang yang menegakkan hukum syariat, menyibukkan diri dengan ketaatan dan ibadah, dan menghindari maksiat akan tetapi merasa memiliki posisi di mata Allah (dzannu annahum ‘indallah bimakan). Orang-orang seperti teroris dan kaum radikal itu pada umumnya merasa bahwa dirinya pasti mendapatkan tempat kelak di surga. Dan klaim seperti ini tergolong ghurur (tipuan) yang harus dihindari. Penentu surga dan neraka adalah Allah SWT.

Kelompok lain yang disebutkan oleh Imam Ghazali adalah orang yang menuntut kemulyaan agama padahal pada hakekatnya menuntut kemuyaan dirinya melalui agama. Al thalab al izz lil din bil tsiyab al rafi’ah bi thalab izz al din. Dari sini makin jelass bahwa apa yang mereka tuntut bukanlah kemulyaan Islam tetapi kemulyaan dirinya. Karena di dalam dirinya ada kehendak untuk menjadi penguasa. Jargon yang sering diutarakan adalah Islam itu harus jaya dari Merauke hingga Maroko, bukankah ini hasrat untuk menguasai? Gila hormat.

Kelompok ghurur yang mendekati kesesatan menurut Imam Ghazali adalah orang yang sibuk mengoreksi kekafiran orang lain, lalai terhadap kesesatan dirinya dan merasa dirinya suci. Yukaffir ba’dhuhum ba’dhan wa yaghful ‘a dhalalat nafsih wa dzannaha binafsihi al janat. Padahal Allah berfirman dalam al Qur’an “la tuzakku anfusakum” janganlah kaliam merasa suci. Karena nilai kesucian seseorang merupakan hak Allah. Menduga bahwa dirinya suci merupakan penyakit hati yang harus dihindari oleh para pencari ridha Allah.

Beragama yakni mencari ridha Allah tidak bisa memakai klaim tentang kesucian dirinya. Allah yang paling paham siapa yang suci dan sispa yang kotor di mata Allah. Karenanya, merasa bahwa dirinya paling suci dan paling masuk surga jelas bertentangan dengan kaidah al Qur’an dan hadits. Sangat menarik apa yang dipaparkan oleh Muhammad Ahmad Ismail al Muqaddam dalam “Uluwul Himmah” di bawah ini;

“Kita bisa bisa melihat bahwa beberapa orang buta terhadap apa yang dicarinya dan tidak tahu siapa yang disembah (a’ma ‘an mathlubihi wala yadri man ya’budu). Kadang-kadang menyembah baju-baju tertentu yang dinisbatkan kepada kelompok dan sahabat-sahabatnya serta memanjangkan jenggot. Kadang menyembah terhadap hasrat membabi buta yang ada dalam pikirannya, padahal semua itu tidak ada dalam agama (laysa lahu ashlun fil din). Mereka itu adalah orang yang buta terhadap Tuhannya, syariatnya, dan agamanya” wallahu a’lam.

This post was last modified on 31 Juli 2017 4:08 PM

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

7 jam ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

7 jam ago

Tiga Peran Guru Mencegah Intoleran

Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Peringatan ini sangat penting lantaran guru merupakan…

7 jam ago

Guru Hebat, Indonesia Kuat: Memperkokoh Ketahanan Ideologi dari Dunia Pendidikan

Hari Guru Nasional adalah momen yang tepat untuk merenungkan peran penting guru sebagai motor penggerak…

7 jam ago

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago