Terkadang corak beragama kita selalu dihantui dengan ketakutan. Takut iman kita berkurang, takut pemeluk agama kita berkurang dan takut rumah ibadah kita diambil orang. Corak berpikir seperti ini muncul karena menganggap yang berbeda sebagai ancaman. Bahkan, terkadang hanya ingin mendoakan yang berbeda, rasanya muncul ketakutan iman kita tertukar.
Karena rasa ketakutan itu hingga muncul pernyataan: toleransi boleh dilakukan asal jangan kebablasan. Toleransi cukuplah di ranah sosial, tetapi jangan masuk dalam ranah ibadah dan akidah. Lalu, jika kita mendoakan kebaikan apakah masuk dalam ranah ibadah atau hubungan sosial yang dimensi ibadah?
Memang benar, doa adalah hubungan seseorang dengan Tuhannya yang berdimensi sakral. Karena itulah, doa dalam setiap agama menjadi bagian dari ibadah. Dalam Islam, kata shalat secara bahasa adalah berarti doa karena subtansi shalat adalah sebuah penghambaan dan pengharapan kepada Sang Khalik.
Namun, dalam hubungan sosial, terkadang kita menarik hal berdimensi sakral untuk kepentingan kebaikan sosial. Misalnya, berdoa kebaikan adalah hubungan sosial yang melibatkan Yang Sakral. Cara pandang dalam kasus seperti ini apakah murni relasi dengan Yang Sakral atau relasi sosial yang melibatkan Yang Sakral.
Contoh misalnya ibadah zakat dalam Islam. Zakat adalah bentuk ibadah manusia terhadap Tuhannya. Namun, zakat memiliki dimensi sosial. Karena itulah, zakat dalam beberapa pandangan ulama juga bisa diberikan kepada yang berbeda agama dengan kategori yang sudah ditentukan.
Kembali pada masalah doa. Saling mendoakan juga sangat dianjurkan dalam Islam. Doa yang kita panjatkan untuk kebaikan sesama muslim sesungguhnya adalah doa terbaik buat diri kita sendiri. Misalnya dalam sebuah hadist : Artinya: “Tidaklah seorang muslim mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya itu kecuali malaikat berkata, ‘Dan untuk kamu juga seperti itu.'” (HR Muslim).
Tidak ada yang membantahkan tentang keutamaan dan anjuran doa untuk sesama muslim. Lalu, bagaimana jika berdoa untuk non muslim?
Dalam pergaulan sehari-hari hal ini tidak bisa dipungkiri akan selalu terjadi di antara kita. Saudara, teman dan tetangga yang berbeda agama dalam suatu kesempatan interaksi pasti ada cerita tentang saling mendoakan.
Jika memang doa adalah bagian dari ibadah, lalu bolehkah seorang muslim mendoakan non muslim? apakah mendoakan non muslim termasuk bentuk toleransi yang kebablasan karena mencampuradukkan ibadah dalam bentuk doa?
Kembali lagi kita pada corak beragama yang paranoid tadi. Jika beragama diliputi takut iman tertukar, tentu saja tidak akan memperbolehkan berdoa untuk yang berbeda agama. Alasannya, tentu, doa adalah hal sakral yang tidak boleh dicampuradukkan yang akan berakibat fatal, tergerusnya akidah.
Namun, dalam beberapa hadist ternyata banyak kisah yang dapat menjadi rujukan terkait mendoakan non muslim. Rasanya, doa yang dipanjatkan tidak hanya murni persoalan ibadah, tetapi bagian dari relasi sosial yang baik.
Misalnya dalam sebuah kisah datanglah seorang Yahudi kepada Rasulullah s.a.w., lalu berkata: “Doakan aku.” Nabi pun berdoa: “Mudah-mudahan Allah memperbanyak harta dan anakmu, menyehatkan tubuhmu, dan memanjangkan umurmu.” (H.R. Ibnu Abi Syaibah).
Hadist ini dijadikan dasar bagi seorang muslim tentang kebolehan mendoakan kebaikan yang bersifat duniawi terhadap non muslim. Karena itulah, ketika sahabatmu, tetanggamu atau saudaramu dalam acara tertentu tentu tidak masalah bagi kita untuk mendoakan semoga kesejahteraan dan kebahagiaan terlimpahkan kepada mereka.
Memang ada pula ulama yang melarang mendoakan kebaikan karena menganggap dengan kebaikan dalam diri mereka berarti melanggengkan kekufurannya. Namun, dalam konteks saat ini pilihan untuk saling mendoakan kebaikan terhadap saudara, tetangga dan teman walaupun yang berbeda agama adalah pilihan etika dan moral sosial yang lebih relevan.
Tidak hanya persoalan kebaikan duniawi, dalam banyak cerita Nabi juga mendoakan kebaikan yang berdimensi ukhrowi semisal tentang mendapatkan hidayah, mendapatkan rahmat dan ampunan. Salah satu cerita ini misalnya tentang Yahudi yang sedang berpura-pura bersin.
Dari Abu Musa radliallahu ‘anhu berkata: “Dahulu Kaum Yahudi biasa berpura-pura bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berharap beliau mau mengucapkan doa untuk mereka “yarhamukallah (semoga Allah merahmati kalian)”, maka beliau mengatakan “yahdikumullah wa yushliha balakum” (semoga Allah memberi hidayah kepada kalian, dan memperbaiki keadaan kalian). (HR Tirmidzi).
Selain cerita dari Yahudi yang berpura-pura ini, banyak pula kisah Nabi yang mendoakan petunjuk dan hidayah kepada non Muslim. Nabi pernah mendoakan ibu Abu Hurairah yang kala itu masih kafir. Begitu pula Nabi pernah mendoakan Abu Jahal dan Umar bin Khattab yang kala itu memusuhi Islam. Nabi juga pernah mendoakan beberapa kabilah yang menolak Islam agar mendapatkan petunjuk dan hidayah.
Artinya, mendoakan kebaikan berdimensi ukhrawi pun terhadap non muslim juga tidak masalah dengan harapan mereka dapat menikmati hidayah dan petunjuk dari Allah terhadap Islam.
Karena itulah, dalam lingkup pergaulan lintas agama yang sudah semakin kompleks seperti saat ini, bahkan terkadang dalam satu keluarga bisa berbeda agama, memberikan kebaikan dan kemanfaatan terhadap yang berbeda adalah bagian dari etika sosial dalam Islam. Termasuk dalam saling mendoakan untuk kebaikan.
Tidaklah lucu jika dalam saat menghadiri pernikahan teman yang berbeda agama, lalu kita mendoakan yang buruk terhadap mereka dengan alasan mereka berbeda agama. Mendoakan kebaikan duniawi dan doa agar mereka mendapatkan petunjuk dan hidayah adalah sesuatu yang tidak dilarang dalam Islam.
Sebagai umat beragama praktek toleransi adalah anjuran agama. Memegang iman dan akidah adalah kewajiban, tetapi bukan berarti bersikap apatis dan berlebihan dalam menganggap yang berbeda ancaman akidah. Jangan memiliki ketakutan beragama yang kebablasan.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…