Pola persaudaraan di Indonesia tidak bisa dibangun pada pondasi yang sempit dengan berbasis pada kepentingan kelompok tertentu saja, seperti kelompok agama A saja, etnis B saja, dan suku C saja. Fenomena semacam ini juga dibarengi dengan sikap saling membenci, curiga, fitnah, dan lain sebagainya. Ada saudara kita yang masih dalam bendera yang sama, tetapi memiliki kepentingan yang berbeda, dianggap sesat dan bukan bagian dari masyarakat Indonesia.
Sekali lagi tidak bisa begitu! Itu adalah sikap anak-anak kecil, sementara kita bukanlah anak kecil lagi. Kita hari ini adalah masa depan Indonesia. Oleh sebab itu, sangat disayangkan jika pola persudaraan sempit dan saling menaruh kebencian dipelihara terus menerus. Mengapa pola persaudaraan yang berbasis pada kepentingan sekelompok saja tidak boleh? Anak-anak SMU lebih mengetahui akan jawaban ini.
Bagaimana Indonesia yang, menurut sensus BPS pada tahun 2010, di Indonesia ada 1.340 suku bangsa, dibangun di atas pondasi hanya segelintir orang atau kelompok saja? Maka paradigma persaudaraan yang harus dibangun oleh masyarakat Indonesia adalah persaudaraan lintas agama, budaya, etnis, suku, dan golongan. Semua harus melebur menjadi Indonesia satu di bawah bingkai Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika masih mempertahankan dan memelihara pola persaudaraan yang sempit, maka yakinlah bahwa usia negeri ini tinggal menghitung hari. Sebab, pola persaudaraan sempit tidak hanya sekedar mengingkari cita-cita pendiri bangsa ini, tetapi lebih dari itu adalah juga menimbulkan kecurigaan antar kelompok satu dengan yang lainnya sehingga akan menimbulkan konflik yang tak berkesudahan. Sebelum semua itu terjadi, kita sebagai generasi yang peduli akan masa depan bangsa ini, sudah selayaknya mencegah semua itu.
Paradigma Perdamaian dalam Alquran
Maka, pada momentum Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 01 Desember belum lama ini, penting kiranya meneladani misi beliau (misi profetik), yakni menebar benih damai. Dalam konteks menyebarkan benih damai sebagai misi profetik yang tak pernah usai, ada beberapa hal yang harus dijadikan sebagai pegangan umat.
Pertama, benci, tetapi tetap berlaku adil. Dalam kehidupan manusia yang normal, kebencian terhadaporang maupun kelompok lain merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Artinya, semua dari kita pasti memiliki rasa benci terhadap yang lain. Tetapi persoalannya adalah, kebencian kita jangan sampai menyebabkan kita tidak adil terhadapnya. Inilah pesan langit (Al-Maidah, 8). Nadirsyah Hosen (2017:137) memberikan penjelasan yang cukup elegan, bahwa kebencian tidak (melulu) dibalas dengan kebencian. Begitu juga kezaliman. Dalam keadilan, katanya, bukan saja ada kasih sayang,tetapi ada juga ketakwaan. Dengan demikian jelas sudah bahwa pesan langit, yang juga pesan profetik menginginkan supaya kebencian jangan sampai menjadikan kita berlaku tidak adil.
Kedua, jangan mudah memberi stempel munafik kepada orang lain. Satu realitas umat saat ini yang tidak dapat ditutup-tutupi adalah mudah Menge-judge atau memvonis orang lain sebagai kafir, munafik, dan sejenisnya. Seolah-olah ia adalah manusia yang “ma’shum” (bebas dari dosa, suci), sehingga seenaknya saja berbuat sesuatu. Dan perilaku yang seperti ini sangat mengusik perdamaian. Ziauddin Sardar dalam Ngaji Quran di Zaman Edan (2014:153) menyentil bahwa ada bukti bahwa agama dijadikan dalil untuk mencela orang lain meskipun itu bukanlah tujuan agama dan bukanlah jalan yang benar. Hal ini dibuktikkan dengan sebagian Muslim dengan mudah mengkafirkan dan menuduh munafik orang lain—baik muslim maupun non-muslim—dan menganggap orang lain kurang atau lemah dalam keimanan dan ibadah. Peristiwa tahkim menjadi pelajaran menarik bahwa manusia begitu banyak menghabiskan banyak waktu dan energi hanya untuk menghakimi satu sama lainnya daripada bersama-sama menekuni kewajiban transformatif yang merupakan tujuan Alquran.
Maka Alquran memberikan penjelasan bahwa yang berhak memberikan label seseorang itu munafik atau tidak, hanyalah Allah (hak peyogratif Allah). Penjelasan ini diilustrasikan oleh Nadirsyah Hosen dengan kisah Buya Hamka. Suatu ketika, Buya Hamka diminta menshalati jenazah Bung Karno. Sebagian pihak mencegah Buya Hamka dengan alasan Bung Karno itu Munafik dan Allah telah melarang Rasul menshalati jezanah orang Munafik (QS al-Taubah:84). Lantas, Buya Hamka merespons orang tersebut: “Rasulullah diberitahu sesiapa yang Munafik itu oleh Allah, lha saya gak terima wahyu dari Allah apakah Bung Karno ini benar Munafik atau bukan.” Walhasil, penulis Tafsir Al-Azhar itu pun menshalati jenazah Proklamator Bangsa Indonesia.
Ketiga, perbedaan itu sesuatu yang biasa. Teologi keragaman dalam keberagamaan harus dikuatkan. Hal ini sebagai bentuk tugas dan tanggung jawab elite agama (tokoh, kyai, ulama, da;i, ustad, dll) untuk mendidik umat agar memiliki pemahaman bahwa perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan menjadi hal yang yang lumrah dan disikapi dengan bijaksana. Al-Ghazali pernah bertutur: “Kita harus meyakini kebenaran pendapat yang kita ikuti, sembari menghormati pendapat orang lain.” Senada dengan itu, Yusuf Qardhawi menulis buku Fiqh Ikhtilaf. Dalam buku tersebut diuraikan betapa perbedaan adalah sesuatu yang sangat biasa dan tidak dilarang agama. Yang dilarang agama adalah perpecahan.
Allah berfirman: “Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (Qs. Yunus, 99).
Berkaitan dengan ayat ini, sementara ulama mengaitkan bahwa misi Nabi Muhammad bukan untuk menaklukkan dunia, juga bukan untuk mengislamkan semua orang. Namun, misi Nabi Muhammad adalah sebagai rahmatan lil alamin (Qs. Al-ANbiya’, 107). Rahmat inilah misi profetik yang harus selalu dibumikan sampai kapan pun. Ini sejalan dengan keteladanan Nabi Muhammad di zaman now.
Mengakhiri uraian ini, penulis hendak memberikan penggasakan bahwa betapa paradigma Alquran tentang perdamaian sangat relevan dengan kondisi kekinian. Setidaknya dalam konteks menebar benih perdamaian, baik di dunia nyata maupun maya, kita harus mengetahui tiga poin sebagaimana disebutkan dalam paragraf-paragraf sebelumnya.
Jika tiga poin tersebut sudah dipahami dengan baik dan dipraktikkan pada kehidupan sehari-hari, maka tugas kita selanjutnya adalah menebar benih perdamaian, menguatkan tali persaudaraan. Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana yang sering penulis kutip, mengatakan: “Jika ia tidak saudaramu dalam seiman, maka ia adalah saudara dalam kemanusiaan.” Ini artinya, pola persaudaraan sungguh luas.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…