Narasi

Meneladani Nilai Ukhuwah Kebangsaan Hijrah Nabi untuk Indonesia Damai

Sejarah Islam telah mencatat, bahwa Rasulullah SAW mempersatukan para sahabatnya yakni kaum Muhajirin dengan kaum Anshar yang terdiri dari berbagai macam suku dan kabilah ke dalam ikatan persaudaraan (ukhuwah) masyarakat yang kuat, senasib, dan seperjuangan. Setiap kaum Muhajirin dipersaudarakan dengan kaum Anshar seperti layaknya saudara kandungnya sendiri. Kaum Muhajirin di dalam kehidupannya ada yang bermata pencaharian sebagai pedagang dan ada pula yang bertani mengerjakan lahan kaum Anshar. Madinah kala itu juga merupakan kawasan masyarakat yang multikultural. Wilayah yang terletak di sebelah utara kota Mekkah ini dihuni oleh beragama suku dan agama di antaranya Yahudi, Nasrani, dan kaum Pagan.

Untuk menciptakan aman dan damai, Rasulullah SAW membuat perjanjian dengan kaum Yahudi dalam narasi persaudaraan “Piagam Madinah”. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan dan diakui hak kemerdekaan atau kebebasan tiap golongan untuk mermeluk dan menjalankan agamanya sesuai keyakinan masing-masing, tanpa adanya paksaan atau tekanan. Piagam Madinah sebagai konsensus kolektif yang lahir dari kondisi sosio-kultural masyarakat Madinah yang majemuk. Mereka yang terlibat dalam konsensus politik tersebut disebut sebagai ummatun wahidah, tidak peduli apa latar belakang ras dan agama.

Piagam Madinah direpresentasikan sebagai perjanjian politik penduduk Madinah yang mengingat mereka dalam ikrar untuk hidup berdampingan secara damai, saling tolong-menolong, saling menghargai, serta berkomitmen untuk menjaga keamanan dan juga kedamaian  negeri dari ancaman luar. Sebagaimana pandangan Zuhairi Misrawi bahwa legalisasi Piagam Madinah merupakan upaya konstitusional yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam membangun sebuah masyarakat baru yang bebas dari fanatisme kesukuan.

Kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin politik Madinah berperan besar untuk menggantikan pertalian kesukuan (nasab) dengan pertalian spiritual (ummah) (Misrawi, 2009: 306). Nabi Muhammad SAW mencipatkan komunitas baru yang disebut ummah, sebuah sistem komunitas persaudaraan yang mengintegrasikan individu-individu, klan, kota dan kelompok-kelompok etnik dalam sebuah loyalitas keagamaan (Lapidus, 2000: 51).

Baca juga : Islam Selaras dengan Nation-State

Hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah tentu sangat relevan untuk dijadikan inpirasi persaudaraan politik dalam kontestasi dunia perpolitikan Indonesia. Apalagi, bebeberapa waktu kedepan di tahun 2019 ini kita akan menggelar pesta demokrasi akbar Pilpres dan Pileg. Spirit perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam memimpin Kota Madinah mengandung nilai-nilai etika politik yang ideal dan relevan untuk diaktualisasikan dalam konteks tahun politik di Indonesia. Para pelaku politik praktis dan mayarakat yang bersikap politik tentunya patut meneladani etika politik Nabi Muhammad SAW.

Perlu dipahami bahwa kepemimpinan politik Nabi Muhammad SAW di Madinah selalu mengedepankan keadilan, toleransi, persaudaraan, musyawarah, tanggungjawab (amanah), kejujuran, dan kemaslahatan umat. Semua aktivitas politik Nabi Muhammad berorientasi pada keadilan, persatuan, dan kepentingan umum daripada kepentingan golongannya. Selain itu, etika politik Nabi Muhammad SAW mengedepankan prinsip sopan santun, musyawarah, dan kejujuran saat berkomunikasi dengan rakyat Madinah.

Begitupun dalam konteks Indonesia sudah saatnya kegiatan berpolitik seperti Pemilu tidak sekadar menjadi ajang memilih pemimpin, tetapi momentum kita untuk mempersuasi dan mengajak rakyat untuk turut andil dalam proyek pembangunan bangsa yang beradab (civil society). Kegiatan politik harus disadari dan diimplementasikan dalam kerangka acuan nilai-nilai etika sebab segala aktivitas politik tidak bebas nilai dan harus beroerintasi pada kepentingan umum.

Oleh sebab itu, etika politik yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dapat dijadikan teladan dan acuan dalan dinamika politik kontemporer Indonesia. Kegiatan berpolitik atau Pemilu bukan malah menjadi kawah pemecah belah masyarakat Indonesia, melainkan menjadi sarana persaudaraan, ukhuwah islamiah, persatuan, musyawarah, at-ta’awun, dan keadilan. Harapannya bangsa Indonesia mampu mewujudkan Pemilu 2019 yang sehat, bersih, dan santun, dan damai menuju masyarakat madani yang menjunjung persatuan-kesatuan.

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

6 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

7 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

7 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago