Categories: Faktual

Menertibkan Media Penyebar Infomasi Negatif

Pemberitaan di seputar virus Corona (Covid 19) sering kali membuat masyarakat ketakutan. Ini tidak lain, konten berita yang menyebar sering menakut-nakuti, berisi hoax, rumor, bahkan kadang terkesan tidak bisa dibedakan mana fakta, mana opini.

Informasi mengenai Corona kebanyakan adalah informasi negatif. Media tak ubahnya sarana mencari rating yang tidak mempertimbangkan kemanusiaan dan kecemasan masyarakat akibat pemberitaan yang berlebihan.

Sebagai media sudah menyadari ini. Lahirnya tagar #MediaLawanCovid19 yang disuarakan oleh puluhan media independen adalah bagian dari kesadaran ini. Bahwa kita –semua kalangan –harus berpartisipasi untuk menertibkan informasi negatif seputar Corona.

Puluhan media otonom dan independen sudah menyadari efek samping besar yang diakibatkan pemberitaan negatif ini. Did tengah ketakutan akan wabah berbahaya ini, kita tidak sepatutnya lagi menambah ketakutan itu dengan berbagai infomasi yang tidak bisa dipertanggujawbakan.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sudah mengeluarkan panduan peliputan bagi media di Indonesia tentang wabah Corona.  Abdul Manan, Ketua AJI Indonesia dalam pernyataan resmi menyebut tiga panduan utama yang seyogyanya ditaati jurnalis.

Pertama, media sepatutnya tidak membuka identitas terduga penderita corona sebagai upaya meminimalisasi bahaya dari pemberitaan media. AJI menilai, ada potensi korban mengalami penderitaan dan menghadapi bahaya, seperti perundungan atau diasingkan.

Baca Juga : Distraksi Media Sosial dan Efek Infodemik Corona

Kedua, menurut AJI, media perlu menonjolkan perannya mendidik publik, menjalankan fungsi kontrol sosial, dan bukan malah menakut-nakuti atau membuat publik lebih panik.

Ketiga, media dan jurnalis perlu memiliki kesadaran meliput peristiwa wabah virus corona secara aman. Dalam peliputan, jurnalis perlu mengikuti saran ahli atau otoritas agar tidak ikut menjadi korban. Salah satu caranya adalah dengan memakai peralatan keamanan yang memadai, tetapi tidak berlebihan.

Ketiga panduan ini menurut saya bisa dijadikan panduan dalam media distancing. Media distancing maksudnya adalah upaya menjaga jarak dan memilah-memilih mana infomasi yang membuat optimisme, dan mana berita yang menjadikan masyarakat jadi passif dan takut.

Jika ada media yang menyalahi ketiga protokol di atas diabaikan saja. Atau kalau di sosial media bisa dilaporkan. Menertibkan media penyebar informasi negatif harus dilakukan secara bersama-sama. Tugas ini adalah tugas kita semua, agar perang melawan Corona ini bisa kita menangkan.

Sayangnya dalam pemberitaan tentang Corona, ada banyak sisi yang tidak digali lebih dalam oleh media untuk memberikan edukasi bagi masyarakat. Misalnya, bagaimana virus ini muncul dan penyebarannya. Bagaimana agar kita terhindar dari bahaya pandemi ini.

 Media lebih berkonsentrasi pada kisah-kisah mengenai para korban. Penambahan angka naik yang positif, sembuh, dan meninggal. Padahal yang dibutuhkan sejak awal adalah pemahaman agar masyarakat bisa tenang dan tahu cara yang tepat untuk tidak tertular.

Yang cukup memprihatinkan, masyarakat ternyata lebih percaya informasi hoaks yang disebarkan melalui media sosial atau aplikasi percakapan. Ini juga menjadi masalah tersendiri. Penyebaran berita lewat group-group WA, Facebook, dan sejenisnya lebih diminati masyarakat ketimbang informasi dari media yang terverifikasi.

Lukas Ispandriarno, Pakar komunikasi dari Universitas Atmajaya Yogyakarta,  menilai ada media yang serius ingin memberikan informasi yang benar dan terverifikasi dan ada media yang tampak memanfaatkan isu virus corona untuk mendongkrak khalayak.

Media tipe kedua inilah yang gemar menampilkan judul berita sensasional, yang mudah viral dan membuat kaget pembaca. Selain itu, mereka juga cenderung tidak berhati-hati atau kurang melakukan verifikasi ketika mengutip informasi. Model media ini bisa mudah dikenali dengan tiga protokol yang dibuat oleh AJI di atas. Ketiga aturan ini adalah rumus utama dalam menertibkan media penyebar infomasi negatif.

This post was last modified on 1 April 2020 3:46 PM

Ahmad Kamil

View Comments

Recent Posts

Apakah Dakwah Apologetik adalah Budaya Kita?

Harmoni lintas iman yang sudah berakar di Indonesia kerap diganggu oleh dakwah apologetik yang orientasinya…

5 jam ago

Dakwah Sufistik ala Nusantara; Menggali Esoterisme, Membendung Ideologi Transnasionalisme

Jika kita melacak fakta sejarah, tampak jelas bahwa penyebaran Islam di Nusantara periode awal itu…

5 jam ago

Peran Ulama Lokal dalam Merawat Syiar Islam Nusantara di Era Dakwah Transnasional

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, memiliki keragaman budaya dan tradisi yang…

5 jam ago

Belajar dari Viral Pacu Jalur: Dakwah Lokal dan Kreativitas Budaya

Viralnya festival Pacu Jalur di Riau baru-baru ini bukan hanya membanggakan dalam konteks kebudayaan, tetapi juga menyimpan…

1 hari ago

Alarm Kearifan Nusantara: Pulang, Sebelum Terasing di Rumah Sendiri

Di tengah riuh rendahnya panggung digital, sebuah paradoks ganjil tengah melanda bangsa ini. Secara fisik,…

1 hari ago

15 Tahun BNPT: Siap Jaga Indonesia

Tahun 2025 menandai usia ke-15 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai sebuah lembaga strategis penanggulangan terorisme…

1 hari ago