Narasi

Mengapa Infiltrasi Radikalisme di Ruang Digital Lebih Popular?

Seiring berkembangnya teknologi, strategi kelompok radikal seperti HTI dan FPI dalam menyebarkan ideologinya juga mengalami transformasi signifikan. Meski HTI dan FPI telah dibubarkan oleh pemerintah, sisa-sisa jaringan dan pengaruh mereka masih aktif menyusup ke ruang digital. Mereka kini tidak lagi beroperasi secara eksklusif dalam lingkup tertutup, melainkan beralih ke platform digital yang dapat menjangkau publik secara luas, terutama kalangan generasi muda atau Gen Z.

Dengan memanfaatkan estetika dan bahasa yang dekat dengan budaya populer, kelompok ini berhasil menyelusupkan narasi-narasi intoleran dan anti-nasionalisme yang dikemas secara menarik, bahkan menghibur. Ironisnya, apa yang terlihat sebagai konten “gaul” atau “kekinian” ini sejatinya mengandung ajakan untuk menyusupkan ideologi radikal.

Strategi HTI dan FPI di ranah digital telah berada pada level yang lebih tinggi, menggunakan pendekatan estetika dan gaya komunikasi yang akrab di kalangan anak muda. Mereka menciptakan konten dalam bentuk video bergaya vlog, meme, serta narasi yang beresonansi dengan keresahan atau semangat pemberontakan anak muda.

Dengan cerdik, mereka menyematkan pesan radikal dalam konten yang sekilas tampak ringan dan penuh humor. Meme-meme yang mereka buat, misalnya, sering kali menyindir pemerintah atau kelompok tertentu, dengan tujuan menciptakan ketidakpercayaan dan perpecahan di tengah masyarakat. Ini bukan hanya upaya untuk mempopulerkan ideologi radikal, melainkan cara untuk menggiring opini publik secara halus dan efektif.

Salah satu teknik yang sering digunakan adalah pembuatan video dengan gaya vlog. Tokoh-tokoh muda yang tampil dalam video ini berbicara tentang isu sosial dan politik dengan perspektif yang mengarah pada radikalisme. Dengan gaya yang santai dan kasual, mirip dengan konten yang sering dikonsumsi oleh Gen Z di platform YouTube dan TikTok, pesan-pesan tersebut menjadi lebih mudah diterima oleh anak muda yang sedang mencari jati diri dan nilai-nilai baru di tengah perubahan sosial yang cepat.

Selain itu, kelompok-kelompok ini sangat pandai memanfaatkan hashtag yang sedang tren untuk memperluas jangkauan pesan mereka. Dengan menggunakan hashtag populer, mereka menyisipkan pesan-pesan radikal ke dalam percakapan yang lebih luas di media sosial, memungkinkan konten mereka ditemukan oleh audiens yang lebih besar. Hasilnya, pesan-pesan radikal tersebut berpotensi “viral” dan dapat dengan cepat menyebar ke berbagai kalangan.

Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa platform favorit generasi muda, terutama Gen Z, adalah Instagram, sementara milenial lebih banyak mengakses Facebook. Menyadari preferensi ini, kelompok radikal cenderung memfokuskan konten mereka di Instagram untuk menjangkau Gen Z dan di Facebook untuk menjangkau milenial.

Mereka menyebarkan konten yang seolah-olah bersifat edukatif, seperti infografis atau artikel tentang sejarah dan agama, tetapi dengan narasi yang dimanipulasi untuk mendukung ideologi mereka. Ini adalah strategi yang sangat efektif, terutama di tengah kebingungan generasi muda yang sering kali bingung mencari referensi informasi yang benar di lautan konten digital.

Di tengah fenomena ini, peran organisasi moderat seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam memerangi radikalisme digital semakin penting. Sebagai dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, mereka telah lama menjadi pilar moderasi Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan nasionalisme. Namun, tantangan bagi kedua organisasi ini tidaklah kecil. Generasi muda yang menjadi sasaran utama propaganda radikal sangat terpapar oleh konten radikal di media sosial.

NU lebih aktif dan inovatif dalam membuat konten digital bagi anak muda. Salah satu kampanye yang sukses adalah “Merah Putih vs. Radikalisme,” yang disebarkan melalui YouTube. Konten ini menekankan pentingnya nasionalisme dan kecintaan pada tanah air, sekaligus menggambarkan bahwa mencintai negara adalah bagian dari iman. Pendekatan ini terbukti efektif dalam menarik perhatian Gen Z yang aktif di media sosial.

Sebaliknya, Muhammadiyah lebih berfokus pada upaya literasi digital di institusi-institusi pendidikannya. Muhammadiyah mengembangkan berbagai aplikasi digital seperti SalamMu dan Edumu, yang berfungsi sebagai sarana untuk memberikan pemahaman agama Islam yang moderat dan bertanggung jawab. Strategi ini bertujuan untuk membentengi generasi muda dari pengaruh ideologi radikal melalui pendidikan yang berbasis pada literasi digital.

Meskipun berbeda dalam pendekatan, baik NU maupun Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan relevansi di tengah persaingan konten radikal yang kian marak. Strategi NU yang lebih adaptif dan responsif tampaknya lebih efektif dalam menjangkau generasi muda, namun Muhammadiyah perlu meningkatkan kehadirannya di platform media sosial agar pesan-pesan moderatnya lebih tersebar luas dan mudah diakses.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan dalam menyampaikan pesan moderat bukan hanya pada isi pesan itu sendiri, tetapi juga pada cara penyampaiannya yang harus relevan dan menarik bagi audiens muda. Infiltrasi HTI dan FPI dalam budaya digital yang disukai anak muda mengajarkan bahwa NU dan Muhammadiyah harus terus berinovasi, memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan narasi moderat yang mampu bersaing dengan narasi radikal.

Di era digital yang sarat dengan informasi ini, penting bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk meningkatkan literasi digital dan kemampuan berpikir kritis dalam mengonsumsi konten media sosial. Pemahaman yang mendalam tentang moderasi Islam, yang mencakup toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, perlu terus disebarkan oleh NU, Muhammadiyah, dan organisasi-organisasi moderat lainnya agar ideologi radikal tidak mendominasi ruang digital. Dengan strategi yang lebih kreatif dan inovatif, NU dan Muhammadiyah dapat terus hadir sebagai garda terdepan dalam memerangi radikalisme digital, dan memastikan bahwa pesan-pesan Islam yang moderat dan damai tetap menjadi narasi dominan di ruang publik.

Novi N Ainy

Recent Posts

Pentingnya Menanggulangi Kebangkitan Aktivisme Keagamaan Radikal di Era Digital

Di era digital saat ini, fenomena kebangkitan aktivisme keagamaan radikal semakin menjadi perhatian global. Internet,…

20 jam ago

4 Prinsip Islam Kaffah dalam Meningkatkan Level Aktivisme Kaum Muda

Kini, banyak kaum pengasong ideologi trans-nasional “berdalih” ingin menegakkan kekaffahan Islam. Membuat kajian dan pelatihan…

22 jam ago

Mutasi Ideologis HTI dan FPI; Wajah Baru Gerakan Radikal di Indonesia

Sebagian besar dari kita tentu pernah menonton film tentang makhluk mutan. Yakni organisme yang mengalami…

2 hari ago

Kesejatian Islam Kaffah yang Tak Menegasi Demokrasi

Ada sebuah pertemuan bertajuk (Temu Muslimah Muda 2024) “The Next Level Activism: We Aspire, We…

2 hari ago

Meredam Kebangkitan Aktivisme Keagamaan Radikal di Kalangan Pemuda

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi tantangan serius dengan munculnya aktivisme keagamaan radikal yang menyasar…

2 hari ago

Ketika Budaya Populer Dijadikan Media Radikalisasi; Bagaimana Mencegahnya?

Budaya populer merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari yang mencakup film, musik, media sosial, fashion,…

3 hari ago