Dalam dua pekan terakhir, wacana pesantren radikal yang bermula dari pernyataan adanya 19 pesantren yang “terindikasi” radikal ramai diperbincangkan. Tidak hanya ramai tanggapan, isu ini langsung menjadi santapan lunak bagi kelompok yang memang mempunyai “tugas pokok utama” mempelintir informasi untuk menanamkan kebencian, penghasutan dan penggiringan opini publik.
Tak ayal, opini bertebaran dengan berbagai narasi yang tidak lagi produktif dan objektif. Satu lontaran perspektif muncul seolah mewakili umat Islam secara keseluruhan. Satu lagi seolah membawa gerbong besar untuk menyelamatkan umat. Karena itulah, marilah kita mengarifi dan menyimak berbagai perspektif tersebut dengan kaca mata yang lebih sejuk.
Data prematur?
Pada tahun 2014, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Sekjend Kemenag menyebutkan 20 pesantren yang terindentifikasi mengajarkan radikalisme. Rata-rata mereka tidak memiliki izin dari Kemenag. Upaya yang dilakukan oleh Kemenag adalah dengan mengajak 70 ribu pesantren di bawah Kemenag yang melaksanakan ajaran sesuai dengan ideologi bangsa. Memang diakuinya tidak mudah mengubah pesantren yang radikal tersebut, karena mereka menjadikan pesantren tidak hanya tempat pendidikan tetapi pengembangan ideologi yang mereka pahami (BBC, 28 Oktober 2014).
Dari fakta tersebut, kajian dan pemetaan potensi dan indikasi pesantren radikal bukan hal baru, tetapi telah menjadi konsen pemerintah sejak dulu. Kajian ini tidak datang dari langit. Ada proses pemetaan, penelitian hingga pengambilan kesimpulan. Sejak 2014 data tentang adanya pesantren yang terindikasi radikal sudah ada. Kajian-kajian seperti ini penting dilakukan agar tidak ada proses radikalisasi atau pengaruh radikalisme yang masuk dalam pesantren.
Radikalisme terus menggerogoti dunia pendidikan tidak terkecuali melalui pesantren. Kelompok penyebar paham kebencian dan kekerasan itu mudah sekali memanfaatkan lembaga pendidikan baik pendidikan umum maupun pendidikan keagamaan sebagai ladang subur menyebarkan paham kebencian dan kekerasan. Bahkan Ketua PBNU, KH. Said Aqil Siradj pun secara tegas mengatakan bahwa Indonesia “darurat radikalisme”. Pernyataan ini sangat wajar karena kelompok radikal dan penyebar kebencian semakin rajian memanfaatkan beberapa kanal kehidupan dan pendidikan masyarakat untuk menanamkan paham dan ideologi radikal.
Atas dasar itulah, pemetaan dan kajian baik terhadap lembaga pendidikan umum, lembaga pendidikan agama, rumah ibadah, dan lainnya dilakukan bukan dalam rangka mengumpulkan dan mengoleksi “tuduhan” dalam rangka memusuhi, tetapi semata ingin membentengi lembaga itu sendiri dari pengaruh radikalisme yang sudah menjalar dan mewabah.
Logika ngawur?
Logika mengenerailisir yang dituduhkan tentu saja sangat berkebalikan. Faktanya ada batasan angka 19 pesantren yang terindikasi radikal. Sehingga batasan ini mengekslusi pesantren secara keseluruhan. Dengan kata lain, penyebutan angka ini akan menyelematkan pesantren yang lain yang tetap menghormati perbedaan, toleransi dan wawasan kebangsaan. Kalimat kedua yang perlu diperhatikan adalah “terindikasi”. Kata ini ingin melepaskan diri dari kalimat tuduhan. Terindikasi artinya ada beberapa indikator yang melekat, sehingga ada beberapa pesantren yang sesuai dengan indikasi tersebut perlu mendapatkan perhatian dan pembinaan.
Logika ini dapat dianalogikan semisal pemerintah mengumumkan “pernyataan hati-hati dengan adanya bakso dari daging tikus”. Tugas negara adalah membentengi warganya dengan memberikan pengetahuan dan informasi. Dengan maklumat tersebut masyarakat dihimbau agar lebih hati-hati. Pernyataan itu juga tidak menggeneralisir seluruh tukang bakso se Indonesia bahkan se-dunia menjual daging tikus.
Persis dengan pernyataan adanya pesantren terindikasi radikal. Pernyataan ini tidak serta menghukumi pesanten secara keseluruhan atau bahkan ingin memusuhi pesantren. Logika generalisasi justru muncul karena adanya penggiringan opini yang seolah menyatakan pesantren keseluruhan radikal. Siapa saja yang menggiring opini untuk menggeranilisir secara keseluruhan? Anda, pembaca berita budiman cukup cerdas dan arif dalam memahaminya.
Membuat Gaduh?
Masyarakat mana yang telah dibuat gaduh? Pesantren yang telah lama eksis tidak pernah menyuarkan kegaduhan dan tidak terganggu sama sekali dengan adanya pemetaan kajian pesantren terindikasi radikal baik yang dilakukan oleh Kemenag maupun BNPT. “Pesantren besar tidak pernah gusar”. Pesantren besar telah menunjukkan bakti dan sumbangsih besar dalam menyuburkan paham damai dan kebangsaan tanpa lelah.
Kegaduhan muncul justru dari pihak lain di luar komunitas pesantren atau pihak yang merasa dirinya radikal. Atau jangan-jangan kegaduhan muncul karena yang menyampaikan pernyataan adalah lembaga yang bernama BNPT. Bayangkan apabila pernyataan itu muncul dari lembaga lain. Semisal, jauh sebelum itu, sebagaimana diberitakan tahun 2014 Kemenag juga menyampaikan hal yang sama, tetapi tidak terlihat gaduh. Rabithah Ma’had Islami-Asosiasi Pesantren NU-melalui Ketuanya KH. Abdul Gaffar Rozin juga pernah menyatakan dalam hitungannya tidak hanya 19 pesantren bahkan bisa jadi lebih banyak pesantren yang terindikasi radikal. Apakah masyarakat gaduh dengan berbagai pernyataan tersebut? Silahkan anda mampu menilai dengan cerdas dan arif.
Saya melihat, masyarakat sendiri sangat diuntungkan dengan pernyataan tersebut. Sebagaimana juga ditegaskan oleh Ketua RMI NU bahwa adanya pemetaan 19 pesantren berpotensi radikal seakan mengingatkan masyarakat secara umum untuk lebih berhati-hati dalam menitipkan anaknya kepada lembaga pendidikan. Bukan persoalan lembaga pendidikan bermasalah, tetapi infiltrasi paham radikal dan kekerasan telah merambah masuk dalam pendidikan baik dari aspek kurikulum, tenaga pengajar, maupun kegiatan lainnya. Pilihlah pesantren yang jelas dengan kualitas dan komitmen kebangsaan yang sudah lama mengakar.
Memusuhi pesantren?
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, narasi memusuhi pesantren merupakan kontruksi opini dalam rangka menanamkan kebencian masyarakat terhadap sebuah lembaga. Faktanya, sudah beberapa banyak pesantren yang telah menjadi mitra pelaksanaan program BNPT dalam membendung radikalisme dan terorisme di Indonesia. Pesantren dipilih sebagaimana institusi yang lain, karena komunitas pesantren merupakan benteng penyemaian Islam rahmatan lil alamin, moderat, dan toleran yang dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam menangkal paham radikal terorisme.
Tidak hanya pesantren ulama, tokoh agama dan pimpinan pesantren di berbagai daerah menjadi sahabat BNPT dalam memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Pesantren merupakan aset bangsa yang telah memberikan kontribusi besar bagi negara ini. Inilah pertimbangan bahwa pesantren menjadi potensi besar dalam mencegah dan membentengi bangsa Indonesia dari pengaruh radikalisme yang seringkali mengatasnamakan agama.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…