Narasi

Mengawal Demokrasi

Akhirnya hari pemungutan suara pemilu serentak 2019 telah usai. Tapi perang informasi masih terus terjadi. Inilah yang kemudian berujung pada upaya mendelegitimasi pemilu 2019. Bahkan semenjak kampanye digelar hingga paska pemilu 2019 telah banyak lahir informasi yang menyesatkan dengan tujuan menjatuhkan kredibilitas para penyelenggara pemilu.

Sebut saja, kehadiran akun Twitter @opposite6890 dengan hoaks perihal tim buzzer Polri. Sebelumnya, ada pula isu yang menyebutkan ada surat suara sebanyak 7 kontainer dari Cina tiba di Tanjung Priok, Jakarta dan surat suara tersebut sudah tercoblos. Dua bulan setelahnya, muncul lagi kabar surat suara tercoblos di Sumatra Utara. Selain itu ada pula isu KTP elektronik untuk orang asing yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal kenyataannya orang asing pemegang E-KTP tentunya tidak mempunyai hak pilih serta tidak boleh terdaftar di DPT. Selain sejumlah berita hoaks di atas, KPU juga terus diserang seolah-olah tidak netral ketika membolehkan Aparatur Sipil Negara menyosialisasikan program pemerintah.

Bila narasi-narasi informasi hoaks ini terus dibiarkan, maka bisa dipastikan tercipta opini ada anggapan kecurangan pada pemilu 2019. Sehingga, apapun hasil pemilu nanti, bisa dijadikan alasan untuk mendelegitimasi penyelenggara pemilu dengan tuduhan kecurangan. Jadi lumrah, bila kemudian lahir tagar #INAelectionobserverSOS dan #Indonesiacallsobserver yang menembus trending topik dunia beberapa waktu lalu. Tagar itu mengisyaratkan sebuah ajakan kepada dunia internasional untuk ikut serta memantau pemilu yang akan diselenggarakan Indonesia. Asumsi yang dibangun yakni pemilu serentak 2019 sarat akan praktik kecurangan dan manipulasi. Tentu, efek yang diinginkan dari serangkaian tuduhan itu adalah terbentuknya opini publik bahwa para penyelenggara pemilu yang ada sudah tidak lagi mengedepankan  independensi dan kredibilitas. Jelas, persepsi ini tentu sangat berbahaya dan menjadi ancaman demokrasi elektoral. Sebab selain mengancam sistem tata kelola pemilu yang sudah terorganisir dengan baik melalui para penyelenggara pemilu, kondisi tersebut bisa mematik kegaduhan politik yang dikhawatirkan melahirkan konflik sosial.

Baca juga : Pasca Pemilu 2019 : Mewujudkan Kerukunan dalam Persaudaraan Berbangsa

Memang diera post truth, kekuatan informasi bisa dijadikan sebagai spektrum pengetahuan baru bagi publik. Tapi tidak sedikit pula informasi yang hadir menjadi alat penekan dari sebuah kebijakan. Apalagi, bila informasi tersebut seringkali disalahgunakan untuk memproduksi propaganda yang berbasis provokatif. Pasalnya, dalam konteks demokrasi digital, tentu daya resonansi dari informasi provokatif bisa memiliki dampak yang sangat kuat dalam mempengaruhi opini hingga preferensi pemilih. Hal itu juga dipengaruhi oleh ketergantungan publik terhadap media sosial. Dikarenakan media sosial merupakan ruang tatap muka yang bersifat partisipatif dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan berbagai pihak, termasuk kepada para penguasa. Artinya, informasi sesat yang digunakan dalam upaya mendelegitimasi pemilu 2019 harus dapat diredam dengan kontra wacana agar tidak mengerus partisipasi politik publik.

Sebab jika tidak, ancaman delegitimasi penyelenggara pemilu ini dinilai akan membahayakan kedaulatan rakyat. Termasuk akan memperbesar persepsi publik bahwa pesta demokrasi itu sangat sarat akan kecurangan. Apalagi, saat ini kondisi masyarakat telah terbelah. Hal itu diperparah dengan keterbatasan akses publik terhadap informasi yang dipercaya juga dinilai dapat meningkatkan potensi ancaman demokrasi. Jadi bisa dibayangkan antara hoaks, fitnah, dan keterbatasan akses informasi sangat mudah memprovokasi masyarakat yang terbelah akibat fanatisme politik berlebihan,

Oleh sebab itu, langkah taktis untuk mengawal demokrasi dan meredam upaya delegitimasi pemilu adalah dengan memperkuat peran relawan pemantau pemilu yang berasal dari berbagai komunitas. Sebut saja relawan “Kawal Pemilu” yang banyak berasal dari kalangan milenial yang bersama-sama mengawal proses pencoblosan. Dengan demikian kehadiran relawan ini bisa ditujukan untuk menciptakan legitimasi dan kredibilitas bagi para penyelenggara pemilu 2019 guna mengawal demokrasi.

Bambang Arianto

View Comments

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

7 jam ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

7 jam ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

9 jam ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

9 jam ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

1 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

1 hari ago