Kemajuan teknologi dan informasi terutama perkembangan internet telah merubah berbagai aspek kehidupan. Pola konsumsi informasi dan komunikasi mengalami pergeseran dari cari yang konvensional menuju metode digital. Generasi muda atau sering pula disebut generasi milenial merupakan penduduk mayoritas dalam menikmati perubahan tersebut.
Generasi milenial banyak menyandarkan berbagai kebutuhan informasi kesehariannya mulai dari cara belajar, memasak, berteman hingga cara memahami agama dari dunia maya. Pencarian tentang narasi keagamaan juga mudah didapatkan dari berbagai situs dan media sosial yang menyajikan ragam konten keagamaan. Dari informasi yang sangat sederhana bagaimana membaca kitab suci, ibadah hingga cara beragama yang benar.
Seringkali generasi muda dengan gairah keingintahuan yang tinggi dan didasari oleh idealisme yang mengebu-gebu tentang perubahan sangat tertarik dengan tema kesempurnaan. Menjadi beragama yang sempurna, beragama yang benar, dan beragama yang baik menjadi tema-tema penting yang mereka ingin ketahui.
Sayangnya, jawaban atas berbagai pertanyaan generasi milenial terhadap persoalan keagamaan seringkali menemui hambatan. Banyaknya sumber keagamaan yang intoleran, konevatif dan bahkan radikal justru yang mudah ditemui oleh generasi muda. Cara beragama yang membenturkan antara keimanan diri dan keimanan orang lain, antara agama dan bernegara, dan antara kesalehan dan kekafiran menjadi tema umum yang banyak dicari tetapi didapatkan dari sumber yang tidak kredibel.
Jatuhnya generasi muda dalam perangkap pemahaman yang ekstrim dan radikal karena banyak dimulai dengan pola konsumsi informasi keagamaan yang intoleran, ekstrim dan radikal di dunia maya. Berbagai aksi kekerasan terorisme yang dilakukan oleh generasi muda juga salah satunya didorong oleh konsumsi pengetahuan keagamaan yang mengajarkan intoleransi dan doktrin kekerasan atas nama agama.
Baca Juga : Ekstremisme Agama, Islam Rahmah dan “Civil Society”
Salah satu contoh yang kerap banyak memberikan testimoni adalah Khaira Dhania, generasi milenial yang pernah terpapar konten radikalisme melalui media sosial. Sebagaimana diketahui ia dan keluarganya sempat pergi ke Suriah karena keyakinannya tentang negara khilafah yang didapatkan dari informasi melalui media sosial. Tentu pengalaman dari Dhani bukan satu-satunya. Masih banyak generasi muda lain yang sangat berpotensi terperangkap dalam pengetahuan keagamaan yang intoleran dan radikal di dunia maya.
Belajar dari berbagai kasus yang ada dan untuk upaya mencegah ke depan, kampanye islam rahmatan ili alamin harus mulai digalakkan oleh semua pihak agar dapat dijangkau oleh generasi milenial di dunia maya. Saat ini ustad-ustad dan pengajian online dan website keislaman sudah sangat menjamur. Tugas beratnya adalah bagaimana generasi muda mendapatkan konten keagamaan yang mampu menanamkan nilai Islam yang rahmat. Tentu konten keislaman yang rahmat harus disertai pula dengan bentuk yang banyak disukai oleh generasi milenial. Penanaman keislaman harus lebih menarik dan to the point yang tidak membutuhkan penuturan yang bertele-tele tetapi mendalam. Dakwah di dunia digital merupakan tantangan utama bagaimana mengemas konten yang menarik tetapi mampu memberikan pemahaman yang utuh tentang Islam.
This post was last modified on 29 Juni 2020 4:19 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments