Rentetan kasus kekerasan atas nama agama menyiratkan satu fakta bahwa relasi antar pemeluk agama di Indonesia mengalami semacam gejala krisis. Demikian pula, konflik dan peperangan yang terjadi di lingkup global mengindikasikan bahwa peradaban kita tengah ada dalam situasi titik nadir kemanusiaan.
Ironisnya, agama yang kerapkali digadang sebagai sumber perdamaian dan kemanusiaan justru kerapkali terseret dalam pusaran konflik yang kompleks. Tidak jarang, agama justru menjadi alat pembenaran atas tindakan kekerasan dan peperangan.
Di titik ini, umat beragama harus merefleksikan ulang tujuan beragama tersebut. Apa sebenarnya tujuan kita beragama? Apakah sekedar sebagai identitas pembeda di ruang publik?
Dalam bukunya, Heideger dan Mistik Keseharian, ahli filsafat F. Budi Hardiman menjelaskan bahwa agama pada dasarnya adalah sebuah jalan hidup (lebensweg). Maka, ajaran agama idealnya ikut andil membentuk karakter, cara pandang, sekaligus perilaku manusia dalam kehidupan sosial.
Dalam filsafat heideger, agama itu bukan sekedar dogma atau keyakinan metafisik. Agama adalah rangkaian pengalaman manusia yang melibatkan kesadaran eksistensial, tentang diri, orang lain, dan lingkungan.
Dalam pandangan Heideger, agama yang sejati adalah ajaran tentang kehidupan di dunia saat ini (dasein). Artinya, agama harus hadis sebagai solusi atas problematika sosial kemasyarakatan, bukan justru menjadi sumber dari masalah tersebut.
Berkembangnya krisis sosial, politik, dan kemanusiaan yang masif belakangan ini baik dalam konteks nasional (intoleransi dan persekusi) maupun internasional (konflik politik dan perang) adalah bukti bahwa esensi agama belum hadir dalam ruang publik kita.
Agama hanya hadir dalam wujud simbolik, seperti gaya hidup halal, tren syariah, gelombang hijrah, dan sebagainya. Namun, di saat yang sama hakikat ajaran agama tentang kasih sayang dan cinta justru absen dalam kehidupan sosial kebangsaan kita.
Alhasil, relasi antar agama dan aliran keagamaan lebih banyak menjurus pada sikap saling curiga, takut, dan benci. Kelompok mayoritas menganggap kaum minoritas sebagai ancaman. Di saat yang sama, golongan konservatif menganggap lokalitas Nusantara adalah bidah yang harus diberantas.
Dalam situasi inilah, urgen kiranya menghadirkan paradigma agama cinta dalam kehidupan sosial kebangsaan kita. Agama cinta bukan jenis agama baru yang mengeliminasi agama yang sudah ada sebelumnya. Agama cinta, sekali lagi adalah paradigma keberagamaan di tengah pluralitas agama dan aliran yang ada di Indonesia.
Sebagai agama mayoritas, Islam harus menjadi yang terdepan dalam mengadaptasi gagasan agama cinta. Dalam konteks teologis, paradigma agama cinta dalam Islam dapat dilacak dalam Alquran. Menurut mufassir Quraish Shihab, Alquran banyak berbicara tentang konsep cinta. Bukan cinta dalam konotasi erotis atau seksual, melainkan cinta dalam konotasi humanis. Yakni cinta terhadap sesama manusia.
Lebih detil, Prof. Quraish menuturkan bahwa Allah menciptakan manusia, sekaligus alam semesta beserta isinya karena cinta. Allah tidak membutuhkan manusia atau alam semesta. Semua itu Ia ciptakan karena rasa cintanya pada makhluk. Sebaliknya, manusia pun diperintahkan bersujud, beribadah karena Allah bukan karena takut atau beberapa sesuatu, namun lantaran cinta.
Paradigma agama cinta sebagai ruh Islam ini sebenarnya pernah ditanam oleh para penyebar Islam awal di Nusantara. Salah satunya oleh para ulama yang tergabung dalam Walisongo. Model dakwah Walisongo adalah menghadirkan Islam sebagai agama cinta yang akulturatif dan adaptif ketimbang agama yang memusuhi segala budaya dan adat istiadat yang telah ada sebelumnya.
Pendekatan sosiologis kultural yang dipakai Walisongo dalam mengislamkan Nusantara terbukti efektif menarik simpati masyarakat lokal tanpa menimbulkan konflik dengan agama Hindu dan Budha yang sebelumnya dominan.
Kini, paradigma agama cinta ala Walisongo itu mulai tergerus dengan gelombang dakwah model baru ala kaum puritan. Dakwah yang cenderung anti-pati pada kearifan lokal, dan alergi dengan perbedaan agama. Atas nama agenda pemurnian agama, kaum puritan tega mempersekusi kelompok agama lain, bahkan saudara sesama muslim yang berbeda pandangan.
Menghadirkan kembali paradigma agama cinta adalah sebuah kewajiban hari ini. Krisis sosial, agama, dan kebangsaan yang kita hadapi saat ini berasal dari virus kebencian yang dinormalisasi bahkan diglorifikasi oleh kaum tertentu. Virus itu harus dilawan dengan paradigma agama cinta, yakni model keberagaman yang mengedepankan sikap toleran pada perbedaan dan adaptif pada kearifan lokal.
Dakwah Walisongo mewariskan modelĀ keislaman ala Nusantara yang moderat dan inklusif. Warisan itu patut kita lestarikan, terutama di tengah menguatnya gerakan-gerakan impor, khsususnya dari Timur Tengah yang cenderung anti lokalitas dan alergi pada pluralitas.
Belakangan ini, dalam beberapa hari media massa dan media sosial kita riuh ihwal polemik pengibaran…
Indonesia, sebagai negeri yang kaya akan keanekaragaman budaya dan agama, memiliki akar-akar tradisi spiritual yang…
Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…
Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…
Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…
Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…