Wujud cinta tanah air di tengah revolusi industri keempat kini semakin komplek. Tidak hanya bisa dibuktikan dengan pasang bendera saat Agustusan. Banyak pekerjaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa- negara. Salah satunya dengan menjadi pelaku utama dalam menyebarkan konten nasionalisme di dunia maya. Mengapa demikian?
Implementasi kecintaan terhadap tanah air dengan memasang bendera merah putih, kerja bakti hingga lomba-lomba agustusan masih tetap relevan, sebagai wujud kecintaan kita kepada tanah air. Apalagi jika setiap apa yang kita lakukan atau kampanyekan di dunia nyata mampu kita publikasikan di dunia maya. Maka, hal itu dapat memberikan pengaruh positif kepada orang lain, yang belum melakukan atau belum tersadarkan.
Cinta tanah air tidak bisa selesai dengan merayakan kemerdekaan dengan lomba-lomba. Akan tetapi diukur pula dari kecintaan kita memberikan tayangan nasionalisme. Tayangan nasionalisme itu bisa berupa tulisan, meme atau video menarik, yang mampu menggugah rasa cinta tanah air.
Akan tetapi, tidak semudah yang kita bayangkan. Jika ada kawan maka ada lawan, jika ada nasionalisme maka ada antinasionalisme. Ini yang menjadi hama bagi kondisi kebangsaan kita. Tidak sedikit dunia siber antinasionalisme mengkampanyekan hal yang diskriminatif.
Hal-hal diskriminatif itu seringkali dilimpahkan kepada mereka yang beretnis cina, penyintas 65 atau bahkan kelompok nonmuslim. Dunia maya jamak melakukan tindakan yang menghardik mereka yang berbeda dengan yang pada umumnya. Seringakali memberikan label sesuka hatinya, dengan sentimen nonpribumi lah, cina lah, Katolik lah dan sebagainya.
Sejak kapan sentimen-sentimen itu muncul dan berkembang? Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa merupakan hasil dari politik pecah-belah Soeharto. Dalam penelitiannya berjudul “Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia”, Freedman menyebut Soeharto memaksa masyarakat keturunan Cina untuk melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka sebagai bukan-pribumi.
Selanjutnya, sebagaimana yang ditayangkan Remotivi, sentimen itu juga dikembangkan di media, seperti dalam judul “Dicina-cinain Media”. Tayangan itu memberikan pelajaran kepada kita, bahwa media kerap melakukan marking, identifikasi yang salah dan stereotyping kepada etnis Tionghoa. Hal itu kerap pula dilakukan media televisi kita.
Stigma mengenai Tionghoa telah dieksploitasi sejak kolonial hingga orde baru. Karakter-karakter Tionghoa dalam film atau sinetron jarang sekali ditampilkan secara normal, tanpa ditandai. Penggunaan pakaian dan logat bicara, yang sering kari dibuat-buat dan karikatural, telah menjadi modus umum dalam menandai Tionghoa di media. Stigma Tionghoa tidak hanya dilakukan oleh televisi, akan tetapi produk jurnalistik lainnya, seperti dalam judul berita “Pengusaha Keturunan Tionghoa dari Solo ini Raih Penghargaan PBB”. Sebagaimana informasi yang dihimpun penulis dari tayangan Remotivi.
Begitulah sentimen etnis yang mulai muncul dan berkembang di media kita. Sebenarnya, masih banyak lagi stereotyping etnis tertentu di media maya. Bahkan di media sosial, mulai dari facebook hingga instagram. Melalui gerakan hashtag dan penyebaran konten rasisme.
Media maya saat ini sudah terlanjur tidak karuan, stigmatisasi seringkali terjadi, akankah kita berdiam diri dan melamun? Rasa nasionalisme perlu segera kita tumbuhkan di cyber network. Jika kita hanya berdiam diri, mereka akan menghabisi nasionalisme kita.
Sesungguhnya, perlu diketahui banyak orang, bahwa negeri ini diperjuangkan oleh berbagai kalangan, etnis, ras dan sebagainya, salah satunya etnis Tionghoa. Susi Susanti yang pernah mengharumkan Indonesia dengan raketnya. Ada juga Yap Thiam Hiem yang kokoh memperjuangkan Hak Asasi Manusia. Selain itu, ada juga menteri negara era Soekarno, Siauw Giok Tjhan.
Sikap nasionalisme dalam berselancar di dunia maya perlu kita kembangkan. Penyebaran konten patriotik-nasionalis perlu kita gencarkan. Tidak ada lagi stigma terhadap mereka yang berbeda pada umumnya. Stigma itulah yang dapat memecah belah bangsa.
Selain itu, politisasi isu etnisitas perlu dihapuskan dan diharamkan, apalagi saat Pemilu. Politisi yang menggoreng isu etnisitas berbalut rasisme, diskriminasi dan stereotyping adalah politisi kacangan, yang lebih cocok dimakan saat menunggu hujan reda. Dalam mengendalikan hal ini, negara harus ambil peran, untuk mengamankan dunia siber, agar tidak kembali kecolongan.
Sekali lagi kecolongan, santapan akan menjadi lezat, dan rakyat pun terkena dampak sosial yang luar biasa. Keamanan negara dalam bidang siber saat Pemilu perlu dikencangkan. Saat Pemilu lah cyber war terjadi, dan siapa yang bermain SARA, hoak dan kebencian perlu segera untuk disikapi dengan bijaksana dan diadili.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…