Narasi

Menghilangkan Benih Kebencian Berjamaah

Diakui atau tidak, dalam perjalanan sejarah perkembangan Islam, ada suatu masa dimana penggerak konflik dan kekerasan berbasis agama berawal dari fanatisme buta kaum khawarij yang ada dalam Islam sendiri. Perbedaan kepentingan politik dan konsep-konsep ketuhanan yang terjadi di beberapa golongan umat Islam kala itu memicu terjadinya tindak kekerasan yang luar biasa. Perseteruan soal ragam perbedaan, baik soal teologi, kepentingan politik, atau motif lain pada masa lalu, dengan demikian, merupakan peninggalan kekerasan kaum radikal fundamentalis yang hingga kini masih ada. Sentimen dan kecurigaan terhadap kelompok Syiah misalnya sampai saat ini menjadi topik hangat di sebagian kelompok umat Islam.

Lelahnya umat Islam radikal ini berseteru dengan sesama muslim membuat mereka berpikir keras tentang akar masalahnya yang kemudian menduga-duga dalang di balik konflik tersebut. Dugaan itu menimpa umat agama lain. Bahwa ada kelompok yang sedang bahagia atas terjadinya konflik kekerasan internal umat Islam; yakni umat agama lain. Konflik internal antar umat Islam itu kemudian meluas menjadi antar agama. Untuk memperkuat dugaan itu mereka memungut beberapa teks al Qur’an dan hadits. Misalnya ayat bahwa tidak akan rela umat Yahudi dan Nashrani kepada umat Islam kecuali mengikuti agama mereka, hanya dipahami untuk melegitimasi dugaan itu. Kekerasan dan kebencian umat Islam terhadap agama lain pun terjadi.

Dari Karahiyyah Lil Akhar Menuju Qabul Al Akhar

Kebencian terhadap agama lain atau kelompok yang berbeda itu melahirkan persaudaraan yang kuat. Apabila satu orang dalam kelompoknya disakiti maka yang lain akan melakukan kekerasan balik dimana ia berada. Tindakan terorisme yang terjadi di Indonesia merupakan perlawanan atas rasa sakit yang dialami oleh salah satu kelompoknya di tempat lain. Sebaliknya, jika yang mengalami rasa sakit itu adalah kelompok lain sekalipun sama-sama muslim mereka justru bergembira. Karena prinsip mereka hanya satu; hanya kelompoknya yang paling benar dan yang lain salah atau bahkan kafir.

Solidaritas kelompok (ukhuwwah ba’dhiyyah) yang dibangun dari kebencian berjamaah (al karahiyyah al jama’iyyah) ini diminta untuk diamini oleh semua kalangan, termasuk yang mereka benci. Atas dasar solidaritas itu mereka melakukan pemaksaan bahkan pembunuhan kepada yang lain. Bahwa jika orang lain masih dalam kondisi berbeda dengan kelompoknya, baik dari aspek agama, cara pandang, atau jalur politik, maka menjadi sah untuk dilakukan pemaksaan atau pembunuhan. Pola solidaritas seperti ini sangat rapuh dan memunginkan terjadi perpecahan di dalamnya. Jika pada awalnya radikalisme hanya ada satu bernama al Qaida maka selanjutnya tumbuh berbagai macam aliran ideologi radikal. Artinya, persaudaraan itu hanya berbasis kepentingan ideologis sesaat bukan berbasis Islam yang cinta damai.

Sebaliknya, Islam tidak hanya mengapresiasi perbedaan tetapi juga menciptakan perbedaan tersebut. Karena disadari bahwa setiap manusia bisa memiliki cara pandang yang berbeda-beda (likulli ra’sun ra’yun). Dalam hadits misalnya disebutkan bahwa pada suatu waktu ada seorang yang kebingungan soal makna “hinun” yang berarti suatu masa. Dia kemudian datang kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, hingga Ali untuk menanyakan berapa lamakah satu masa itu? Keempat sahabat Nabi yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah ini tidak satu sama. Ada yang menyebutkan satu tahun, ada yang menyebutkan seumur hidup, dan ada pula yang mengatakan tiga puluh tahun. Ketika ditanya kepada Nabi, Nabi membenarkan semua jawaban keempat sahabat tersebut.

Di dalam hukum-hukum fiqh juga demikian. Pendapat dari madzhab yang empat soal beberapa kasus tidaklah tunggal. Perbedaan pendapat tentang hukum itu terkadang ekstrim. Jika bagi Imam Hanafi laki-laki dan perempuan bersentuhan tidak membathalkan wudu’ maka bagi Imam Syafi’ie justru bathal. Ini tampak sepele. Tapi apabila ditarik pada persoalan diterima dan ditolaknya shalat maka akan menjadi persoalan besar. Bisa jadi seluruh shalatnya penganut Imam Hanafi dianggap ditolak hanya gara-gara bathalnya wudhu’ ini. Jika pola pikir ini dilanjutkan maka bukan tidak mungkin terjadi perselisihan yang sangat akut.

Namun sebagaimana yang terjadi pada masa sahabat hingga pada masa selanjutnya, setiap perbedaan itu dianggap sebagai hal alamiyyah yang terjadi pada setiap manusia. Islam tidak menolak perbedaan, sebaliknya yang dilarang adalah penyikapan secara fanatis terhadap perbedaan tersebut. Dalam sebuah hadits bahkan dikatakan bahwa perbedaan itu adalah rahmah bagi seluruh alam. Karena itu perbedaan, termasuk pluralitas agama, tidak hanya harus dihadapi sebagai kenyataan sosial melainkan harus disyukuri sebagai nikmat Allah. Wallahu a’lam.

This post was last modified on 10 Oktober 2017 11:06 AM

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago