Narasi

Menguatkan Spirit Persaudaraan Negara Bangsa (Nation State)

Meski hidup dalam kemajemukan, bangsa Indonesia mesti menjunjung tinggi semangat persaudaraan. Sebab, semangat persaudaraan ini yang menjadi pengikat segala keberagaman bangsa, sehingga di dalam segala keberagaman tersebut, bangsa Indonesia bisa tetap kuat, harmonis, dan siap menghadapi segala tantangan bangsa ke depan. Semangat persaudaraan kebangsaan bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Ia merupakan spirit yang menjadi bagian penting dalam sejarah perjalan bangsa.

Mula-mula, semangat persaudaraan tersebut muncul akibat penjajahan bangsa kolonial yang terus mengeruk kekayaan Tanah Air dan melakukan penindasan pada rakyat Nusantara. Spirit perlawanan awanya masih bersifat kedaerahan atau kelompok, kemudian semakin menguat di antara para pemuda dan pelajar yang membentuk berbagai organisasi pergerakan kebangsaan. Semangat persatuan tersebut kemudian menemukan momentumnya saat Kongres Pemuda II pada 27 Oktober 1928, melahirkan Sumpah Pemuda yang menegaskan tekad bertumpah darah satu Tanah Air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia.

Rasa persatuan lahir dari kesadaran untuk bersama-sama melawan penjajah, bersatu dalam sebuah bangsa dan bersama-sama merebut kemerdekaan, untuk kemudian membangun visi dan cita-cita bersama ke depan. Para pendiri bangsa telah berdialog, berembuk, dan bermufakat bahwa landasan dan falsafah negara Republik Indonesia adalah Pancasila. Selain menjadi falsafah bangsa, Pancasila juga menjadi pengikat berbagai elemen bangsa untuk bersatu dalam bangunan Indonesia Merdeka.

Tak berhenti di sana, Pancasila juga menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, demi mewujudkan cita-cita bersama menuju kehidupan yang aman, adil, makmur, dan sejahtera. Republik Indonesia pun berdiri dengan konsepsi kebangsaan yang khas. Sebuah bangsa yang terdiri dari beragam elemen bangsa, namun bertekad untuk bersatu dalam sebuah ikatan negara berlandaskan Pancasila, di mana setiap elemen memiliki hak yang sama, saling menghormati dalam perbedaan, bergotong-royong, bermusyawarah, demi kemajuan bersama.

Baca juga : Islam Mengedepankan Persaudaraan

Saat berpidato pada 1 Juni 1945 tentang prinsip kebangsaan, Bung Karno menegaskan, “Bangsa kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’, bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan atau golongan yang kaya, tapi ‘semua buat semua’..”. Prinsip kebangsaan tersebut menjadi spirit berdirinya Indonesia sebagai negara bangsa (nation state), dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu jua. Semboyan persatuan dalam perbedaan ini mencerminkan tekad bangsa Indonesia yang beragam, majemuk, berbeda-beda, untuk tetap bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 Guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, maka sudah menjadi kewajiban bagi seluruh elemen bangsa untuk hidup saling menghormati satu sama lain, saling membantu, gotong-royong, demi terus merawat negara bangsa yang telah dibangun dan didirikan oleh para pendiri bangsa.

 Melihat perjalanan sejarah terbentuknya Indonesia sebagai negara bangsa, kita menjadi semakin tersadar pentingnya nilai-nilai persaudaraan kebangsaan. Perbedaan kepentingan setiap elemen bangsa, jangan sampai membuat bangunan persaudaraan mengikis dan runtuh. Para pemuda dan pendiri bangsa telah menunjukkan kebijaksanaan dalam mengakomodir berbagai kepentingan dan segala perbedaan, bukan sebagai alasan untuk terpecah atau bercerai-berai, namun justru menjadi modal untuk menumbuhkan rasa persaudaraan dan menguatkan bangunan kebangsaan.

Problem

Tetapi, saat ini Indonesia sebagai negara bangsa mendapatkan tantangan serius lewat fenomena bangkitnya gejala primordialisme, juga menguatnya politik identitas yang turut mewarnai kontestasi demokrasi. Era reformasi hadir dengan kebebasan berpendapat, yang belakangan disokong era digital dan media sosial yang membuat orang semakin mudah mengungkapkan pandangan, mendatangkan problem tersendiri.

Isu-isu primordial menyeruak. Orang atau kelompok dengan beragam kepentingan, baik ideologis maupun politis, menajamkan perbedaan identitas guna mencapai tujuan dan mengeruk keuntungan. Dari sini, muncul perbedatan, bahkan pertikaian. Tak jarang, hal tersebut diikuti sikap-sikap intoleran yang cenderung memaksakan kehendak antar satu kelompok masyarakat terhadap masyarakat lain.

Akibatnya, di ruang-ruang publik, terutama di dunia maya, bermunculan provokasi, ujaran kebencian, yang membuat banyak orang tak segan saling menyindir, bahkan saling mencaci. Masyarakat yang hidup harmonis dan saling menghargai, tiba-tiba dibuat kembali gelisah dan mudah menyerang sesama. Di sini, rasa saling menghormati sebagai saudara sebangsa, seolah-olah luntur, tertutupi oleh egoisme berkepentingan pribadi atau kelompok. Rasa persaudaraan sebangsa yang menjadi nilai penting dalam perjalanan berdirinya bangsa, seolah dilupakan begitu saja.

Menguatkan identitas nation-state

Di tengah fenomena tersebut, menjadi sangat penting bagi kita semua untuk menguatkan kembali identitas bangsa kita sebagai negara bangsa (nation state). Nilai-nilai persaudaraan sebangsa mesti dikuatkan. Kesadaran sebagai masyarakat negara bangsa, yang mana dulu dibangun atas mufakat untuk bersatu dan saling menghormati dalam perbedaan, mesti kembali ditanamkan, dikembangkan, dan disebarkan di masyarakat. Setiap warga negara mesti memiliki kesadaran ini, sehingga dalam kehidupan sehari-hari bisa menghargai orang lain yang berbeda pandangan.

 Persaudaraan kebangsaan yang kuat mesti ditunjang penegakan keadilan yang kuat juga. Prinsip keadilan di mana setiap elemen bangsa dipandang sama di mata negara atau hukum, menjadi hal penting untuk selalu dijaga. Sebab, keadilan ini menjadi penjaga keharmonisan masyarakat. Sebaliknya, ketidakadilan akan gampang memantik kecemburuan, sentimen, bahkan perlawanan yang bisa mengancam kedamaian dan keamanan bangsa.

Di samping itu, penting juga bagi kita kembali menguatkan prinsip musyawarah, dialog, dan gotong-royong. Hal ini bisa dipraktikkan siapa pun, sesuai peran masing-masing di masyarakat. Di era digital, ini juga mesti menjadi prinsip yang mesti dijaga dalam berinteraksi dengan sesama. Musyawarah, dialog, dan gotong-rotong merupakan nilai-nilai luhur yang berakar kuat dari kearifan masyarakat Nusantara sejak dahulu, yang sengaja diserap para pendiri bangsa untuk modal membangun berdirinya bangsa, juga bekal bagi bangsa ini menjalani kehidupan bangsa ke depan. Prinsip musyawarah dan dialog akan menciptakan iklim yang kondusif meski masyarakat berada dalam perbedaan pandangan di negara demokrasi.

This post was last modified on 12 Maret 2019 12:37 PM

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago