Narasi

Menjadi Pendengar yang Cerdas di Tempat Ibadah

Merebaknya penyerbuan provokasi kebencian dan radikalisme di tempat ibadah, membuat kita semakin cemas akan tindakan-tindakan negatif yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sebab, tidak menutup kemungkinan akan ada salah satu jamaah yang terseret pada jurang kenistaan, lantaran mengami setiap ajakan yang disampaikan. Karenanya, penting bagi kita untuk bisa memilih dan memilah, pesan mana yang harus diikuti, serta pesan apa saja yang harus kita tolak.

Pada prinsipnya, semua pesan (ceramah) yang disampaikan di tempat ibadah, baik di masjid, gereja, pure, dan tempat ibadah lainnya, itu bertujuan baik. Tetapi, kita perlu memperhatikan secara saksama terhadap pesan-pesan yang disampaikan, khawatir kita terbawa arus terhadap pesan yang disampaikan.

Misalnya, ada penceramah yang mengatakan, bahwa “Setiap orang yang melakukan bom bunuh diri dengan tujuan jihad, maka ia akan dijamin masuk surga dan akan dilayani oleh 72 bidadari.”

Ketika kita menjadi pendengar atau jamaah yang cerdas, tentu tidak akan mudah percaya terhadap sesuatu yang tidak dapat diketahui secara pasti. Terlebih, bom bunuh diri sangat merugikan orang banyak, dan merupakan tindakan yang sangat gila untuk dilakukan oleh orang waras yang sedang merindukan surga.

Cobalah kita renungkan obrolan Qomar dan Udin.

“Istrimu kan baru dua. Dengan jihad, maka kamu akan mendapatkan 72 bidadari surga. Yang tak pernah disentuh oleh manusia, setan, dan jin sekalipun,” kata Qomar kepada Udin sambil memoles jenggotnya.

“Halah, lebai. Tatkala istri muda kubelai, istri tua melemparku pakai wajan! Lalu, kalau nanti kubelai satu bidadari, apakah yang 71 lainnya hanya akan tinggal diam? Setia menunggu giliran? Tentu mereka siap melepariku dengan wajan sampai mati. Apa kamu yakin itu surga? Itu neraka, akhi…,” sahut Udin yang lantas pergi. Sedang Qomar, terdiam tanpa sepatah katapun.

Melalui jawaban jenaka si Udin, setidaknya kita bisa membedakan antara pesan damai dan toleran, dengan pesan yang berbentuk provokasi, terlebih yang mengacu pada tindakan radikalisme. Dalam hal ini, ada tiga hal penting yang wajib kita ketahui. Pertama, kenali orang yang menyampaikan pesan, termasuk latar belakangnya. Bukankah dengan mengetahui lebih lanjut tentang siapa orang yang sedang memberi ilmu, saran, dan arahan itu lebih baik? Selain itu, berarti kita telah berusaha memahami ilmu dan kebenaran yang sebenarnya.

Kedua, kenali sifatnya, apakah merasa paling benar sendiri atau tidak? Sebab, tak jarang ada penceramah yang mengunggulkan golongannya sendiri. Mereka mendoktrin para jamaah yang lain dengan mengatakan bahwa alirannya yang patut diikuti, sedangkan aliran yang lain dianggap belum mendapat hidayah dan dalam kesesatan yang nyata.

Tentunya, hal tersebut sangat mengkhawatirkan yang tak boleh kita biarkan. Sebab, orang yang selalu mengaku paling benar, adalah mereka yang tak bisa menerima kebenaran yang lain. Biasanya, ia tak mau berteman dengan orang yang berbeda mazhab, keyakinan, budaya, atau hukum adat yang berlaku. Padahal, dalam al-Qur’an surat an-Nisaa’ ayat 59 disebutkan, bahwa “Jika kamu berbeda pendapat tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.”

Jelas, ayat ini dengan tegas mengatakan bahwa setiap perselisihan harus dikembalikan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala tidak mengatakan, jika kamu berselisih janganlah merasa benar sendiri, atau kembalilah kepada pendapat masing-masing. Karenanya, ketika kita menjumpai orang yang berdakwah dengan model demikian, maka segeralah pergi.

Ketiga, tidak menyukai toleransi. Biasanya, penceramah atau pendakwah yang tidak toleran terhadap perbedaan, maka pesan-pesan yang disampaikan adalah ayat-ayat perang dari pada perdamaian. Padahal, ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan untuk berdamain, untuk saling toleran, dan untuk saling membantu meski berbeda dalam segi apapun amat sangat banyak, dibanding dengan ayat-ayat yang mengarah pada radikalisme.

Oleh karena itu, sebelum kita menjadi korban provokasi kebencian di tempat ibadah, maka kita harus cerdas dalam mendengarkan ceramah-ceramah atau pesan-pesan yang disampaikan oleh orang-orang yang suka menebar kebencian. Setidaknya, kita memperhatikan tiga hal penting di atas, lalu memberi pengetahuan lebih luas lagi terhadap jamaah yang lainnya. Sehingga, kita juga bisa menjadi orang yang ikut serta dalam memberhentikan rumah ibadah sebagai penebar provokasi. Semoga.

Ach Fawaid

Keagamaan di Garawiksa Institute, Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

19 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

19 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

19 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago