Narasi

Menjadi Relawan Milenial Penyebar Konten Kebhinekaan

Di era internet dan media sosial sekarang, segala hal bisa dengan mudah diakses, dilihat, dan menyebar secara luas. Segala macam peristiwa yang terjadi di suatu tempat, bisa dalam hitungan detik, bahkan secara langsung disaksikan oleh masyarakat luas. Di samping penyebaran informasi yang begitu cepat, era digital saat ini juga menghadirkan panggung yang megah bagi siapa pun untuk tampil dan bersuara. Melalui media sosial, siapa pun, bisa tampil, menyebarkan berbagai konten, dan berkomentar menanggapi informasi apa pun.

Internet seolah menjadi sumber informasi utama. Ketika internet menjadi alat utama penyebaran informasi, terbentuklah jalinan masyarakat yang membentuk jaringan sesuai dengan minat dan kepentingannya. Di sini, masyarakat kemudian berubah menjadi kesatuan jaringan, yang oleh Castell (2012) disebut sebagai kapitalisme informasional. Munculnya berbagai aplikasi media sosial yang menjadi rujukan berbagai informasi, baik politik, ekonomi, budaya, dan agama, adalah contoh gamblang. Ketika masyarakat menjadikan media sosial sebagai sumber informasi, kerap terjadi kapitalisme informasional yang tak jarang mendorong munculnya konten-konten negatif, seperti hoax, hate speech, bullying, dan sebagainya.

Refleksi Castell tersebut dimulai ketika Amerika Serikat mulai menggunakan teknologi dan informasi sebagai cara pembentukan nalar dan perilaku warganya sejak dekade 1970-an. Jika dahulu prasyarat menjadi warga negara yang ideal meliputi aktivitas voting (pemilu), membayar pajak, dan taat pada aturan hukum, maka di era masyarakat jaringan saat ini peran warga bertambah; kemampuan mengelola informasi dan menggunakannya untuk membangun peradaban bersama (Firly; 2018).

Baca juga : Relawan Millenial: Menangkal Petaka di Dunia Maya

Apa yang dilihat Castell tersebut juga penting untuk kita sadari dalam konteks Indonesia. Menyebarnya berbagai konten negatif di media sosial seperti hoax, ujaran kebencian, hingga kampanye hitam, merupakan tantangan bangsa yang harus bisa kita atasi bersama. Di tengah realitas bangsa yang majemuk seperti Indonesia, konten-konten negatif tersebut jelas menjadi ancaman terhadap ikatan persaudaraan dan persatuan bangsa. Sebab, kita tahu konten-konten negatif tersebut kerap kali menghembuskan isu-isu sensitif yang menajamkan perbedaan suku, agama, ras, dan golongan (SARA).

Relawan kebhinekaan

Masyarakat yang sudah lama hidup dalam persatuan, persaudaraan, dan perdamaian, tiba-tiba dihadapkan dengan era membanjirnya informasi, tanpa terkecuali konten negatif yang menajamkan perbedaan, yang kemudian dengan gamblang menghadirkan panggung perdebatan dan pertikaian. Di sinilah kemudian, dibutuhkan sosok-sosok relawan yang memiliki jiwa kepedulian untuk mengembalikan kehidupan masyarakat ke dalam perdamaian dan nilai-nilai persaudaraan. Dibutuhkan sosok-sosok relawan yang mau bergerak untuk menangkal berbagai konten negatif yang mengancam persatuan bangsa.

Di sini, kaum muda atau generasi milenial memiliki peran strategis untuk menjalankan peran tersebut. Sebab kita tahu, pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi milenial. Sebagaimana survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016 yang menyebutkan bahwa 80% atau sekitar 25 juta pengguna internet Indonesia adalah mereka yang berusia 25-29 tahun, dan sekitar 72% berusia 30-34 tahun. Di samping itu, perilaku jenis konten internet yang diakses juga didominasi media sosial, yakni sebanyak 97,4% (tirto.id, 25/10/2016).

Di sinilah, kaum milenial diharapkan tak sekadar larut dalam euforia internet dan media sosial, namun juga memiliki kepedulian yang tinggi untuk menjaga perdamaian dengan merawat nilai-nilai kebhinekaan bangsa melalui internet dan media sosial. Artinya, generasi milenial diharapkan perannya untuk menjadi “relawan”, yang tak sekadar sibuk dengan urusan pribadinya, namun juga punya kepedulian menjaga nilai-nilai persaudaraan dan persatuan bangsa. Bagi generasi milenial yang akrab dengan internet dalam kesehariannya, menjadi relawan perdamaian bisa diusahakan dengan berbagai cara.

Pertama, aktif menciptakan, memproduksi, dan menyebarkan konten-konten kebhinekaan. Konten kebhinekaan di antaranya bisa diartikan sebagai konten-konten yang menjunjung tinggi prinsip penghargaan terhadap perbedaan dalam tubuh bangsa. Konten-konten kebhinekaan bisa dibuat dalam berbagai bentuk, baik tulisan, gambar, video, suara, dan sebagainya. Wujud konkretnya, bisa dengan menulis artikel yang menyebarkan gagasan-gagasan persatuan, toleransi, dan persaudaraan yang dipublikasikan dan disebarkan di internet. Bisa pula berbentuk gambar, suara, atau video yang bermuatan pesan-pesan tersebut.

Berbekal keterbukaan pikiran, semangat, dan kreativitas yang menjadi ciri khas generasi milenial, diharapkan muncul bermacam konten kebhinekaan yang kreatif di dunia maya. Semangat, energi, dan kreativias kaum milenial inilah yang diharapkan bisa disalurkan untuk menyebarkan perdamaian. Generasi milenial diharapkan mampu menjadi penggerak utama penyebaran konten-konten kebhinekaan yang bisa membentengi masyarakat luas dari pengaruh konten-konten negatif yang mengancam persatuan bangsa.

Kedua, menjadi penengah ketika terjadi perdebatan atau konflik di dunia maya atau media sosial. Saat ini, kita melihat bagaimana mudahnya orang saling berdebat dan bahkan menghujat. Di sinilah, seorang relawan diharapkan perannya sebagai penengah. Siapa pun, bisa mengambil peran ini lewat hal-hal sederhana di media sosial. Misalnya, ketika melihat ada teman yang terlibat perdebatan dan pertikaian dengan orang lain terkait sebuah isu tertentu, kita bisa turut berkomentar dengan kata-kata bernada perdamaian, sehingga bisa mencairkan suasana. Peran-peran ini mungkin terkesan sepele, namun kerap kali menyimpan manfaat yang besar ketika mampu meredam pertikaian sebelum kian membesar dan meluas.

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago